Menagih Komitmen Menjaga Bumi
Perubahan iklim membawa mimpi buruk bagi penduduk dunia. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) mencatat, kenaikan suhu bumi rata-rata global pada Maret 2016 mencapai titik tertinggi, yaitu 1,2 derajat celsius lebih tinggi daripada rata-rata suhu bumi sepanjang abad ke-20.
Bencana bumi terhampar di depan mata sebagai dampak perubahan iklim, antara lain badai yang semakin kuat, kekeringan ekstrem, naiknya permukaan air laut, prediksi musim yang semakin sulit, gelombang panas yang semakin sering terjadi, serta meluasnya jangkauan penyakit infeksi tropis.
Untuk mencegah makin parahnya bencana bagi bumi, komitmen negara-negara di dunia kembali diingatkan melalui forum Bangkok Climate Change Conference yang digelar pada 4-September 2018. Konferensi ini menjadi topik bahasan utama yang ditampilkan koran terbitan Thailand, The Nation edisi 3 September 2018.
The Nation mengingatkan makin kencangnya laju kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) setelah Revolusi Industri akibat penggunaan bahan bakar fosil. Dalam rentang 70 tahun, laju peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida telah mencapai 100 kali lipat, paling dominan dari gas-gas rumah kaca.
Berita utamanya Climate Push Comes to Bangkok mengingatkan negara-negara di dunia, termasuk Thailand untuk menurunkan emisi gak rumah kaca. Organisasi Pengelolaan Gas Rumah Kaca Thailand mengungkapkan bahwa selama dua tahun terakhir, Thailand telah mengambil langkah-langkah besar dalam tujuan pengurangan GRK.
Tahun lalu target pengurangan 25,5 juta ton CO2 setara (mt-CO2eq) terlampaui dengan mengurangi lebih dari 40.14mt-CO2eq dari sektor energi dan logistik. Sesuai komitmennya pada Perjanjian Paris, Thailand berharap dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 20 hingga 25 persen pada tahun 2030 atau setara dengan 110 hingga 140mt-CO2-eq.
Walau berada dalam tren positif, Thailand masih banyak memiliki tantangan untuk mencapai sasaran pengurangan emisi GRK yang lebih progresif. Masalah utama yang dihadapi adalah minimnya komunikasi, yaitu kurangnya informasi emisi GRK yang komprehensif serta kurangnya kesadaran dan pemahaman publik.
Masalah lain yang menjadi perhatian pemberitaan The Nation adalah komitmen negara-negara lain terhadap Perjanjian Paris. Kesepakatan Paris yang bertujuan menahan kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius telah diratifikasi 169 negara dari 197 negara di dunia.
Mereka menyampaikan komitmen melalui Niatan Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution. Dalam kontribusi tersebut disebutkan bagaimana dan berapa besar suatu negara akan menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai kondisi masing-masing. Kesepakatan ini mulai berlaku 2020, yang berarti tinggal dua tahun lagi.
Komitmen tersebut pantas ditagih, mengingat gas rumah kaca yang disetarakan dengan gas karbondioksida (CO2) adalah gas penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Saat ini kenaikan rata-rata suhu global sekitar 1 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri. Konsentrasi gas karbon sekitar 403,3 bagian per juta atau ppm (Kompas 2/11/2017).
Pencemaran
Selain isu perubahan iklim, topik lingkungan juga menjadi perhatian koran-koran di belahan Oceania akhir pekan lalu. Harian The Press di Selandia Baru memberitakan tentang gas buang hewan ternak yang mencemari udara. Peternakan, yang menjadi salah satu motor perekonomian Selandia Baru menyimpan potensi penyebab pemanasan global.
Setidaknya terdapat 19 juta domba yang dibudidayakan di wilayah Selandia Baru, belum ditambah hewan ternak lainnya, yakni sapi. Harian The Press mengangkat judul berita utama “Belching Livestock on Notice” untuk mengangkat isu pencemaran lingkungan yang disebabkan hewan ternak. Gas buang hewan ternak mengandung metana, karbondioksida, dan oksida nitrat yang merupakan gas penyebab pemanasan global.
Permasalahan pelepasan gas oleh hewan ternak tidak hanya menjadi perhatian di Selandia Baru. Setiap negara yang memiliki konsentrasi peternakan menghadapi permasalahan serupa. Berdasar laporan Badan Pangan PBB atau FAO, hewan ternak menyumbangkan 14,5 persen emisi gas penyebab efek rumah kaca.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk menekan emisi gas tanpa menurunkan populasi ternak. Yakni, memberikan pakan khusus, vaksinasi, serta melakukan rekayasa genetik pengembangbiakkan ternak untuk menekan emisi gas ke titik netral.
Kondisi dampak netral merupakan titik keseimbangan antara direproduksinya emisi gas oleh hewan ternak dengan kemampuan alam untuk menetralisis gas pencemar. Selandia Baru menargetkan sudah mencapai titik keseimbangan ini pada 2050.
Isu lain yang masih terkait pencemaran lingkungan, adalah kebakaran gudang di kawasan West Footscray, Melbourne yang disorot koran Australia, Herald Sun. Asap dari kebakaran dikhawatirkan mengandung zat berbahaya sehingga membahayakan penduduk sekitar.
Akibat kebakaran, kegiatan sekolah di kawasan ini dihentikan. Orang tua mengkhawatirkan anak mereka karena kondisi udara tercemar asap. Otoritas pemerintah setempat menyatakan bahwa asap dari kebakaran tersebut beracun. Gudang yang terbakar merupakan tempat penyimpanan aseton dan bahan kimia untuk pengelasan. Warga juga dihimbau supaya mematikan pengkondisi udara (AC). Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya asap beracun ke dalam rumah penduduk.
Suasana dampak kebakaran hebat tersebut digambarkan Herald Sun sebagai neraka, dengan melukiskan betapa luasnya sebaran asap yang mengancam keselamatan nyawa penduduk. Kandungan racun yang terbawa oleh asap menjadi ancaman bagi kesehatan warga. Setiap tarikan nafas tanpa perlindungan dan antisipasi yang cukup merupakan tindakan meracuni tubuh manusia. (Andreas Yoga Prasetyo/Litbang Kompas)