Menjelang batas waktu negosiasi Brexit antara Inggris dan Uni Eropa pada Oktober 2018, Inggris masih bertahan dengan proposal Brexit yang ditawarkan. Jika tawaran skema yang disebut dengan ”Chequers” itu tidak diterima, Inggris menyatakan bersiap mengakhiri perundingan tanpa kesepakatan.
Masih belum tuntasnya pembahasan Brexit membuat resah pemimpin negara Uni Eropa (UE). Guna mencari mufakat, para pemimpin negara anggota UE dijadwalkan bertemu di Salzburg, Austria, pada 19-20 September 2018. Salah satu pokok bahasannya adalah perundingan Brexit selain masalah keimigrasian dan perang dagang Amerika Serikat.
Dua hal yang menjadi perhatian para pemimpin UE adalah dampak no-deal Brexit dan isu perbatasan Irlandia Utara. Harian The Guardian edisi 18 September 2018 menggambarkan tekanan yang diberikan para pemimpin Eropa tersebut kepada Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk menyepakati poin-poin kunci. Salah satu pemimpin yang mendesak May adalah Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menghendaki Inggris dan UE menyepakati poin utama di pertemuan Salzburg.
Tekanan kepada May bukan tidak beralasan. Para pemimpin Eropa mencermati ancaman politisi konservatif di Inggris yang menghendaki independensi Pemerintah Inggris dan menolak untuk berkompromi dengan UE. Terlebih setelah Menteri Lingkungan Inggris yang beraliran konservatif, Michael Gove, menyatakan kepentingan nasional Inggris adalah prioritas dan setiap kesepakatan dengan UE nantinya dapat dibatalkan oleh anggota parlemen setelah Brexit benar-benar terlaksana.
Menanggapi hal tersebut, UE menghendaki adanya jaminan dari Pemerintah Inggris untuk tetap berkomitmen dengan semua poin yang nantinya disepakati. Kekhawatiran tersebut pun segera dijawab oleh Michel Barnier, Kepala Negosiator Inggris, yang menegaskan bahwa semua poin yang disepakati dalam perjanjian akan dipatuhi oleh Inggris, bahkan ketika Theresa May sudah tidak menjabat sebagai perdana menteri.
Serupa dengan para diplomat di Brussels, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde memperingatkan Pemerintah Inggris bahwa no-deal Brexit akan menyebabkan konsekuensi ekonomi, seperti melesunya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya defisit anggaran, dan melemahnya mata uang Inggris. Hal ini terjadi karena keluarnya Inggris dari pasar tunggal UE yang praktis akan memberikan hambatan perdagangan di antara keduanya.
Namun, hal ini bertolak belakang dengan Theresa May yang masih membuka opsi Brexit apa pun. May yakin, Brexit akan sukses dan Inggris akan tetap bertahan dengan atau tanpa perjanjian. Sayangnya, keyakinan May tidak didukung oleh data yang ditemukan oleh IMF.
IMF melakukan penelitian terhadap perekonomian Inggris yang menemukan pertumbuhan ekonomi Inggris hingga 2 tahun ke depan akan stagnan di kisaran angka 1,5 persen, di bawah angka 2 persen yang diprediksi IMF sebelum deklarasi Brexit tahun 2016.
Beberapa kekhawatiran tidak mulusnya perundingan tahap akhir Brexit juga membuat sejumlah pihak di dalam negeri Inggris cemas. Kepolisian Nasional Inggris mengatakan, Brexit tanpa kesepakatan sama sekali akan menghambat penanganan terorisme dan kejahatan kawasan karena mereka kehilangan akses ke sistem intelijen Uni Eropa (Kompas, 19/9/2018).
Surat kabar The Guardian juga mengingatkan, ada reaksi kemarahan dari para pemimpin bisnis atas kebijakan melarang pekerja asing yang berpenghasilan kurang dari 30.000 pound sterling untuk mendapatkan visa bekerja di Inggris setelah Brexit.
Merajut asa unifikasi
Jika Inggris dan Uni Eropa masih dirundung ruwetnya pembahasan Brexit, berita baik datang dari belahan timur dunia. Korea Selatan dan Korea Utara kembali melakukan pertemuan pada Selasa hingga Kamis di Pyongyang, Korea Utara. Yang menarik, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in turut membawa 200 orang dalam kunjungannya kali ini. Rombongan dari Korea Selatan ini mencakup bos perusahaan besar seperti Samsung dan LG, tokoh masyarakat, musisi, dan juga politisi.
Kunjungan ini merupakan pertemuan tingkat tinggi yang ketiga di antara kedua negara Korea tersebut. Sebelumnya, Kim Jong Un dan Moon Jae-in sepakat untuk melakukan pertemuan di Pyongyang pada 27 April 2018 dan di Panmunjeom pada 26 Mei 2018.
Harian The Korea Times membingkai peristiwa ini dengan mengusung spirit unifikasi. Pertemuan kali ini dinilai kaya dengan gestur positif dari kedua negara dalam hal perdamaian, kerja sama ekonomi, dan bahkan olahraga. Namun, langkah Korea Selatan untuk menyentuh ranah ekonomi berpotensi melanggar sanksi ekonomi yang diberikan Dewan Keamanan PBB kepada Korea Utara.
Adapun koran The Japan Times menegaskan pentingnya hasil yang substantif ketimbang gestur perdamaian. Bukan tanpa alasan, dua pertemuan tingkat tinggi Korea Selatan dan Korea Utara sebelumnya baru menghasilkan pernyataan yang mengambang dalam isu penting unifikasi dan denuklirisasi.
Beban berat harus dipikul oleh Moon Jae-in dalam menyukseskan pertemuan kali ini. Tujuan akhir bagi Moon tidak hanya untuk menunjukkan semangat perdamaian, tetapi juga menagih janji denuklirisasi Semenanjung Korea dan memperbaiki negosiasi antara AS dan Korea Utara yang terhenti.
Mandeknya perundingan antara AS dan Korea Utara memicu keraguan dunia internasional akan komitmen Kim Jong Un untuk melaksanakan denuklirisasi yang ia janjikan. Hasil dari pertemuan ini diharapkan dapat memberi gairah bagi AS dan Korea Utara untuk kembali melanjutkan perundingan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)