Identitas dalam Politik (4): Masa Kampanye yang Sungguh Hitam
Pemilihan Umum Presiden 2014 mungkin akan tercatat sebagai pemilu paling keras dalam sejarah bangsa Indonesia. Meskipun bukan pemilu yang berdarah-darah, namun inilah pemilihan presiden paling melelahkan dan menegangkan. Perang urat syaraf antara kedua kubu, Prabowo Subianto–Hatta Rajasa dengan Jokowi–Jusuf Kalla (JK), telah membelah elite hingga masyarakat ke dalam dua kekuatan kognitif dan imaji yang saling menghancurkan. Bahkan, bara sekam pemilu masih menyala hingga kini, dan berdampak pada lemahnya kohesi nasional.
Berbeda dengan pemilu 1999, 2004, dan 2009, pemilu 2014 langsung memperhadapkan masyarakat pada dua pilihan pasangan calon presiden. Pada Pemilu 1999, gejolak nyaris tidak berkepanjangan karena sistem pemilihan presiden dilakukan oleh parlemen. Ketegangan lebih terlihat di kalangan elite, dan masyarakat terdistingsi sebagai penonton layar kaca.
Konstituen partai hanya dapat menyaksikan dari layar kaca, bagaimana Poros Tengah menjungkirbalikkan peluang Megawati Soekarnoputri yang partainya memenangkan pemilu dengan telak, dan kemudian mendudukkan Abdurrahman Wahid yang partainya di urutan ke tiga, sebagai Presiden RI. Walaupun ada sejumlah ketidakpuasan, namun gejolak segera reda usai pelantikan presiden.
Pemilu 2004, meskipun dilakukan dengan sistem pemilihan langsung, juga relatif tidak menimbulkan gejolak pada level masyarakat. Selain diuntungkan oleh kuatnya figur Susilo Bambang Yudhoyono, pemilu tersebut juga diikuti oleh lima pasangan calon presiden (capres). Pada putaran pertama, suara masyarakat terpecah ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Dengan polarisasi dukungan tersebar ke cukup banyak calon, fanatisme mencair begitu usai putaran pemilu pertama. Pada putaran ke dua, limpahan dukungan dari konstituen tiga calon yang kalah kepada dua calon yang bertanding selanjutnya sebetulnya tidak sekental putaran pertama karena tokoh yang diidolakan telah kalah.
Terlebih, dengan kuatnya popularitas SBY, pendukung dari calon yang kalah cenderung memilih figur yang sudah jelas-jelas akan menang (Bandwagon effect). Saat itu juga belum berkembang teknologi informasi lewat sosial media yang terlalu jauh. Penetrasi media lebih banyak dilakukan lewat pemberitaan dan iklan di televisi dan surat kabar. Upaya menarik massa juga masih relatif tradisional, dengan pengerahan massa dan kampanye terbuka.
Pada Pemilu 2009, penggunaan media relatif masih sama, hanya penggunaan iklan lewat televisi, media cetak, dan media luar ruang kian intens. Menurut Associate Director Client Service Nielsen Media Indonesia, Ika Jatmikasari, dalam keterangan persnya di Jakarta, 5 November 2009, belanja iklan kategori politik dan pemerintahan mengalami peningkatan 108 persen dari tahun sebelumnya.
Survei Nielsen dilakukan terhadap 24 stasiun televisi, 103 jenis koran, dan 165 jenis majalah dan tabloid. Meski demikian, iklan lewat media luar ruang juga menjadi ciri khas pemilu tersebut. Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) yang melakukan survei menjelang pemilu legislatif 2009 menemukan, bahwa mayoritas masyarakat (72%) memperoleh informasi tentang partai politik dan caleg umumnya melalui spanduk atau baliho.
Jadi komunikasi partai dengan masyarakat lebih banyak dilakukan melalui media tidak langsung seperti spanduk, poster, baliho, kartu nama, brosur, bulletin dan souvenir kampanye lainnya.[i]
Penggunaan media sosial secara luas sebagai kekuatan politik baru terjadi pada saat Pilkada DKI Jakarta 2012. Media sosial menjadi kekuatan baru yang didukung oleh perkembangan teknologi telekomunikasi. Penyebaran informasi lewat Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, dan aplikasi-aplikasi sejenis, membuat dunia politik bukan dunia yang berjarak. Ia hadir dalam genggaman, lewat gawai, sehingga setiap detik orang dapat memeriksa perkembangan politik dari sebuah lempeng elektronik yang ada di telapak tangannya.
Kian murahnya harga perangkat telepon genggam yang memiliki fitur-fitur canggih berbasis internet, membuatnya dapat terjangkau semua kalangan. Masyarakat tak lagi hanya sekadar penerima pesan, tetapi menjadi pelaku yang dapat dengan cepat menyebarkan informasi ke jaringan sosialnya. Bahkan, tak diperlukan kemampuan orang untuk menulis agar menjadi pelaku media. Ia cukup meneruskan pesan yang diterimanya ke orang-orang lain dengan seketika begitu sebuah pesan diterimanya.
Keajaiban sosial media inilah yang bisa membalikkan kokohnya hegemoni politik menjadi pecundang, dan mengangkat popularitas dengan cepat tanpa biaya mahal. Inilah yang terjadi pada sosok Jokowi dalam ajang pilkada Jakarta. Walaupun sejumlah survei cukup kokoh menempatkan lawan politiknya, Fauzi Bowo, sebagai calon terkuat, namun pada hari pemilihan ternyata ia kalah oleh Jokowi yang didukung oleh kekuatan jaringan media sosial.
Keajaiban sosial media membalikkan kokohnya hegemoni politik menjadi pecundang, dan mengangkat popularitas dengan cepat tanpa biaya mahal.
Setelah Pilkada DKI 2012, politik Indonesia memasuki masa yang paling menjengkelkan, namun menarik dari sisi kajian perilaku politik. Menjengkelkan karena alih-alih pemilu memberi harapan baru tentang kehidupan berbangsa, pascapemilu justru mempertontonkan drama politik yang melunturkan ikatan masyarakat.
Kepercayaan kepada para elite pun kian terkikis, karena begitu banyak manuver yang memperlihatkan secara telanjang betapa hausnya elite politik dengan kekuasaan. Politik direduksi menjadi sekadar hak, yang boleh diambil semaunya oleh elite politik. Hak istimewa elite terpagari dari pendapat umum. Bagi yang lelah mengikuti, bisa terjatuh ke dalam sikap apatis.
Menarik, karena inilah politik riil yang dimainkan dengan langkah-langkah yang terukur, cepat, dan penuh warna. Dalam tempo yang sangat cepat, sejak masa pencalonan presiden, polarisasi sikap politik ke dalam dua kutub sudah mulai terasa, dan kian mengeras pada masa kampanye. Inilah satu periode politik di mana semua langkah dapat diraba dan terang benderang, diperbincangkan berkat kemajuan teknologi telekomunikasi. Politik bukan lagi milik orang dewasa, tapi milik mereka yang bisa mengeja kata-kata yang terkirim lewat gelombang udara. Atmosfir politik ini, siapa saja dapat memetiknya.
Pemilu 2014 pada akhirnya berhasil memetakan secara lugas garis politik ke dalam dua kubu secara diametrikal, membelah tidak saja elite politik tetapi juga ke lapisan masyarakat paling bawah.
Pada Pemilu 2014, kekuatan media sosial berpadu dengan media online, menciptakan sebuah kekuatan baru yang bebas namun konspiratif. Kekuatan media online yang dikendalikan oleh pemodal dengan afiliasi politik tertentu, menerabas masuk ke ruang-ruang pribadi, mengkonstruksi informasi menjadi bilah-bilah kata yang tajam sehingga mudah masuk ke benak siapa pun.
Informasi menjadi barang gratis, bahkan menumpuk bak daun-daun yang bertebaran di musim gugur. Orang tak perlu memungutnya, karena sampah hitam dan sampah putih sudah menempel di genggaman. Dengan riang gembira, namun terkadang sinis bak sembilu, orang-orang bermain sampah berita, saling melemparkan bilah lancipnya kata.
Inilah satu fase, ketika perebutan kekuasaan di tingkat elite merembes begitu dalam ke semua lapisan, menggiring benak masyarakat ke alam liminal. Tidak ada kebenaran absolut, karena tiap fakta bisa dibaca sebagai realitas majemuk, memiliki banyak sisi yang selalu dapat diperdebatkan. Tiap sisi kehidupan dapat dibaca secara terbalik, putih bisa menjadi hitam dan hitam menjadi warna-warna lainnya. Kampanye hitam, hoaks, dan pernyataan-pernyataan negatif bertebaran di alam tanpa batas.
Informasi menjadi barang gratis, bahkan menumpuk bak daun-daun yang bertebaran di musim gugur.
Politicawave, sebuah lembaga yang memiliki keahlian menganalisis media sosial, memetakan kecenderungan-kecenderungan isi informasi yang beredar di kalangan netizen, istilah untuk pengguna internet. Hasilnya, kampanye hitam yang menyerang Jokowi jumlahnya 94,9 persen (!) dan serangan kampanye negatif 5,1 persen. Sebaliknya, serangan kampanye hitam ke Prabowo-Hatta “hanya” 13,5 persen dan kampanye negatif 86,5 persen.
Kampanye hitam adalah penyebaran informasi yang tidak berdasar dan bermuatan negatif (hoaks, ejekan, kebencian, hingga fitnah). Sedangkan kampanye negatif adalah penyebaran informasi yang memiliki dasar fakta, namun dipelintir cara penyajiannya, sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap sasaran informasi. Secara regulasi, menyerang lawan politik dalam pemilu dengan kampanye hitam adalah dilarang.
Sejak masa kampanye dimulai, kampanye hitam memang gencar menyerang Jokowi, baik lewat media sosial maupun media konvensional. Sejumlah fitnah juga disebarkan lewat tabloid Obor Rakyat dan Martabat. Isi kampanye hitam terhadap Jokowi, di antaranya: Jokowi capres boneka, non-muslim, keturunan non-pribumi, antek Tionghoa, dan antek asing.
Kampanye hitam juga mencoba menebarkan berbagai hal terkait model kepemimpinannya di Solo dan Jakarta, termasuk aktivitas “blusukan” yang digambarkan sebagai upaya pencitraan belaka. Serangan juga mengaitkan dengan partai pengusungnya, dengan menyebut PDI Perjuangan sebagai sarang komunis.
Sebaliknya, Prabowo juga menjadi sasaran kampanye hitam dan negatif. Dokumen-dokumen terkait pelanggaran HAM dan pemecatannya dari dinas kemiliteran beredar luas. Media juga mencoba mengungkap perilakunya yang kerap menggunakan kekerasan. Namun yang paling sering menjadi bahan olok-olok adalah statusnya yang duda.
Pemicu Hiperrealitas
Dalam silang-sengkarut antara informasi, kampanye hitam, dan kegairahan orang untuk berbicara politik inilah, lembaga survei mendapatkan tempat yang sangat penting. Terlebih, ketika pertarungan antarkandidat diprediksi akan semakin sengit. Belum pernah terjadi dalam sejarah sosial Indonesia, setiap hari, bahkan kalau perlu tiap jam, orang menantikan munculnya hasil survei terbaru.
Ketika hari-hari makin mendekati pemilu, makin intens orang menanyakan: “Bagaimana posisi Prabowo sekarang? Berapa persen Jokowi?” Nada dan kalimat ini hampir seragam, ditanyakan orang dari golongan super kaya hingga para pemulung jalanan. Seolah, masa depan mereka dipertaruhkan oleh hasil survei.
Kekuatan hasil survei mencapai puncaknya, ketika hari pemilihan umum tiba. Lewat hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga, terpapar hasil yang berbeda. Lembaga-lembaga yang selama ini dikenal kredibel dan independen cenderung menempatkan Jokowi – JK di posisi pertama perolehan suara, sementara lembaga-lembaga yang hasilnya disiarkan oleh televisi-televisi pendukung Prabowo cenderung menempatkan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang pemilu.
Kubu Jokowi berada dalam suasana haru, berangkulan dengan isak tangis, ketika penghitungan suara sampel hitung cepat mendekati hasil akhir pasangan mereka dipastikan menang. Sebaliknya, kubu lawannya, Prabowo – Hatta juga bersujud syukur, ketika hasil dari lembaga-lembaga survei di bawah naungan mereka menunjukkan gejala kemenangan pasangan ini.
Dalam dimensi ini, survei tidak lagi sekadar menjadi metode memprediksi, tetapi berubah menjadi alat kampanye yang paling berbahaya karena dalil-dalil ilmiah dikesampingkan, bahkan kalau perlu direkayasa, untuk menghasilkan pemenang. Ia berubah, dari alat prediksi menjadi alat produksi informasi berbasis kepercayaan pada dalil-dalil ilmiah. Bagi lembaga survei yang memiliki kepentingan tertentu, rekayasa angka dapat diciptakan mulai dari pemilihan sampel, pelaporan data, dan dari ruang kontrol data masuk hingga tampilan di layar televisi.
Bagi lembaga survei yang memiliki kepentingan tertentu, rekayasa angka dapat diciptakan.
Pada detik-detik terakhir penghitungan suara hitung cepat, antara pukul 12.00-16.00 itulah, sebuah hiperrealitas lahir ke hadapan publik, diinisiasi oleh angka-angka yang dirilis lembaga-lembaga survei. Hiperrealitas adalah suguhan ‘realitas’ yang lebih nyata dari aslinya, tempat di mana batas antara yang nyata dan maya sulit dibedakan.
Menurut Jean Baudrillard[ii], hiperrealitas adalah sebuah wujud tanpa asal dan kenyataan. Televisi adalah sebuah tempat suguhan hiperrealitas karena televisi memiliki kemampuan untuk membangun sebuah realitas sosial (social constructed reality). Dalam hitungan waktu dan angka-angka yang berubah kian stabil itu, tidak jelas apakah hasil hitung cepat itu realitas ataukah simulasi, tetapi dampaknya sungguh luar biasa.
Di rumahnya, Megawati Soekarnoputri mengucapkan: “Alhamdulillah setelah melakukan kewajiban selama 5 tahun memberikan hak pilih kita, pada Rabu 9 Juli 2014, kita saksikan suatu proses penghitungan bahwa yang namanya pasangan Ir Joko Widodo bersama Bapak H Jusuf Kalla telah dapat dinyatakan sebagai presiden RI versi quick count."
Di Tugu Proklamasi, Jokowi mengatakan: “Dari hasil quick count lembaga yang kredibel, yang mereka terbiasa dengan hasil-hasil akurat, tadi sudah diumumkan. Dari CSIS 52 persen : 48 persen, dari Litbang Kompas 52,3 persen : 47,6 Persen, dari SMRC 52,8 persen dan 47,2 persen, dari Indikator 52,6 dengan 47,3, dari RRI 52,5 dan 47,5, dan dari LSI 53,3 dan 46,7 persen."
Sebaliknya, di kediaman mendiang ayahanda, Sumitro Djojohadikusumo, Prabowo mengatakan: “Kami bersyukur, kami pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta, mendapat dukungan dan mandat dari rakyat Indonesia.” Dan, dalam wawancara khusus dengan BBC pada Jumat malam, 11 Juli 2014, Prabowo menegaskan, “semua survei menunjukkan saya unggul dan saya yakin akan mendapat mandat dari rakyat Indonesia."
Pemilu presiden memang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK dengan mendapatkan 53,15 persen suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta 46,85 persen. Namun, tahap inisiasi ternyata belum selesai. Ketegangan antardua kubu tetap berlangsung. Bahkan, hingga usai sidang gugatan hasil pemilu oleh tim Prabowo-Hatta, masyarakat belum beranjak pada tahap selanjutnya, yaitu integrasi dengan satu kultur baru. Keterbelahan masyarakat justru menemukan titiknya yang paling kelam dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. (BERSAMBUNG) (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)
Hasil Pemilu Presiden 2014
Nama Pasangan | Jumlah Suara | Persentase |
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa | 62.576.444 | 46,85% |
Joko Widodo-Jusuf Kalla | 70.997.833 | 53,15% |
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
[i] http://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-nasional-tentang-iklan-politik-dan-perilaku-pemilih-menjelang-pemilu-2009.html. Diakses pada 24 November 2014, pukul 17.00.
[ii] Baudrillard, Jean (1994). Simulacra & Simulation. Michigan: University of Michigan Press. Hlm. 1.