Duka Bencana di Jepang
Jepang berada dalam gugusan sabuk api dan termasuk rawan gempa. Negeri Sakura tersebut berada di kawasan lingkar api Pasifik yang merupakan pertemuan tiga lempeng benua, yaitu Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina. Ketiga lempeng benua itu sama-sama bergerak dan menggeser satu sama lain.
Masyarakat Jepang ‘’akrab” dengan gempa. Guncangan gempa kecil hampir terjadi setiap hari di Jepang. Bencana gempa besar juga pernah terjadi dan menghantam wilayah Kobe pada tahun 1995 dengan korban tewas mencapai 6.400 orang.
Menjadi bagian dari lanskap Samudera Pasifik, Jepang juga kerap dihampiri badai-badai tropis yang dahsyat. Topan Chaba pada 2004 mengakibatkan sedikitnya 11 orang meninggal dunia. Di tahun yang sama, angin puyuh Tokage yang melanda Jepang telah menewaskan sedikitnya 55 orang.
Tidak heran, jika Jepang sering disebut sebagai negeri gempa dan angin topan (typhoon). Gambaran nyata atribut tersebut terlihat dari pemberitaan koran The Japan Times tiga hari terakhir ini, yang menyoroti bencana alam yang melanda Jepang dalam sepekan terakhir.
Awal pekan lalu, Topan Jebi dengan kecepatan angin hingga 216 kilometer per jam menerjang Jepang bagian tengah dan barat. Berselang dua hari, gempa bumi mengguncang Hokkaido dengan magnitudo 6,7 pada Kamis (6/8/2018). Dua bulan sebelumnya, Jepang juga dilanda bencana banjir dan tanah longsor.
Terdeteksi sejak Minggu (2/9/2018), Badai Jebi bergerak mendekati Kepulauan Jepang. Dua hari kemudian, angin topan menyapu negara sakura ini. Terjangan angin membuat Bandara Internasional Kansai di Osaka tutup. Sebagian landasan pacu bandara yang terletak di Teluk Osaka terendam banjir. Semua penerbangan dibatalkan, akibatnya 30.000 penumpang terjebak di bandara.
Koran The Japan Times melukiskan dahsyatnya bencana ini. Angin memporak-porandakan terminal peti kemas Osaka. Tumpukan kontainer bergelimpangan dan berhamburan seperti balok Lego. Kapal-kapal di sungai dan pelabuhan terbawa arus hingga ke tepian. Sebuah kapal tanker berbobot 2.591 ton terhempas dari pelabuhan dan tersangkut di sebuah jembatan tidak jauh dari Teluk Osaka.
Jebi, yang artinya “menelan” dalam bahasa Korea benar-benar memakan apa saja yang ada di depannya. Mobil-mobil terhempas di parkiran seperti beras yang disisihkan di atas tampah, menumpuk di sudut lahan parkir. Beberapa mobil terbakar dan menjalar ke mobil di sekitarnya. Badai Jebi merenggut 11 nyawa warga Jepang dan melukai sedikitnya 600 orang.
Sebelum Jebi, sejumlah angin ribut tercatat pernah membuat wilayah Jepang porak-poranda. Pada 2011, Topan Tallas melanda Jepang dan merenggut nyawa 82 jiwa warga. Dua tahun kemudian, badai besar juga menerjang Tokyo selatan dan membuat 40 orang meninggal dunia.
Gempa bumi
Bagai jatuh tertimpa tangga. Belum selesai berbenah pasca topan Jebi, Hokkaido dilanda gempa bumi pada Kamis (6/8/2018). Setidaknya 18 orang ditemukan meninggal, 24 orang masih dalam pencarian, serta 10.000 orang harus tinggal di pengungsian.
Cuaca buruk yang dibawa topan Jebi memperparah keadaan. Hujan lebat mengguyur sebagian besar wilayah Jepang. Gempa yang mengguncang negara matahari terbit ini sekaligus memicu tanah longsor di wilayah Hokkaido. Desa Atsuma merupakan lokasi yang terdampak longsor paling parah. Hampir semua bukit di Atsuma runtuh akibat hujan dan gempa. Sebanyak 16 penduduk Atsuma meninggal dunia.
Gempa yang terjadi pada pukul 03.08 waktu setempat mengakibatkan terputusnya saluran listrik. Setidaknya 3 juta rumah di Hokkaido harus melalui malam dengan kondisi gelap gulita. Menyikapi situasi ini, pemerintah Jepang menggelar tanggap darurat gempa. Sebanyak 25.000 prajurit dikirim ke Hokkaido untuk membantu pencarian korban gempa dan longsor. Diperkirakan masih ada warga yang tertimbun reruntuhan serta lumpur di lereng bukit Desa Atsuma.
Rentetan bencana yang terjadi di Jepang seakan melengkapi duka bencana yang melanda penduduk Jepang. Selain gempa bumi dan topan, tahun ini Jepang dilanda banjir badang dan longsor pada awal Juli 2018 lalu .
Banjir, banjir bandang dan tanah longsor terjadi pada 6 Juli 2018 melanda empat daerah, yaitu Hiroshima, Ehime, Okayama, dan Kyoto. Sejumlah 70.000 personel gabungan dari berbagai elemen dikerahkan untuk misi penyelamatan dan pencarian korban.
Pemerintah Jepang menyatakan setidaknya 1,9 juta orang harus dievakuasi. Arus banjir sangat kuat dan menerjang permukiman warga. Warga menyelamatkan diri dengan cara naik ke atap rumah mereka untuk menghindari lumpur pekat dan terjangan air. Banjir badang dan tanah longsor ini menyebabkan setidaknya 200 orang meninggal. Yoshihide Suga, Menteri Sekretaris Negara Jepang, menyatakan banjir bandang dan longsor pada bulan Juli lalu merupakan bencana paling parah selama 36 tahun terakhir.
Mitigasi Bencana
Pemerintah dan warga Jepang menyadari wilayahnya merupakan daerah yang akrab dengan gempa bumi dan topan. Bangunan-bangunan di negara yang berada di ufuk timur Asia ini dibangun sesuai dengan kondisi geografisnya. Dirancang tahan gempa dan kuat menghadapi terjangan topan.
Persiapan menghadapi bencana sudah dilakukan jauh hari sebelum bencana terjadi. Salah satu program yang dicanangkan adalah “penambatan” perabot rumah tangga. Perabot rumah tangga seperti lemari, buffet, dan lain sebagainya diharuskan untuk ditambatkan dengan lantai atau dinding rumah. Tujuannya supaya saat terjadi gempa, perabot rumah tangga tidak mencelakakan penghuni rumah.
Pemerintah Jepang mencanangkan peningkatan jumlah perabot rumah tangga yang ditambatkan dari 30 persen menjadi 60 persen pada tahun 2017. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana.
Selain Jepang, bencana badai besar juga mengancan wilayah Guam. Harian Pacific Daily News sudah memberikan peringatan dini dengan mengangkat berita utama dengan judul “Storm Heads to Guam”. Judul ini sudah cukup merepresentasikan hal apa yang diprediksi akan terjadi.
Mengutip data dari National Weather Service Meteorologist, berita utama yang diangkat menyoroti prediksi badai yang akan menerjang Guam diperkirakan lebih kuat dari pada badai saat 2002 silam. Sebelumnya, Guam pernah diterjang Topan Pongsona pada Desember 2002. Kecepatan angin Pongsona antara 230 hingga 278 kilometer per jam.
Pulau dengan luas hanya 544 kilometer persegi, yang terletak di Samudera Pasifik ini dihantui badai tropis yang setara dengan Topan Pongsona. Badai yang diperkirakan akan sampai Guam pada Selasa (11/8/2018) berkecepatan 249 kilometer per jam. Tidak terpaut jauh dengan kecepatan topan Jebi yang menerjang Jepang.
Pemerintah setempat meminta penduduk Guam untuk melakukan persiapan diri selama akhir pekan untuk menghadapi topan. Warga diminta untuk membongkar kanopi dan benda-benda yang berpotensi terbang terbawa angin. (Yohanes Advent Krisdamarjati/Litbang Kompas)