Identitas dalam Politik (2): Jokowi dan Dimensi “Solo” yang Membingkai Jakarta
Jokowi adalah pembentuk identitas baru yang teramat piawai, ketika dengan mobil Esemka-nya mengendarai perpolitikan nasional lewat jalur alternatif. Ia hadir di kancah politik yang membutuhkan keberanian, ketegasan, sekaligus gagasan segar, sebagai antitesa dari kecengengan, ketakberdayaan, dan kebuntuan yang mulai dirasakan dalam kepemimpinan nasional.
Seperangkat identitas baru yang dibawa Jokowi dari Solo menjadi fitur-fitur yang mempermudah lajunya politik melintas jalan yang sedang vakum. Label-label hitam yang coba dilekatkan oleh pesaing-pesaing politiknya pun tak sanggup menghentikan langkahnya untuk hadir di panggung nasional.
Berbekal gergaji, bor, serutan, dan pahat sebagai pengrajin kayu, Jokowi membuat ornamen-ornamen identitas yang menguatkan sosoknya sebagai pemimpin yang memiliki dimensi lebih banyak daripada tokoh-tokoh berdimensi tunggal yang telah hadir sebelumnya. Lewat kebijakan, sikap, dan langkah-langkah yang dilakukannya, Ia meramu ketokohannya dalam skala yang presisi namun elastis untuk mengisi, tidak saja level Solo dan Jakarta, tetapi juga mengisi ruang nasional.
Berbekal gergaji, bor, serutan, dan pahat sebagai pengrajin kayu, Jokowi membuat ornamen-ornamen identitas.
Ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal masyarakat sebagai sosok yang berani dan tegas dalam membereskan birokrasi di wilayahnya sehingga bekerja lebih efektif. Kepeduliannya dengan lingkungan ditunjukkan dengan mengembalikan sebagian besar taman kota dan bantaran sungai kepada fungsinya dengan tetap memanusiakan penghuni yang telah mendudukinya. Permukiman kumuh dan pasar yang semrawut berhasil ditatanya.
Pendekatan yang dilakukannya kepada para pedagang di sejumlah pasar klitikan liar yang mengokupasi taman kota dan fasilitas publik menjadi peristiwa fenomenal. Perpindahan pedagang kaki lima (PKL) dari pasar barang bekas lama ke ruang baru justru menjadi peristiwa budaya, atraksi kesenian mengiringi boyongan para pedagang. Simbol kemenangan kedua pihak, pemerintah dan pedagang, menandai sebuah era baru model penyelesaian konflik pemerintah dengan masyarakat.
“Dalam sebuah kota itu, masyarakatnya harus diberi ruang. Minimarket, supermarket diberi ruang, ya ruang PKL juga harus ada. Wajib ada yang namanya kantong PKL atau kawasan PKL, harus ada. Kalau enggak ya mereka bertebaran dimana-mana. Itu aja. Konsepnya memberi ruang pada mereka. Kota harus memberi ruang pada mereka untuk meraih rezeki. Bisa dibuatkan pasar, bisa diberi gerobak yang mobile, bisa diberikan shelter, bisa diberi tenda, macam-macam. Setiap tempat, setiap lokasi, kasusnya berbeda-beda. Dan ditangani dengan cara yang lain-lain,” ungkap Jokowi dalam sebuah wawancara dengan penulis di Balai Kota Surakarta (20/8/2012).
Jokowi juga terlihat sebagai figur pemimpin berpenampilan sederhana, yang dikenal bekerja keras, lebih sering terlihat turun lapangan daripada hanya duduk di belakang meja kerja. Ia juga menampakkan kepribadian yang tak memupuk kekayaan dengan korupsi, bahkan sejak menjabat gajinya dipergunakan untuk bantuan sosial.
Lebih dari itu, dukungannya kepada pembangunan industri mobil Esemka, produksi anak-anak sekolah menengah kejuruan, menginspirasi kembalinya kepercayaan diri bangsa. Kedekatannya yang nyaris tak berjarak dengan masyarakat membuat sebagian besar kalangan merasa ikut dalam gerak laju perubahan yang dilakukannya.
Di tengah kering dan berjaraknya model pemimpin yang umumnya dianut kepala daerah dan nasional, apa yang dilakukan Jokowi membalikkan paradigma dan memunculkan seperangkat identitas baru kepemimpinan. Identitas itu di antaranya: sipil yang tegas, merakyat, anti korupsi, pekerja keras, peduli pada lingkungan, dan membangun kepercayaan diri pada lingkup sosial di sekitarnya.
Lewat slogan kota “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu” Ia juga menunjukkan kepeduliannya pada kebudayaan. Sejumlah festival dan karnaval budaya membingkai Solo menjadi kota berkarakter tradisional namun memberi warna yang kuat pada modernisasi.
Babak Awal Kekuasaan
Kesuksesan Jokowi di panggung politik terletak pada kemampuannya untuk belajar cepat dan merumuskan langkah strategis menembus kejumudan politik. Walaupun penampilannya tetap bersahaja, namun hari demi hari kekuatan politiknya semakin besar.
Ketika mencalonkan diri sebagai walikota, Jokowi diyakini sebagai sosok muda tanpa ambisi berlebih, menjadi antitesa dari para politisi yang dengan hasrat kekuasaan tinggi telah menyandera pemerintahan Solo pada saat itu.
Iklim politik Kota Solo memanas dengan merebaknya sejumlah persoalan korupsi menjelang Pilkada 2005. Sedikitnya dua kasus menjadi sorotan, isu korupsi berjamaah anggota DPRD Solo tahun 1999-2004 sebesar Rp 5,8 miliar dan penyimpangan pos APBD Tahun Anggaran 2003 oleh petahana wali kota sebesar Rp 6,9 miliar dalam proyek pembangunan balaikota. Masyarakat pun gencar menuntut kepemimpinan baru yang mampu membersihkan pemerintahan sekaligus memperbaiki citra Solo.
Jokowi-Rudy, yang diusung PDI-P dan didukung PKB, memenangkan kontestasi Pilkada Surakarta 2005 dengan meraih 99.961 suara (36,67 persen). Pasangan ini menyingkirkan tiga rivalnya, yakni pasangan pengusaha Achmad Purnomo dan dokter Istar Yuliadi (29,08 persen) dari PAN, pasangan Ketua Kadinda Surakarta Hardono dan “pengageng” (elite) keraton GPH Dipokusumo (29,00 persen) dari koalisi Golkar-Demokrat dan terakhir pasangan petahana Wali Kota Slamet Suryanto dan Ketua DPC PDS Henky Narto Sabdo (5,25 persen) dari koalisi 14 partai nonparlemen.
Kepemimpinan Jokowi-Rudy persuasif membuka ruang partisipasi publik. Dengan gaya komunikasi yang sederhana dan egaliter, Jokowi membongkar sekat kekuasaan antara pemerintah dengan warganya. Wajah birokrasi menjadi jauh lebih ramah dengan etos kerja melayani publik. Jokowi juga dipandang sukses mencairkan kontestasi politik yang dipengaruhi tarik-menarik partai nasionalis dan Islam.
Seluruh perubahan ini diapresiasi publik. Sehingga Jokowi-Rudy meraih kemenangan fenomenal dalam pilkada berikutnya, 2010. Diusung oleh koalisi PDIP, PAN, dan PKS yang mengantongi modal suara 54,11 persen Jokowi-Rudy menjadi satu dari sedikit petahana yang meraih kemenangan mutlak. Pada Pilkada Solo 2010, pasangan ini mendulang suara 90,09 persen! Satu-satunya pesaing, KP Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung Demokrat dan didukung Golkar, hanya meraih 9,91 persen suara.
Sejumlah hal mendorong kemenangan Jokowi-Rudy. Jokowi memikat dukungan para pemilih rasional, terutama melalui program prorakyat yang menjadi kebijakan pembangunan Solo selama lima tahun. Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) misalnya merupakan kebijakan publik yang berdampak luas.
Program yang digulirkan sejak tahun 2008 ini sukses melibatkan partisipasi aktif masyarakat untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Penerapan kebijakan ini juga frontal mengubah karakter birokrasi pemerintahan menjadi lebih melayani sekaligus menarik dukungan keikutsertaan pihak penyedia jasa kesehatan swasta. Sejak pertama dirancang, kebijakan ini relatif tidak banyak mendapatkan penolakan di parlemen.
Dalam sebuah wawancara dengan penulis di rumah Rio Sarwono di Jakarta (5/8/2012), Jokowi menegaskan bahwa birokrasi harus mengikuti sistem.
“Ya memperbaiki sistemnya, membangun sistemnya. Sudah itu aja. Birokasi suruh mengikuti sistem, birokrasi suruh masuk ke sistem yang kita bangun. Kalau enggak mau masuk ke sistem yang kita bangun, ganti saja, ganti ke orang yang mau, yang sudah niat. Simple saja, sederhana. Saya itu juga enggak bisa berpikir tinggi-tinggi, simple-simpel saja,” kata Jokowi.
Memicu Tren
Apa pengaruhnya model ini ke depan, khususnya terhadap elite politik nasional, partai-partai mapan, dan kepemimpinan lokal lainnya?
Seperangkat identitas baru yang dibawa Jokowi ke kancah pertarungan yang lebih besar, ternyata menjadi senjata yang ampuh untuk meruntuhkan ketangguhan model kepemimpinan konvensional yang bertumpu pada kekuatan modal uang dan dukungan partai.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 telah memberi pelajaran sangat berarti bagi sejumlah elite mapan yang ingin membangun dinasti dengan modal kepemimpinan ala kadarnya. Peristiwa politik ini juga mempertontonkan runtuhnya partai-partai yang dilanda kemandekan, tidak mau mengubah pola kaderisasi dan tak memberi peluang bagi munculnya tokoh baru.
Kemunculan nama Jokowi ke pentas politik Ibukota Jakarta juga telah memberi warna baru dalam hubungan calon kepala daerah dengan partai politik. Sikap independen dalam kebijakan-kebijakan politik birokrasi yang diambil Jokowi sewaktu di Solo membuat campur tangan partai politik tak mudah masuk untuk mengendalikannya. Ketakutan sejumlah elite mapan partai politik, yaitu kemungkinan tergerusnya peran mereka jika tidak membendung laju Jokowi, membuat mereka lebih memilih menyandarkan perahu politiknya mendukung petahana Fauzi Bowo.
Pada putaran kedua pilkada, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli didukung oleh Partai Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB, PKNU, Golkar, PPP dan PKS. Jokowi, bisa jadi, memang berbahaya bagi elite-elite lama. Kemampuannya memicu tren identitas baru kepemimpinan akan memaksa calon pemimpin daerah maupun nasional nantinya harus lebih letih bekerja dari yang sebelumnya pernah mereka bayangkan. Tiap calon akan diukur lebih teliti, menurut model yang dibawa Jokowi.
Namun, semua upaya membendung laju Jokowi ke kursi Gubernur DKI Jakarta oleh elite politik tak sejalan dengan keinginan publik yang sebagian besar sudah menerima identitas politik yang dibawa Jokowi sebagai gerak perubahan.
Besarnya dorongan untuk perubahan tertangkap lewat survei pascapemilihan (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Sebagaimana terlihat dalam hasil survei tersebut, mereka yang datang ke TPS karena menginginkan perubahan terhadap kehidupan kota dan pergantian gubernur cenderung memilih pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama.
Mereka yang datang ke TPS sekadar menggunakan hak atau karena disuruh mencoblos oleh orang lain cenderung memilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Hasil akhir kontestasi itu memang kemudian menunjukkan, Jokowi-Ahok memperoleh 53,82 persen suara, unggul atas pasangan Fauzi-Nachrowi yang mendapat 46,18 persen suara.
Jokowi dipandang pemilih, tidak saja berhasil dalam membenahi Kota Solo, Jawa Tengah, tetapi sikapnya juga dipandang positif dalam menghadapi persoalan perbedaan etnis, agama, ataupun dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta telah memberi tawaran model perubahan, bahkan kemudian memengaruhi konstelasi politik secara luas, yang sedang mengalami stagnasi dalam kepemimpinan nasional.
Model kepemimpinan Jokowi dan Ahok yang kemudian dijalankan di Jakarta juga berdampak pada runtuhnya paradigma kepemimpinan yang selama ini kaku. Pola-pola kepemimpinan Jokowi-Ahok dengan cepat direplikasi di berbagai daerah dan memunculkan figur-figur baru kepemimpinan daerah yang lebih merakyat, kerap turun lapangan, dan tegas dalam mengatur birokrasi.
"Karena sebuah negara harus ada karakternya, identitasnya, jati dirinya. Inilah Indonesia, orang Indonesia, manusia Indonesia. Dan, itu yang sampai sekarang kita mulai kehilangan," kata Jokowi ketika menerima Good Governance Award atau penghargaan untuk tokoh pemerintahan terbaik versi Soegeng Sarjadi School Of Government (SSSG) tahun 2014. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)