Satu pekan ini, media massa Amerika Serikat menjadi isu berita yang banyak dibahas koran-koran AS. Setelah minggu lalu publik Amerika disajikan kegaduhan Presiden Donald Trump dengan surat kabar The New York Times, awal pekan ini, seorang pimpinan media massa terkemuka di AS mundur karena skandal seksual.
Empat surat kabar besar Amerika, The New York Times, The Wall Street, The Washington Post, dan Los Angeles Times edisi 10 September 2018 mengangkat kasus Leslie Moonves, bos CBS Corporation, yang dilaporkan sejumlah perempuan atas tuduhan pelecehan dan kekerasan seksual. Dugaan ini masih dalam proses penyelidikan hingga saat ini, namun dugaan skandal tersebut langsung membuat Moonves mundur.
Kejadian ini bermula saat majalah The New Yorker mempublikasikan sebuah artikel hasil investigasi jurnalis Ronan Farrow pada Juli 2018 terhadap enam perempuan yang menjadi korban Moonves. Berikutnya, September 2018, majalah tersebut kembali menyajikan isu yang sama, dengan jumlah korban enam perempuan lagi.
Jika benar terjadi, skandal ini merupakan titik balik balik Moonves. Sebagai CEO media massa terkemuka dan berpengalaman, ia harus meninggalkan reputasinya setelah 15 tahun memimpin. Periode masa jabatan Moonves di CBS Corporation sebenarnya masih sampai tahun 2021. Setelah mengundurkan diri secara mendadak, CBS menunjuk Joseph Ianniello mengisi jabatan pimpinan sementara.
Kasus ini juga menjadi ironi bagi Moonves. Di sisi lain, ia menunjukkan komitmen dan dukungannya terhadap pemberdayaan perempuan. Moonves dan CBS telah menyepakati donasi untuk kampanye #MeToo dalam rangka kesetaraan gender, sebesar 20 juta dollar AS.
Artikel
Sebelumnya, sorotan terhadap media massa juga ditampilkan koran-koran AS menyangkut kemarahan Presiden Trump atas pemuatan artikel opini tanpa penyebutan penulis di harian terkemuka The New York Times edisi 5 September 2018. Garis besarnya, sang penulis mengaku kesulitan mengendalikan Donald Trump, bahkan mempertanyakan kapasitasnya sebagai pemimpin di publik Amerika.
Trump bereaksi keras terhadap pemuatan artikel tersebut. Melalui akun resmi Twitter yang memiliki lebih dari 50 juta pengikut, Donald Trump gencar memberikan serangan balik ke penulis, khususnya surat kabar The New York Times.
Pertama, Ia melontarkan satu kata, yakni treason, yang berarti pengkhianatan terhadap kepercayaan. Selanjutnya, dia mulai menggunakan bahasa kekuasaan dengan mengatakan, “jika penulis anonim yang pengecut itu benar-benar ada, The New York Times, demi keamanan nasional harus menyerahkannya kepada pemerintah segera!”
Berita utama harian The Wall Street Journal lebih dalam menyoroti sikap penuh kecurigaan Trump terhadap pejabat tinggi Gedung Putih, termasuk Wakil Presiden Mike Pence. Beberapa pejabat Negara lainnya memberikan klarifikasi, menyangkal sebagai penulis, seperti Sekretaris Negara Mike Pompeo, Direktur Intelijen Nasional Dan Coats, serta para menteri kabinet.
Bukan kali ini saja Trump berseteru dengan media, termasuk The New York Times. Pada 29 Juli 2018 lalu, Trump berseteru dengan Pemimpin Umum The New York Times, AG Sulzberger di media sosial.
Perseteruan berawal dari undangan Gedung Putih kepada Sulzberger untuk bertemu dengan Trump. Gedung Putih kemudian meminta agar isi pertemuan tersebut dirahasiakan dan Sulzberger mematuhinya.
Namun, yang terjadi kemudian, Trump justru membocorkan pertemuan itu ke publik melalui Twitter, yang isinya menyerang pers AS. Trump juga mengeluarkan pernyataan kasar, antara lain menuduh surat kabar itu sebagai media gagal dan tidak patriotik.
”Saya tidak akan biarkan negeri ini digadaikan oleh para anti-Trump di industri surat kabar yang hampir mati. Media gagal seperti The New York Times, Amazon, dan Washington Post bisanya hanya menulis berita-berita buruk bahkan ketika terjadi pencapaian positif pemerintah. Mereka tidak akan berubah!” tulis Trump. Sikap kasar Trump terhadap media semakin menjadi-jadi, setelah ia melarang jurnalis CNN meliput kegiatan di Gedung Putih.
Menyikapi reaksi Trump atas pemuatan artikel anonim, The New York Times mengatakan, artikel itu ditulis seorang pejabat senior di tubuh pemerintahan Donald Trump. Artikel itu dipublikasikan tanpa nama penulis, yang identitasnya diketahui The New York Times, untuk melindungi penulis dalam menyampaikan perspektif penting tentang pemerintahan Trump kepada pembacanya.
Artikel itu dikirim sepekan sebelum diterbitkan lewat seorang perantara. Semula The New York Times tak mau memikul kerahasiaan penulis artikel itu hingga para editor koran itu yakin dengan identitas penulis (Kompas 10/9/2018).
Nasi sudah menjadi bubur. Keputusan The New York Times menurunkan artikel opini tanpa identitas penulisnya menjadi bola panas isu publik. Selain menjadi menjadi bahan perdebatan di birokrat pemerintahan Trump, koran terkemuka di AS ini juga harus siap berperang dengan pimpinan tertinggi AS. (Yoesep Budianto/Litbang Kompas)