Jalur Diplomasi Putin
Di tengah isu perang dagang dan gejala proteksionisme yang dilakukan Amerika Serikat, Rusia menggelar acara Eastern Economic Forum (EEF) 2018 di Vladivostok, Rusia pada 11-13 September 2018. Forum ini berhasil menguatkan relasi dagang Rusia dengan negara-negara di Asia dan Eropa. Selain itu, Rusia juga dinilai berhasil merangkul lebih dalam China dalam hubungan perdagangan. Inilah bentuk jalan diplomasi Putin untuk memperkuat pengaruh di kawasan Asia.
Acara Eastern Economic Forum 2018 diikuti oleh tujuh belas negara dari Benua Asia dan Eropa. Agenda utama pertemuan ini adalah memperkuat relasi investasi negara-negara mitra Rusia. Selain di bidang ekonomi, Eastern Economic Forum 2018 juga mempererat hubungan sosial budaya antar negara anggota forum.
Acara yang diinisiasi pertama kali oleh Presiden Rusia Vladimir Putin pada tahun 2015 ini, menjadi istimewa karena kehadiran pemimpin China Xi Jinping. Keikutsertaan Presiden Xi pada Eastern Economic Forum 2018 merupakan keikutsertaannya yang pertama kali.
Terkait keikutsertaan perdananya, Xi Jinping berkomentar bahwa kehadirannya merupakan sebuah tradisi antara China dan Rusia untuk saling mendukung antar kedua negara. ”Dalam situasi internasional yang berubah cepat, dengan meningkatnya ketidakstabilan dan ketidakpastian, kerja sama antara Rusia dan China semakin penting,” katanya.
Koran China Daily edisi 12 September 2018 menggambarkan makin eratnya hubungan Rusia-China. Judul berita utamanya menampilkan kata “vow” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bersumpah, memberi makna meneguhkan komitmen Presiden Xi dan Putin untuk meningkatkan ikatan dan perdamaian kedua negara tersebut. Ditampilkan juga foto Putin dan Xi berjabat tangan erat dengan latar belakang bendera kedua Negara.
China dan Rusia menandatangani berbagai kesepakatan kerjasama pada Eastern Economic Forum 2018. Kerjasama yang dibangun antara lain dalam bidang finansial, investasi, olahraga, media serta program pertukaran dan studi banding aparat pemerintahan.
Kedua negara juga menyampaikan komitmennya untuk lebih sering menggunakan mata uang nasional masing-masing, yaitu rubel dan yuan dalam transaksi perdagangan. Dalam konteks situasi terkini, relasi China dan Rusia tidak dapat dilepaskan sebagai upaya melawan perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat. Terlebih, Presiden Xi pernah mengatakan bahwa negaranya terkunci dalam konflik perdagangan dengan Amerika Serikat.
Aliansi antara Rusia dan China dipandang semakin erat. Bersamaan dengan momen digelarnya Eastern Economic Forum 2018, Rusia dan China secara bersamaan menggelar latihan militer bersama. Latihan militer ini diberi judul event: Vostok 2018 yang digelar pada 11-15 September 2018. Latihan militer yang disebut-sebut sebagai latihan militer termasif sejak Perang Dingin ini melibatkan 300.000 pasukan Rusia dan 3.000 prajurit China.
Sebanyak 36.000 kendaraan perang dari berbagai jenis juga turut serta dalam latihan perang tersebut. Puluhan ribu tank, kendaraan lapis baja angkut personel, kendaraan tempur infantri menggetarkan bumi Vostok, wilayah Siberia, selama lima hari. Rusia juga menurunkan pesawat tempur terbaiknya, Sukhoi Su-34 dan Su-35.
Sengketa Kepulauan Kuril
Selain mempererat hubungan dengan China, diplomasi lain yang dilakukan Putin melalui ajang Eastern Economic Forum 2018 adalah membuka kembali pintu perdamaian dengan Jepang. Rusia dan Jepang selama lebih dari 70 tahun berseteru dalam sengketa kepemilikan Kepulauan Kuril yang terletak di utara Pulau Hokkaido.
Kepulauan yang disebut dengan Wilayah Utara oleh Jepang ini dikuasai oleh pasukan Uni Soviet di penghujung Perang Dunia II. Sebelum perang berakhir, pasukan Soviet menduduki empat pulau yang termasuk kepulauan Wilayah Utara Jepang, kemudian mereka masukkan dalam wilayah Kepulauan Kuril. Rusia mengklaim pulau itu dan mengusir sekitar 17.000 warga Jepang yang berada di situ.
Bukan kali ini saja upaya perundingan sengketa kepemilikan Kuril dilakukan. Putin dan Abe pernah bertemu pada 29 April 2013 di Moskwa untuk membarui kembali pembicaraan perdamaian menyangkut sengketa pulau. Pertemuan berikutnya terjadi pada 16 Desember 2016 di Tokyo. Namun, pertemuan kedua pemimpin masih tidak membuahkan solusi.
Selanjutnya, Putin dan Abe kembali berunding pada 26 Mei 2018, saat Abe menemui Putin di Moskwa. Keduanya sepakat mengupayakan perjanjian damai. Saat itu kemajuan perundingan menunjukkan langkah maju setelah Putin mengizinkan warga Jepang mengunjungi makam kerabat mereka di Kepulauan Kuril.
Namun, seperti tiga pertemuan sebelumnya, pertemuan kedua pemimpin kali ini juga masih belum menemukan kata sepakat penyelesaian sengketa. Baik Putin maupun Abe hanya setuju untuk meningkatkan upaya untuk merealisasikan kegiatan ekonomi bersama yang direncanakan di pulau-pulau yang disengketakan.
Abe mengatakan dia dan Putin menyetujui peta jalan untuk merealisasikan kegiatan di sektor akuakultur, perkebunan rumah kaca, pariwisata, pembangkit tenaga angin dan penanggulangan sampah.
Koran The Japan Times edisi 12 September 2018 melukiskan pertemuan keduanya dengan diksi mengikat bukan sepakat. Walau setuju membuka peluang kerja sama, kedua pemimpin digambarkan gagal membuat kemajuan di baris teritorial. “Leaders fail to make progress on territorial row but approve ‘road map’ for economic activities”.
Sebenarnya, Jepang lebih memperhatikan penyelesaian akar konflik teritorial dengan Rusia. Jepang masih menginginkan kembalinya empat pulau tersebut ke wilayahnya. Pihak Jepang tetap mengklaim bahwa Rusia menduduki kepulauan yang masih menjadi bagian dari Prefektur Hokkaido tersebut secara illegal.
Hal yang menyesakkan bagi Jepang, Rusia dilaporkan telah memperbarui teknologi militer di Pulau Kuril. Rusia juga memasang sistem anti rudal kapal berteknologi tinggi di dua pulau sengketa.
Jepang juga pernah mengajukan protes keras kepada Pemerintah Rusia atas latihan militer yang dilakukan negara itu di Kepulauan Kuril pada Agustus 2014. Demikian pula saat Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengunjungi wilayah Kepulauan Kuril Februari 2011 silam. Ketika itu, Perdana Menteri Naoto Kan menyebut kunjungan Presiden Medvedev sebagai tindakan yang sangat tidak pantas dan memicu kemarahan bangsa Jepang.
Masih gagalnya kedua pemimpin negara untuk menandatangani traktat perdamaian diakui tetap menjadi ganjalan bagi pengembangan hubungan ekonomi dan perdagangan. Namun, harus diakui jalur diplomasi yang ditempuh Putin saat ini membuka peluang hubungan yang lebih dalam dengan Jepang.
Putin lebih banyak membuka ruang dialog dengan pemimpin Jepang dibanding era pemimpin Rusia sebelumnya. Beberapa kemajuan telah dicapai Putin, dengan memberikan tawaran kunjungan dan kerja sama bagi Jepang di wilayah sengketa. Di satu sisi, Putin bisa memecah relasi kebekuan dengan Jepang yang telah mengakar selama 70 tahun, di sisi lain jalan diplomasi Putin sekaligus mengukuhkan pengaruh Rusia di kawasan Asia. (Yohanes Advent Krisdamarjati/Litbang Kompas)