Mengapa Museum Tak Berhasil Menarik Pengunjung?
Banyak museum di Indonesia, khususnya yang dikelola pemerintah dan kementerian/lembaga, hingga kini belum berhasil menarik pengunjung. Sejumlah persoalan, seperti anggaran dan buruknya manajemen masih terus berlangsung.
Tahun 2009, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pernah merilis penurunan pengunjung di 80 museum yang dikelola pemerintah.
Sepanjang tahun 2006 terdapat 4,56 juta pengunjung di 80 museum tersebut, kemudian turun menjadi 4,20 juta pengunjung tahun 2007 dan turun lagi pada tahun 2008 menjadi 4,17 juta pengunjung.
Begitu suramnya nasib museum hingga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Februari 2010, pernah menyatakan bahwa 90 persen museum belum layak kunjung (Kompas, 18/2/2010).
Sejalan dengan keprihatinan tersebut, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) menetapkan Tahun Kunjungan Museum yang dimulai dengan Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM), sepanjang tahun 2010-2014.
Ketika itu, Kemenbudpar menjalin kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) untuk memasukkan unsur budaya dalam kurikulum sekolah dasar dan menghidupkan kembali wajib kunjung museum untuk siswa.
Namun, gaung semangat mengunjungi museum lenyap setelah periode GNCM berlalu. Pada pertengahan tahun lalu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid kembali menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi permuseuman dengan mengungkapkan bahwa hanya sekitar 15 persen dari total sekitar 400 museum di Indonesia yang berhasil menarik minat pengunjung.
Ironisnya, kondisi demikian justru terjadi ketika pemerintah menerapkan biaya tiket masuk rendah untuk museum-museum pemerintah. Contohnya adalah Museum Trinil di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Museum yang berada di bawah pengelolaan Kemendikbud ini menjalankan imbauan kementerian untuk menggratiskan tiket masuk sepanjang Agustus 2017 dalam rangka perayaan Kemerdekaan RI.
Normalnya, harga tiket masuk Museum Trinil Rp 3.000 untuk dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Namun, kunjungan ke museum itu tetap sepi sepanjang bulan gratis tersebut. Pada awal 2018, tiket masuk gratis berujung sepi juga dialami museum Geopark Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, yang dikelola Kementerian ESDM.
Nirlaba
Banyak pihak berpandangan bahwa murahnya harga tiket pengunjung menyebabkan museum sering kekurangan dana. Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Menurut Dedah Rufaedah Sri Handari, Kepala Sub Bidang Permuseuman, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan, harga tiket sebenarnya tidak mempengaruhi anggaran pengelolaan museum. Pasalnya, penerimaan dari museum termasuk kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Konsekuensinya, peningkatan pengunjung museum bukan berarti kemudian ada tambahan anggaran untuk kegiatan museum. Tambahan pemasukan justru bisa didapat dari kebijakan lain yang berlaku di daerah bersangkutan, misalnya menyewakan auditorium untuk umum.
Selain itu, Menurut Ali Akbar, dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tidak pada tempatnya untuk meminta museum khususnya museum pemerintah, untuk menghasilkan pemasukan bagi negara.
“Tugas museum yang utama adalah sebagai lembaga pendidikan dan penelitian yang bersifat menyenangkan atau ada aspek hiburan. Museum bukan lembaga pendapatan keuangan negara. Museum adalah lembaga non-profit peningkatan kapasitas manusia, dalam hal ini kapasitas yang terkait dengan pendidikan dan penelitian,” ujar Ali.
Harga tiket sebenarnya tidak mempengaruhi anggaran pengelolaan museum. Pasalnya, penerimaan dari museum termasuk kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Sejumlah museum swasta, menurut Ali Akbar, memang dapat bergerak lebih bebas. Hal ini disebabkan pengelola museum mempunyai modal untuk berinvestasi besar mengingat museum sebenarnya dapat menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Dengan pengelolaan yang profesional layaknya mengelola perusahaan bisnis, maka museum yang seperti ini ramai pengunjung dan menjadi destinasi wisata.
Namun demikian, Ali juga menambahkan, perlu kesepakatan bersama mengenai definisi non-profit tersebut. Dalam konteks museum, idealnya nirlaba yang dimaksud bermakna bahwa museum dapat mencari dana, mengumpulkan dana, dan menghasilkan keuntungan dengan melakukan berbagai program terkait permuseuman misalnya untuk pembangunan.
Selanjutnya, idealnya dapat dibuat rumusan, misalnya jika untuk pengembangan telah terpenuhi, pendapatan bisa dipakai untuk pengembangan dan kesejahteraan sumber daya manusia yang mengelola museum. Artinya, pendapatan yang dihasilkan museum mula-mula diarahkan untuk pengembangan museum, bukan memperkaya pengelola museum.
Status Pengelolaan
Selain berhadapan pada tantangan beroperasi secara nirlaba, struktur pengelolaan museum di lembaga pemerintah sangat sering berubah. Struktur pengelolaan museum di lembaga pemerintah yang terus berubah, mengakibatkan ketidakkonsistenan dalam pengelolaan museum di Indonesia.
Dedah, Kepala Kasubbid Permuseuman, menuturkan, sebelum tahun 2005 struktur yang bertanggung jawab untuk urusan permuseuman hanya dilakukan oleh Asisten Deputi Permuseuman. Posisi tersebut bahkan sempat dihapuskan ketika pengelolaan museum berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, walaupun kemudian muncul lagi di tahun 2005.
Pada tahun 2011, ketika bagian kebudayaan dipindahkan lagi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, posisi direktorat jenderal (dirjen) kebudayaan terbelah dua menjadi Dirjen Sejarah Purbakala dan Dirjen Seni Budaya dan Film. Pada akhir 2011, dua posisi dirjen tersebut lantas dilebur kembali menjadi satu yaitu dirjen kebudayaan.
Namun, dirjen ebudayaan hanya memiliki sub bidang perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, program dan ketatausahaan. Tidak ada nomenklatur yang secara khusus bertanggung jawab terhadap museum. “Baru pada tahun 2015, terbentuk lagi sub bidang permuseuman di Dirjen Kebudayaan sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum”, ungkap Dedah.
Hadirnya PP No 66/2015 bisa dibilang lebih memperjelas status permuseuman saat ini. Dengan adanya PP tersebut, ada kewajiban yang harus dijalankan pemerintah terhadap pengelolaan museum. Sejalan dengan konteks tersebut, tugas Direktorat Pelestarian Cagar Budaya (PCBM) juga berubah sejak akhir 2015. Direktorat PCBM bertugas menyosialisasikan standardisasi ke museum-museum.
Pada dasarnya standardisasi itu terkait dengan aspek-aspek pengelolaan museum yakni kelembagaan, sumber daya manusia, pengelolaan koleksi, pengamanan museum, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan dan pengawasan, pendanaan dan peran serta masyarakat.
Dengan modal payung hukum PP No 66/2015, idealnya pemerintah lebih mudah memetakan kondisi dan persoalan yang terjadi di museum-museum Indonesia. Hanya saja, standardisasi ideal tersebut tak sepenuhnya berjalan dalam praktik.
Minim Pendanaan
Struktur pengelolaan museum yang kerap berubah dengan diletakkan pada posisi kelembagaan yang rendah, berbanding lurus dengan konsekuensi pendanaan dari pemerintah. Aspek pendanaan, sifatnya bisa tetap dan tidak tetap.
Tak bisa dimungkiri, pengelolaan museum di Indonesia masih banyak terbentur pada persoalan dana. Asep Kambali, seorang pegiat dari Komunitas Historia Indonesia, mengungkapkan keprihatinannya mengenai kendala tersebut.
“Banyak fasilitas yang memprihatinkan seperti bau, sarang laba-laba, dinding bolong, plafon ambruk, tak ada fasilitas pemadam kebakaran yang layak, tetapi museum tetap buka”, ujarnya.
Data Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun lalu juga memberikan potret serupa. Sebagai gambaran, tahun 2017 tercatat anggaran untuk pengelolaan permuseuman hanya dapat dialokasikan sekitar Rp 350 miliar, atau lebih kurang 18 persen dari total anggaran Direktorat Jenderal Kebudayaan senilai Rp 1,93 triliun.
Dari besaran anggaran untuk mengelola museum, hanya sekitar Rp 230 miliar yang dapat dialokasikan untuk belanja pembangunan fisik museum. Sisanya digunakan untuk belanja rutin dan belanja non-fisik. Dengan total 434 museum yang saat ini terdata, maka anggaran belanja fisik untuk setiap museum rata-rata hanya sekitar Rp 530 juta.
Revitalisasi
Target revitalisasi museum yang dicanangkan pemerintah belum mencapai target. Revitalisasi merupakan program penting bagi museum mengingat manfaatnya dalam meningkatkan kualitas museum dan pelayanan masyarakat sesuai dengan fungsi museum. Melalui program revitalisasi, diharapkan masyarakat bisa merasakan bahwa museum adalah salah satu tempat yang perlu dikunjungi.
Revitalisasi museum itu mencakup aspek fisik, pengelolaan (SDM dan koleksi), program kreatif, jejaring dengan komunitas, kebijakan dan pemasaran serta komunikasi. Para pihak yang terlibat dalam program revitalisasi museum itu antara lain pengunjung, masyarakat, badan pelestari, pengembang, badan pembuat dan pelaksana kebijakan dan regulasi serta lembaga donor.
Sepanjang 2010-2016 tercatat ada sebanyak 95 museum yang telah direvitalisasi, dari total target revitalisasi 115 museum sepanjang kurun waktu yang sama. Jika dirata-rata, setiap tahun hanya ada sekitar 14 museum yang selesai direvitalisasi sepanjang tahun 2010-2016.
Dalam hal revitalisasi museum, permasalahan yang dihadapi adalah masih rendahnya kerjasama SKPD yang menangani kebudayaan dengan UPTD museum dalam melaksanakan revitalisasi museum.
Upaya revitalisasi museum terbilang sukses membuahkan hasil. Keberhasilan itu terindikasi dari meningkatnya kunjungan masyarakat ke museum yang telah direvitalisasi. Sebagai gambaran, tahun 2012 tercapai target jumlah pengunjung ke museum yang direvitalisasi sebanyak 5,75 juta orang dari target 3 juta pengunjung.
Tahun 2013, kunjungan ke museum hasil revitalisasi mencapai 8,63 juta orang dari target 4 juta pengunjung. Adapun terealisasi 9,02 juta pengunjung dari total target kunjungan 5 juta orang ke museum yang telah direvitalisasi.
Menggarap Inovasi
Dedah menjelaskan, sejumlah museum memang ada yang tidak mendapat anggaran untuk kegiatan. Tetapi melalui PCBM dan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) selalu diusahakan ada sinergi melalui pertemuan nasional minimal setahun sekali, sehingga pihak yang mengalami masalah bisa termotivasi.
Selain dukungan dana, inovasi juga penting dalam hal daya tarik. Menurut Dedah Rufaedah Sri Handari, Kasubdit Permuseuman, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, sebenarnya banyak museum di daerah yang sudah melakukan inovasi.
Ia mencontohkan, ada Museum Perkebunan Indonesia di Medan, Sumatera Utara. Museum yang aslinya merupakan bangunan tua di zaman Belanda dulu ini bernama Avros(Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatera) dan berdiri pada 1911.
Sejarah dan seluk beluk perkebunan di Indonesia dijelaskan di museum ini, termasuk garis waktu sejarah perkebunan di Indonesia sejak zaman prakolonial. Begitu juga dengan Museum Sepeda Pramuka di Serang, Banten, atau Museum Angkut di Malang, Jawa Timur.
Hal ini juga tak lepas dari keberadaan Asosiasi Museum Indonesia (AMI). Ali Akbar yang juga anggota Dewan Pakar Asosiasi Museum Indonesia (AMI) DKI Jakarta Paramita Jaya, menambahkan, keberadaan dan kontribusi asosiasi sangat besar, salah satunya dengan adanya program rutin Temu Mugalemon (Museum, Galeri, dan Monumen).
Pertemuan tersebut bisa menjadi ajang tukar pikiran antar pengelola dan mengundang berbagai pihak misalnya akademisi, komunitas, media massa, dan pengusaha.
Dengan melibatkan pula pengelola monumen dan galeri, strategi pengelolaan museum menjadi lebih bervariasi. Masing-masing komunitas yang ada saat ini punya titik fokus yang berbeda dan memiliki jejaring yang luas, sehingga sebenarnya menjadi modal kuat bagi inovasi museum.
Belajar dari Negara Lain
Menurut Ali Akbar, modal informasi bagi pengelolaan dan inovasi museum kini lebih mudah diakses. Jaringan internet memudahkan pengelola mengetahui perkembangan museum-museum di luar negeri. “Benchmarking pengelola museum kini lebih tinggi”, ujar Ali.
Terbukanya peluang mengakses informasi museum di luar negeri jelas merupakan hal penting. Menurut Sylvi Werdani Puntowati, antropolog yang juga museum educator di Museum Volkenkunde (Museum of Ethnology) di Leiden, Belanda, sudah banyak museum di Belanda yang mampu dikelola mandiri. Pemerintah Belanda hanya mengeluarkan anggaran untuk membayar gaji sebagian pegawai museum.
Museum di sana berbuat sesuatu agar menarik pengunjung. Pertama, gedung dan fasilitas dibuat sebagus mungkin, dan ini tidak berarti harus bangunan baru. Sanitasi dan pencahayaan yang baik sudah pasti disukai pengunjung. Gedung Volkenkunde yang berusia lebih dari 100 tahun, berbenah sehingga penampakan luarnya tetap terlihat kuno, namun di dalamnya jauh berbeda.
Di dalam museum, mereka sungguh-sungguh merancang pameran koleksi dengan menarik. Upaya itu dilakukan tidak hanya kurator dan ahli yang mengerti isi dan sejarah koleksi, tetapi juga melibatkan para ahli dalam penataan barang, lampu, dan komputer. Ruang pameran tidak hanya dipenuhi tulisan dan benda statis, tetapi juga program-program yang interaktif.
Pihak pengelola museum pun aktif menawarkan program-program mereka ke sekolah. Museum Volkenkunde saat ini mempunyai program yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, atau Perusahaan Hindia Timur Belanda)/Jan Pieter Zoon Coen.
Pada pameran ini, yang dijelaskan tak hanya melulu keberhasilan JPC untuk VOC tetapi juga dampak keberadaan VOC dan Jan Pieter Zoon Coen terhadap penduduk setempat dan sebagainya.
Konsistensi museum di Belanda untuk terus berbenah dan aktif menawarkan program edukasi, diimbangi juga dengan tingginya animo masyarakat negeri kincir angin itu terhadap keberadaan museum.
“Orang Belanda dan Eropa pada umumnya pengen tahu, suka membaca, dan mencari informasi yang akurat. Jadi mereka suka ke museum. Liburan ke mana saja, khususnya kota-kota besar yang punya museum bagus, mereka akan mencari ke museum”, ujar Sylvi.
Upaya mengenalkan museum sejak dini ke siswa sekolah, sebenarnya mudah diaplikasikan di Indonesia. Siswa bisa menerima informasi secara teoritis di sekolah, kemudian melihat dan berinteraksi langsung ke museum. Sebagai contoh, pengenalan budaya wayang bisa dipraktikkan di museum dengan mengenalkan ke siswa bagaimana memainkan wayang kulit, gamelan dan sebagainya.
“Biasanya ketika waktunya pulang, mereka malah tidak mau pulang. Di rumah mereka akan mengajak orang tuanya untuk berkunjung ke museum lagi”, tambah Sylvi.
Salah satu contoh museum yang cukup berhasil berjejaring dengan sekolah adalah Museum Bali. Museum ini telah bekerjasama dengan pihak sekolah dan swasta untuk pameran karya para siswa sekolah.
Inovasi, Revitalisasi dan pengelolaan museum secara konsisten oleh pemerintah tentu menjadi kunci penting menarik minat masyarakat mengunjungi museum.
Saatnya pemerintah mengubah jawaban atas anekdot museum di masa lalu, bahwa berkunjung ke museum hanya dua kali seumur hidup. Pertama berkunjung ketika sekolah, dan kedua ketika mengantar cucu ke museum! (KRISHNA P PANOLIH/LITBANG KOMPAS)