Kunjungan Perdana Menteri Inggris Theresa May ke Afrika Selatan menjadi sorotan koran-koran Inggris edisi 29 Agustus 2018. Lawatan May ini menarik perhatian media, di tengah isu alotnya perundingan Brexit antara Inggris dan Uni Eropa. Satu pesan muncul dari gambaran pemberitaan surat kabar Inggris kali ini, yaitu unggulnya diplomasi Perdana Menteri May Inggris dalam kasus Brexit.
Kurang dari dua bulan menjelang tenggat waktu perundingan Brexit pada Oktober 2018 mendatang, pemerintahan May menegaskan tidak akan beranjak lagi dari proposal Brexit yang disebut dengan Chequers. Jika tawaran tidak diterima Uni Eropa, Inggris bersikeras mengakhiri perundingan tanpa kesepakatan. Boleh digambarkan, ini merupakan situasi deadlock dalam negosiasi.
Namun, seolah tidak menghadapi tekanan berat, Theresa May membuka langkah diplomasi lain yaitu merintis perdagangan dengan negara-negara lain. Tidak main-main, May juga didampingi beberapa menteri dan 29 pengusaha, mengunjungi tiga negara, yaitu Afrika Selatan, Nigeria dan Kenya.
Kunjungan ini bukan sekedar langkah antisipasi membangun jaringan perdagangan global pasca-Brexit, namun juga dapat dilihat sebagai sebuah tekanan Inggris kepada Uni Eropa. Maknanya, Inggris bisa berkembang tanpa ikut dalam keanggotaan Uni Eropa.
Bukan kali ini saja May membangun poros perdagangan. Akhir Januari 2018 lalu, May melakukan kunjungan ke China. May membawa delegasi yang terdiri atas 50 pemimpin perusahaan dan perwakilan organisasi. Dalam kunjungan ini May bertemu dengan Presiden Xi Jinping, Perdana Menteri Li Keqiang, dan pebisnis China. Saat itu May menyebut kunjungannya akan meningkatkan era keemasan dalam hubungan Inggris-China (Kompas 1/2/2018).
Inggris termasuk negara yang antusias menyambut proyek infrastruktur Jalur Sutera modern yang diprakarsai Presiden Xi Jinping. May menganggap proyek Jalur Sutera itu memiliki potensi ekonomi yang besar.
Saat ini China telah menanamkan investasi yang relatif signifikan di Inggris, antara lain stasiun tenaga nuklir di Hinkley yang dibangun oleh China General Nuclear Power Corp. Sedangkan perusahaan Inggris, seperti Rolls-Royce, telah menyuplai mesin-mesin pesawat kepada China.
Kesepakatan
Faktor kedua yang membuktikan kematangan diplomasi May adalah ungkapan rasa percaya diri dapat mengatasi kemelut Brexit. Dalam rangkaian kunjungannya ke Afrika Selatan, Theresa May melontarkan isu penting, yaitu keputusan Brexit telah mendekati kata sepakat.
Surat kabar Inggris The Daily Express langsung membingkai isu tersebut pada halaman depan korannya dengan judul “PM Closing In On Brexit Deal”. Theresa May menyampaikan bahwa kesepakatan Brexit yang dipilih oleh Inggris sudah ada dalam genggamannya. Poin-poin utama perjanjian penarikan Inggris dari Uni Eropa diklaim sudah disetujui dan pada Oktober 2018 nanti sudah bisa masuk ke tahap selanjutnya.
Diplomasi May ini sekaligus menjadi pukulan untuk kubu pro-Uni Eropa di tubuh Partai Konservatif yang tidak puas dengan langkah May karena kesepakatan yang dicapai Inggris dalam negosiasi dengan UE dianggap akan menempatkan Inggris pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan posisi saat ini.
May juga menegaskan bahwa sebagai perdana menteri, Ia memiliki target dan perencanaan untuk jangka panjang yang matang. Brexit merupakan salah satu dari target dan tujuan utama dalam kepemimpinannya.
“What I’m focused on is doing what the people British People want”
Senada dengan apa yang dipaparkan oleh The Daily Express, koran The Guardian juga memuat berita utamanya dengan pernyataan yang disampaikan oleh Theresa May “PM: I will fight any challenge to my leadership”.
The Guardian lebih memfokuskan pemberitaannya pada kondisi polemik internal partai yang terjadi antara Theresa May dan politisi senior Partai Konservatif, Boris Johnson yang terus melontarkan tantangan terhadap kepemimpinan May dalam menyikapi Brexit.
Selain menghadapi kritik dari kubu pro-Uni Eropa di tubuh Partai Konservatif, May juga mendapat tekanan dari pendukung Brexit garis keras (hard Brexit). Boris Johnson merupakan salah satu tokoh pendukung kubu tersebut.
Saat menjabat Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson dan Menteri Urusan Brexit David Davis meletakkan jabatan karena menilai skema Brexit yang disiapkan oleh May untuk dinegosiasikan dengan Uni Eropa terlalu lunak. Johnson bahkan menyebut, dengan model tersebut, Inggris tak ubahnya koloni dari Uni Eropa.
Pengunduran diri Johnson dan Davis menunjukkan, selama ini ada perbedaan mendalam di kalangan Partai Konservatif dalam menghadapi isu Brexit. Intinya, kubu hard Brexit kecewa karena dalam proses negosiasi dengan UE, kesepakatan-kesepakatan yang dicapai mengarah pada ”soft Brexit”.
Kendati demikian, sikap Boris Johnson tidak bisa diabaikan begitu saja oleh May. Hal itu disebabkan karena status Boris sebagai politisi senior dalam Partai Konservatif memiliki pengaruh yang sangat kuat, terlebih bagi sebagian politisi yang tidak senang dengan proposal Chequers yang dikeluarkan oleh May.
Untuk bisa mengantisipasi itu semua, May harus bisa membuktikan bahwa ada kemajuan dalam negosiasi Brexit dan mampu membawa partainya menang dalam pemilihan 2019 mendatang.
Surat kabar The Times, sebagaimana The Guardian juga menyoroti pertentangan di tubuh Partai Konservatif. Namun, selain mengangkat konflik internal di tubuh Partai Konservatif, The Times juga mengingatkan, agar polemik Brexit tidak membuat negara itu mengalami kemunduran. Keberhasilan diplomasi Theresa May dalam negosisasi Brexit harus bisa membawa manfaat bagi kemajuan perekonomian Inggris. (Glorian Jasanddes/Litbang Kompas)