Isu pemanasan global menjadi bahasan koran-koran Asia di akhir pekan. Menurut Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA), hingga Juli 2018, lima parameter penentu kondisi pemanasan global semakin bertambah buruk. Kadar karbon dioksida, suhu global, tinggi muka air laut, massa lapisan es, hingga luas lautan es sangat memprihatinkan.
Massa lapisan es di seluruh dunia dilaporkan turun sebesar 127 gigaton. Hal ini sejalan dengan luasan lautan es yang turun 13,2 persen per dekade. Akibatnya, tinggi muka air laut naik 3,2 milimeter per tahun. Tentu ini menjadi ancaman bagi negara-negara pesisir.
Tak berhenti di situ saja, kondisi atmosfer pun turut goyah dengan peningkatan kadar karbon dioksida yang mencapai 408 ppm. Efek yang timbul adalah munculnya anomali respons atmosfer yang mengatur cuaca dan iklim di Bumi. Kenaikan suhu sebesar 0,9 derajat celsius pun turut menambah guncangan sistem atmosfer Bumi.
Kolapsnya sistem atmosfer Bumi ditandai dengan kejadian-kejadian ekstrem di seluruh belahan Bumi. Kondisi ini menjadi perhatian koran The Japan Times dan The Nation. Kedua surat kabar ini memilih isu perubahan iklim menjadi berita utamanya pada 30 Agustus 2018 sebagai peringatan mitigasi iklim bagi dunia internasional.
Banyak dampak yang timbul akibat pemanasan global, salah satunya peningkatan risiko gelombang panas di dunia. Harian The Japan Times mengangkat berita tentang dampak langsung dari fenomena gelombang panas. Sudah lima orang meninggal di salah satu rumah sakit kota Gifu, Jepang, dalam satu pekan terakhir.
Kematian lima orang diindikasikan karena tidak berfungsinya penyejuk ruangan. Sebagai ganti penyejuk ruangan, mereka memasang kipas angin di tiap ruangan. Namun, usaha rumah sakit untuk mengurangi panas dengan kipas angin tak efektif.
Serangan gelombang panas masih terlalu ganas, khususnya untuk lansia di Jepang. Akibatnya, empat orang ditemukan meninggal. Saat merasakan suhu udara di atas normal, beberapa pasien sempat pindah ke lantai dua. Tak berselang lama, keesokan harinya, seorang pria berusia 84 tahun juga meninggal. Badan Meteorologi Jepang mencatat suhu udara saat itu meningkat hingga mencapai 36,2 derajat celsius.
Fenomena gelombang panas di Jepang telah menelan korban jiwa 133 orang hingga Juli 2018. Dalam seminggu terakhir, lebih dari 5.000 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Pemerintah Jepang mengeluarkan peringatan kepada seluruh penduduknya agar bersiap menghadapi serangan gelombang panas yang mematikan.
Darurat mitigasi
Bukan hanya wilayah Jepang. Gelombang panas juga melanda beberapa wilayah di AS, Kanada, dan negara-negara Eropa bagian utara. Udara panas yang bertahan itu terjadi bersamaan dengan kekeringan akibat curah hujan yang rendah di Eropa.
Rekor cuaca terpanas terjadi di kota Kamagaya, Jepang, dengan suhu 41.1 derajat celsius. Tokyo untuk pertama kalinya juga mencatat rekor terpanas, 40 derajat celsius. Gelombang panas juga menjangkau Amerika. Pada 6 Juli 2018, suhu udara di kota Chino mencapai 48,9 derajat celsius. Di Gurun Sahara, pada 5 Juli lalu suhu tercatat mencapai 51,3 derajat celsius.
Publikasi Cambridge University dan Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2013 menjelaskan tentang berbagai kerusakan sistem iklim di Bumi, termasuk korelasinya dengan kondisi hidrometeorologi di banyak tempat. Oleh karena itu, dibutuhkan kesepakatan bersama untuk menghadapi situasi iklim global saat ini, khususnya berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan.
Salah satu peran mengurangi pemasanan global ditampilkan harian The Nation. Koran terbitan Thailand tersebut menyuarakan pembiayaan untuk program-program perubahan iklim. Organisasi kemasyarakatan, aktivis lingkungan, dan orang-orang terdampak perubahan iklim sepakat untuk mendorong terciptanya dana iklim di Thailand.
Rabu, 29 Agustus 2018, mereka berkumpul di Universitas Chulalongkorn untuk merumuskan rekomendasi pencegahan dan mitigasi perubahan iklim yang akan disampaikan di Pusat Konferensi PBB Bangkok pada 4-9 September 2018. Rekomendasi itu bertujuan membangun kapasitas lokal bagi masyarakat agar bersiap, beradaptasi, dan memitigasi kondisi iklim global saat ini.
Selain pembentukan dana kemanusiaan untuk korban perubahan iklim, usulan lainnya berupa promosi energi terbarukan, menghentikan bahan bakar fosil dari Rencana Pengembangan Kekuatan Nasional, modernisasi undang-undang iklim, serta merevisi strategi nasional 20 tahun untuk memasukkan mitigasi perubahan iklim dan ketahanan pangan.
The Nation juga menyoroti posisi masyarakat yang termarjinalkan. Penduduk miskin, pedesaan, dan terpinggirkan adalah kelompok terentan terhadap dampak buruk anomali iklim global. Mereka adalah kelompok dengan daya pulih terendah saat terpapar cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan. Proporsi kontribusi mereka terhadap kadar gas rumah kaca lebih rendah dibandingkan dengan kelompok elite, tetapi harus menerima dampak lebih besar.
Berbeda dengan The Japan Times dan The Nation yang mengangkat isu iklim, koran nasional China, China Daily, mengangkat isu jaminan negara terhadap semua penduduk asal ”Negeri Tirai Bambu” di mana pun mereka berada. Komitmen itu disampaikan Partai Komunis China di upacara pembukaan kongres diaspora China yang dihadiri sekitar 1.300 orang dari 110 negara. (Yoesep Budianto/Litbang Kompas)