Foto Cetak Masa Kini, Kebutuhan atau Nostalgia?
Masih rutin mencetak foto-foto yang tersimpan di telepon genggam atau kamera digital Anda? Jika ya, maka Anda sama dengan 6,5 persen responden Jajak Pendapat “Kompas” yang melakukan hal tersebut.
Anda jadi bagian dari kelompok “nostalgia masa lalu” yang mengabadikan kenangan dengan mencetaknya menjadi foto fisik. Apalagi, jika Anda juga merekam peristiwa memakai kamera analog.
Saat ini tidak banyak orang yang masih mau mencetak koleksi foto mereka di kertas foto serta memasangnya dalam album foto fisik. Dari 509 responden jajak yang ditanya mengenai apa yang biasa dilakukan terhadap koleksi foto yang ada di kartu memori kamera digital atau telepon seluler, mayoritas responden (63,5 persen) memilih tetap menyimpannya di gawai. Hampir seperempat responden yang lain memindahkan foto-foto itu ke komputer pribadi ataupun mengunggahnya di media sosial. Hanya 6,5 persen responden yang mencetak hasil fotonya.
Koleksi foto yang tersimpan tersebut baru akan dicetak ketika muncul kebutuhan untuk melengkapi persyaratan dokumen administratif, baik untuk mengurus ijazah, surat lamaran pekerjaan, visa, dan lain-lain. Pola ini diakui oleh sebagian besar (60 persen) responden Jajak Pendapat “Kompas”. Sebagian responden lainnya (37,3 persen) mencetak foto jika ada keperluan untuk menambah koleksi di album foto ataupun dipajang di rumah.
60 persen responden mencetak foto untuk kebutuhan melengkapi persyaratan dokumen administratif.
Padahal, ada manfaat besar dari memasang foto-foto keluarga di rumah tinggal kita. Hasil penelitian Venture New Generation Portraits seperti dikutip dari laman Daily Mail (15 Januari 2009) mengungkap hal ini. Studi yang melibatkan 1.000 orang tua di Inggris ini menyimpulkan bahwa anak-anak dengan orang tua yang memajang potret keluarga di rumah akan bertumbuh dan berkembang lebih percaya diri dan mempunyai rasa memiliki lebih kuat.
Pada artikel yang sama, dosen senior Ilmu Psikologi University of Manchester Profesor Geoff Beattie menjelaskan munculnya rasa percaya diri ini berasal dari pemahaman yang kaya tentang darimana seseorang berasal. Selain itu, foto juga menjadi sarana yang penting untuk menghubungkan rasa dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masa lalu.
Lantas, foto apakah yang paling sering dicetak hingga dipajang dalam bingkai foto oleh responden? Apakah foto keluarga atau foto diri? Jawaban yang muncul ternyata bukan swafoto atau yang sering disebut dengan selfie yang berisi diri sendiri. Foto bersama dengan keluarga justru menjadi pilihan utama responden untuk dibuat pajangan di rumah maupun di tempat-tempat pribadi lainnya.
Foto keluarga yang dicetak dan dibingkai dengan cantik biasa ditemukan di ruangan-ruangan rumah sejak dulu. Selain menjadi penghias dinding ataupun lemari pajang, foto-foto tersebut juga ditata rapi di album foto fisik yang menyajikan kisah keluarga dari tahun ke tahun. Dokumentasi pernikahan, kehamilan, kelahiran, jalan-jalan, dan kegiatan anggota keluarga lainnya menjadi kenangan yang dirasa penting dikoleksi.
Dokumentasi Digital
Kecilnya proporsi responden yang masih memiliki kebiasaan mencetak foto yang dihasilkan dari kamera telepon genggam dan kamera digitalnya merupakan dampak dari kemajuan teknologi termutakhir. Digitalisasi memungkinkan hampir semua fungsi dokumentasi bisa dilakukan dengan lebih mudah dalam kapasitas yang lebih besar.
Dimulai dari penyimpanan koleksi foto yang bisa dimaksimalkan dengan kartu memori internal maupun eksternal di dalam perangkat kamera maupun telepon seluler. Jika memori di gawai sudah tidak mencukupi, komputer personal bisa menjadi alternatif wadah foto kita yang menumpuk.
Untuk kapasitas yang lebih besar kini juga tersedia fasilitas cloud photoalbum seperti di Google drive dan beberapa medium lain. Foto dapat disimpan sebanyak-banyaknya dan tidak khawatir akan lapuk dimakan usia seperti foto fisik. Saat dibutuhkan file foto bisa dicari dengan mudah bahkan diolah untuk mempercantiknya.
Teknologi terkini juga memungkinkan kita untuk menyimpan sekaligus memajang foto-foto yang kita inginkan. Salah satunya adalah album foto digital yang bisa menampilkan rangkaian foto-foto digital secara otomatis. Untuk jangkauan yang lebih luas baik secara teknologi maupun sosial memajang koleksi foto di dinding media sosial menjadi pilihan yang lebih populer.
Sensasi Baru
Di tengah berbagai perubahan tersebut selalu ada yang bertahan bahkan menciptakan sensasi baru. Buktinya, scrapbook yang muncul sejak sekitar 20 tahun lalu sampai sekarang masih banyak penggemarnya. Scrapbook menggabungkan kegiatan mengoleksi foto cetak dengan seni merangkai, menata, dan mempercantik foto dengan berbagai hiasan. Dengan scrapbook foto-foto cetak ditata dengan indah dan bernilai seni.
Sensasi baru juga muncul di saat kamera analog mulai tidak populer. Kamera analog yang menggunakan roll film sebagai medium foto atau lebih dikenal sebagai kamera film tidak pernah benar-benar kehilangan penggemarnya. Hal ini terbukti dengan kian seringnya para penyuka fotografi mencantumkan tagar semacam #35mm, #35mmfilm, #35mmfilmfotography, #filmisnotdead, dan semacamnya di foto-foto karya mereka yang dipajang di media sosial. Keberadaan tagar ini menandakan bahwa foto-foto tersebut diambil menggunakan kamera analog yang memiliki format film 35mm. Film dengan format ini adalah yang paling umum digunakan oleh kamera roll film.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan pecinta fotografi masih banyak yang tertarik untuk menggunakan kamera 35mm yang bisa dibilang ‘model kuno’ ini. Salah satunya adalah karena mereka menyukai seni menikmati proses pengambilan foto.
Mengambil foto dengan film harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh kesabaran untuk mendapatkan hasil jepretan yang artistik dan bermakna. Roll film yang fisiknya terbatas tentu tidak seperti medium digital yang bisa bolak balik menjepret foto tanpa khawatir akan kehabisan. Perbedaan lainnya adalah pengambilan gambar yang salah saat menggunakan roll film tidak bisa diulang sementara sebaliknya dengan medium digital. Tantangan dalam proses pemotretan tersebut yang disukai penggemar kamera analog.
Proses pencucian hingga pencetakan foto juga tak kalah seru untuk dinikmati. Keduanya harus dilakukan dengan insting yang tepat saat melihat klise film agar bisa mengetahui mana foto terbaik yang harus dicetak. Satu hal yang menghambat pemakaian kamera analog adalah film dan kameranya yang kian sulit dicari. Bahkan, studio foto yang bisa mencetak roll film pun sangat terbatas jumlahnya.
Penentuan posisi baru dari medium-medium lama di tengah kemunculan media digital adalah proses yang tidak akan pernah berakhir. Generasi yang terus bergiliran menguasai panggung terkini yang akan memutuskan posisi tersebut dalam eranya, termasuk foto cetak dan berbagai medium yang mendukungnya. Di titik ini antara kebutuhan fungsional dan nostalgia menjadi dua hal yang bisa jadi saling melengkapi. (Palupi Panca Astuti/Sugihandari/Litbang Kompas)