Kita Rentan Sakit Jiwa
Sudahkah kita memperhatikan kesehatan jiwa kita?
Sebagai manusia yang sibuk, acap kali kita tidak memahami apa yang sedang terjadi pada tubuh. Tanda-tanda gangguan, seperti sulit berkonsentrasi, kecemasan berlebih, dan stres, harus dipaksa sirna demi menjalankan rutinitas. Padahal, keadaan tersebut dapat memengaruhi kesehatan jiwa kita.
Jiwa yang sehat menjadi modal untuk mencapai hidup yang berkualitas. Publikasi Bank Dunia pada April 2018 menyebutkan bahwa gangguan jiwa adalah hambatan serius dalam pembangunan global. Gangguan yang tidak teratasi menyebabkan penurunan produktivitas kerja yang setara dengan hilangnya 1 triliun dollar AS per tahun.
Sayangnya, kesehatan jiwa masih diabaikan. Menurut The World Federation for Mental Health, separuh orang dengan gangguan seperti depresi tidak mendapatkan penanganan yang baik. Penanganan disabilitas psikologis ini masih dinomorduakan dibandingkan penanganan penyakit fisik.
Setali tiga uang pengabaian kesehatan jiwa juga terjadi di Indonesia. Layanan konseling belum tersedia cukup. Hingga kini, tenaga psikologi yang terdaftar melalui pusat data Kementerian Kesehatan hanya berjumlah 1.400 orang. Dari jumlah tersebut, dapat diasumsikan bahwa satu tenaga psikologis menangani 187.000 jiwa sesuai dengan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2017 sebanyak 261,9 juta jiwa.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar 1 : 30.000 untuk tenaga psikologis berbanding penduduk. Maka, untuk memenuhi standar ini setidaknya dibutuhkan enam kali lipat penambahan tenaga psikologis. Di Indonesia, baru tiga provinsi yang setidaknya mendekati standar WHO tersebut, yaitu Jawa Timur dengan rasio 1 : 57.112, DI Yogyakarta 1 : 59.717, dan Aceh dengan 1 : 97.915.
Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir jumlah tenaga psikologis sudah mengalami kenaikan. Mengacu pada data Profil Kesehatan 2017, tenaga psikologis berangsur naik dari 1.211 orang pada 2015 menjadi 1.333 orang pada 2016. Hanya saja, tenaga psikologis masih belum tersedia di Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Infrastruktur untuk layanan kuratif dan rehabilitasi, seperti rumah sakit jiwa (RSJ), juga belum menjangkau semua wilayah. Di tingkat tersier, ketersediaan RSJ belum tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Merujuk Undang-Undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pasal 52, menyebutkan bahwa pemerintah wajib mendirikan satu rumah sakit jiwa di setiap provinsi dan menyediakan fasilitas pelayanan di luar kesehatan berbasis masyarakat di setiap kota/kabuapaten. Namun, hingga empat tahun UU tersebut disahkan, peraturan belum kunjung terpenuhi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (2017), 45 RSJ baru tersebar di 26 provinsi. Delapan provinsi lainnya, seperti Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua Barat, belum memiliki RSJ. Selain masalah jumlah, kualitas dari RSJ juga belum seluruhnya terverifikasi. Separuh RSJ belum terakreditasi sehingga langkah kuratif dan rehabilitasi untuk penyembuhan pasien belum dapat dikatakan memenuhi standar. Data Komisi Akreditasi Rumah Sakit menunjukkan, baru 20 RSJ terakreditasi paripurna, 1 RSJ terakreditasi madya, dan 2 terakreditasi perdana.
Pendapat publik
Menurut Jurnal Kesehatan dari US National Library of Medicine berjudul ”Sadness: Diagnonis, Evaluation, and Treatment”, depresi karena kesedihan yang mendalam adalah hal umum. Kesedihan sendiri didefinisikan sebagai respon wajar atas kehilangan, ketidaksukaan, atau keputusasaan.
Sementara itu, Jajak Pendapat Kompas kepada 548 responden berhasil merekam opini dan pengalaman publik tentang problematika kesehatan jiwa. Sebanyak 88,5 persen responden yang tinggal di perkotaan ini mengaku pernah mengalami pengalaman paling menyedihkan dalam hidupnya. Hanya 8,9 persen publik yang menyatakan tidak pernah memiliki pengalaman tersebut.
Dalam mengatasi perasaan ekstrem seperti itu, mayoritas publik (74,1 persen) memilih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian kecil lainnya mengatasi masalah dengan bersosialisasi bersama orang dekat (12,5 persen) dan yang lainnya memilih menyibukkan diri dengan hobi (8,9 persen). Dalam situasi kesedihan mendalam, hanya 2,9 persen responden yang memutuskan mendatangi dokter atau psikolog.
Dari kedua hasil jajak tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas publik memiliki potensi mengidap depresi atau gangguan jiwa lainnya. Publik juga menunjukkan kecenderungan tidak memilih pendekatan medis untuk mengatasi kegelisahannya.
Dengan potensi tersebut, persepsi publik tentang apa itu gangguan jiwa dan orang dengan gangguan jiwa menjadi penting untuk menunjukkan kerangka berpikirnya. Kecenderungan sikap publik dalam menilai apa itu ”gangguan jiwa” tecermin pada jawaban lebih dari separuh responden (51,5 persen) yang memahami gangguan jiwa sebagai masalah kesehatan dan 4,6 persen sebagai gangguan depresi. Dengan pemahaman seperti itu, gangguan jiwa adalah sebuah penyakit yang harapannya bisa disembuhkan dengan pendekatan medis.
Kelompok publik lainnya (31,2 persen) merekatkan makna ”gangguan jiwa” dengan orang gila dan sebagian kecil (4,3 persen) menganggapnya sebagai kerasukan roh. Pilihan ini bermakna bahwa gangguan jiwa masih dianggap sebagai suatu gejala sosial, bahkan dekat dengan takhayul.
Langkah Promotif
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, jumlah orang berusia 15 tahun ke atas dengan gangguan mental, seperti depresi dan kecemasan, mencapai 14 juta orang. Adapun untuk gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, dialami sekitar 400.000 orang atau 1,7 orang per 1.000 penduduk.
Seiring dengan keterbatasan fasilitas dan pemahaman tentang kesehatan jiwa di negeri ini, fenomena sosial, seperti penelantaran dan stigmatisasi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) muncul. Stigmatisasi pada ODMK sebagai orang gila memperburuk langkah promotif dan preventif kesehatan jiwa.
Di daerah yang tidak memiliki fasilitas kesehatan mental, penanganan ODMK menemui kendala. Bagi ODMK yang beruntung, mereka akan dirujuk ke RSJ atau ditempatkan di RSU yang memiliki poli khusus. Di Kepulauan Riau, misalnya, setiap tahun sekitar 35 ODMK dikirim ke RSJ Tampan Pekanbaru, Riau. Sementara di Kalimantan Utara, ODMK dikirim ke RSU Tarakan yang hanya memiliki ruang khusus pasien jiwa.
Jalan alternatif dengan mentransfer ODMK sayangnya menelan banyak biaya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika keluarga penderita memilih cara-cara seperti pemasungan, pengurungan, atau bahkan penelantaran untuk ”mengobati” ODMK. Meskipun bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 39 Tahun 2016, penelantaran ODMK menjadi hal wajar.
Hal ini terlihat dari sikap publik ketika bertemu ODMK di jalanan. Sebanyak 38,3 persen publik tidak melakukan apa-apa ketika bertemu ODMK di tempat umum, bahkan 27,2 persen menyatakan akan menghindar. Hanya 20,1 persen publik yang akan melaporkan kepada dinas sosial atau pihak setempat (ketua RT dan RW) serta 13,1 persen memilih memberikan makan, minuman, ataupun pakaian. Meski demikian, angka ini telah menumbuhkan optimistis untuk memberikan perlindungan bagi ODMK.
Laporan Human Right Watch 2018 masih menyoroti praktik pasung yang sudah dilarang sejak 1977. Keluarga dan tempat penyembuhan tradisional masih menggunakan rantai atau pasung dalam menangani orang dengan disabilitas psikologi ini. Dari laporan yang sama, kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis atau tradisional.
Menciptakan masyarakat yang tidak melakukan diskriminasi dan menempelkan stigma penyandang gangguan jiwa adalah sebuah keharusan. Langkah promotif pemerintah, seperti Gerakan Stop Pemasungan, juga perlu dukungan masyarakat demi tercapainya keadilan dan rasa aman bagi semua orang. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)