Tantangan Berhemat dan Memperkuat Ekspor di Era Jokowi
Perekonomian Indonesia tahun ini dihadapkan pada tekanan nilai tukar yang tecermin dari kinerja neraca perdagangan. Dalam situasi demikian, pemerintah harus menjawab tantangan menjalankan penghematan sekaligus memperkuat ekspor.
Salah satu faktor penting yang berdampak pada perdagangan dunia nilai tukar mata uang saat ini adalah kebijakan moneter bank sentral AS, Federal Reserve, dengan menaikkan suku bunga acuan The Fed yang bertujuan mendorong aliran dana asing masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan The Fed tersebut diambil menyusul kondisi perekonomian AS yang semakin membaik.
Pemerintah AS pun juga tengah menerapkan kebijakan pemotongan pajak guna meningkatkan investasi swasta. Langkah AS yang dilakukan sejak awal 2018 tersebut terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Dalam enam bulan pertama tahun ini, ekonomi AS tumbuh hingga 4,2 persen. Persentase tersebut tercatat sebagai pertumbuhan tertinggi yang terjadi di AS sejak 2014. Hal ini membuat AS menjadi tempat yang menarik untuk berinvestasi. Dampaknya, banyak arus modal keluar dari sejumlah negara dan masuk ke AS.
Kekuatan Ekonomi
Ada sejumlah negara di dunia yang mengalami pelemahan mata uang akibat menguatnya dollar AS. Pelemahan terbesar terjadi di Turki sekitar minus 43 persen dan Argentina minus 52 persen. Pelemahan yang cukup besar lainnya terjadi di Afrika Selatan dan Brasil sebesar minus 20 persen. Jadi, secara kasatmata, di Argentina, Turki, dan Brasil sedang dilanda krisis ekonomi.
Dibandingkan negara-negara tersebut, pelemahan rupiah sebenarnya lebih rendah. Rupiah tercatat minus 9 persen. Depresiasi rupiah yang tidak sedalam negara-negara lain tak lepas dari kondisi ekonomi yang masih terbilang baik.
Sejumlah indikator makro menunjukkan, krisis global yang dirasakan Indonesia pada 2013 berdampak lebih buruk ketimbang situasi pelemahan rupiah tahun ini. Inflasi Agustus 2012-Agustus 2013 (year on year) tercatat mencapai 8,79 persen, sedangkan inflasi year on year Agustus tahun ini 3,20 persen. Nilai tukar rupiah pada 2013 melemah hingga sekitar 12 persen, dan tahun ini melemah sekitar 9 persen.
Indikator lain perekonomian nasional, yakni cadangan devisa, juga terbilang cukup baik. Posisi cadangan devisa per Juli 2018 118,3 miliar dollar AS, lebih tinggi dari kondisi tahun 2013 yang tercatat sekitar 99 miliar dollar AS. Posisi cadangan devisa tahun ini setara 6,9 bulan impor dan masih berada di atas standar minimal 3 bulan ekspor yang berlaku secara internasional.
Parameter lain lagi yang membuat Indonesia kian kuat saat ini adalah membaiknya defisit anggaran dan keseimbangan primer. Tahun ini diperkirakan defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) mengecil menjadi 2,12 persen dari tahun lalu yang sebesar 2,51 persen.
Adapun kesimbangan primer yang merupakan selisih antara penerimaan negara dan belanja di luar pembayaran bunga utang diperkirakan mengecil lagi menjadi 0,44 persen PDB dari sebelumnya yang sebesar 0,92 persen pada 2017.
Kinerja anggaran
Meski demikian, pemerintah masih dihadapkan pada tantangan pengelolaan subsidi yang rentan mengganggu kinerja anggaran. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 hingga akhir Juli menunjukkan besaran belanja pemerintah yang mencapai Rp 321,1 triliun. Realisasi belanja pemerintah itu sudah mencapai 53 persen dari target APBN 2018 senilai Rp 607,1 triliun.
Meningkatnya belanja pemerintah antara lain bersumber dari komponen subsidi yang meningkat 34,5 persen sepanjang Juli 2017-Juli 2018. Peningkatan yang cukup signifikan dari pos subsidi disumbangkan oleh melambungnya subsidi energi lebih dari 60 persen menjadi Rp 71 triliun.
Sebagian besar subsidi energi dihabiskan untuk subsidi BBM dan elpiji. Subsidi bahan bakar ini naik 71,1 persen sepanjang Juli 2017-Juli 2018. Nilai subsidi BBM dan elpiji mencapai Rp 40,7 triliun. Sementara sepanjang Juli 2016-Juli 2017 tercatat subsidi di pos ini hanya naik 4,9 persen, dan di periode sebelumnya (Juli 2015-Juli 2016) bahkan turun sebesar 46,7 persen.
Kenaikan subsidi BBM tak lepas dari kenyataan bahwa impor minyak masih besar. Sementara harga minyak global dalam dua tahun belakangan kembali naik. Rata-rata harga minyak jenis Brent meningkat lebih dari 20 persen dari semula berada di kisaran 45 dollar AS per barel pada 2016 menjadi rata-rata sebesar 55 dollar AS per barel pada tahun lalu.
Hingga pertengahan tahun ini, harga minyak Brent kembali naik 8,6 persen. Realisasi harga minyak mentah bagi Indonesia hingga semester I-2018 pun mencapai 67 dollar AS per barel, melampaui asumsi makro pembelian minyak mentah dalam APBN senilai 48 dollar AS per barel.
Kinerja perdagangan
Dampak dari mahalnya harga minyak global tecermin dari neraca perdagangan Indonesia. Neraca perdagangan merupakan salah satu hal penting yang mencerminkan kekuatan rupiah. Neraca perdagangan yang surplus atau defisit mencerminkan kondisi perdagangan Indonesia terhadap mitra dagang yang akan memengaruhi nilai tukar mata uang negara bersangkutan.
Dari 2012 hingga saat ini, neraca transaksi berjalan berada dalam kondisi defisit. Defisit transaksi berjalan tahun ini terbilang besar. Sesuai data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia defisit 2,03 miliar dollar AS pada Juli 2018, dengan defisit perdagangan migas mencapai 1,18 miliar dollar AS.
Defisit neraca perdagangan juga semakin besar karena hingga Juli 2018 sektor nonmigas mencatat nilai defisit 842,2 juta dollar AS.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi sejak 2012 menyebabkan nilai rupiah cenderung melemah. Pada 2012, kurs rupiah berada di kisaran Rp 9.000 per dollar AS. Tahun ini, nilai rupiah terdepresiasi hingga di kisaran Rp 14.000 per dollar AS.
Di satu sisi, defisit neraca perdagangan menguntungkan karena ekspor Indonesia akan bernilai lebih murah sehingga lebih kompetitif di pasar ekspor. Namun, karakteristik industri nasional hingga kini masih banyak berproduksi dengan mengandalkan bahan baku impor. Hingga Januari-Juli 2018 impor bahan mentah untuk sektor industri masih mencapai 75 persen dari total impor Indonesia.
Penghematan
Salah satu cara untuk mendongkrak kembali neraca transaksi berjalan mendekati arah positif adalah menekan impor dan mendorong pertumbuhan ekspor. Sejalan dengan kondisi tersebut, pemerintah berupaya menghemat anggaran dengan menekan impor.
Upaya meredam impor dilakukan dengan memberlakukan aturan penggunaan bahan bakar solar B20 bagi kendaraan angkut mesin diesel mulai September ini. Kebijakan bahan bakar campuran solar dan minyak kelapa sawit dikeluarkan pemerintah dalam rangka mengurangi impor BBM sebagai salah satu sumber defisit neraca perdagangan Indonesia. Diperkirakan pemerintah bisa menghemat impor 2,3 miliar dollar AS dengan kebijakan ini.
Selain itu, penurunan impor dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif impor untuk 1.147 komoditas nonmigas yang sebagian besar adalah produk barang konsumi pada 5 September lalu.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mendorong ekspor, mulai dari kemudahan perizinan, insentif fiskal, penyesuaian tarif impor bahan baku, dan peningkatan konektivitas infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik dan menambah kerja sama perjanjian perdagangan antarnegara.
Namun, tak bisa dimungkiri bahwa semua kebijakan tersebut baru akan berdampak pada jangka menengah atau panjang. Upaya jangka pendek mendorong ekspor kini juga diperlukan, khususnya pada komoditas strategis.
Salah satu contoh adalah dukungan untuk produk ekspor sawit olahan. Dalam forum diskusi ekonomi Kompas yang diselenggarakan 14 September lalu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengungkapkan, sampai saat ini pemerintah belum optimal mendukung ekspor sawit olahan ke sejumlah pasar strategis seperti Afrika Selatan.
”Importir dari negara-negara Afrika lebih banyak meminta produk sawit olahan kita dikirim dalam kemasan jeriken. Itu masuk dalam cost produksi eksportir. Sementara pemerintah tidak memberikan insentif harga untuk jeriken,” ujar Joko.
Lantaran tingginya biaya produksi ini juga, ekspor sawit ke India juga merosot karena negara tersebut menerapkan pajak tinggi untuk impor produk sawit. Berdasarkan data Gapki, ekspor sawit ke Afrika melonjak tajam dari 1,52 juta ton pada 2016 menjadi 2,12 juta ton pada 2017. Sementara ekspor sawit ke India juga mencatat tren positif dari 5,78 juta ton pada 2016 menjadi 7,63 juta ton pada 2017.
Sawit juga merupakan satu dari 10 produk utama andalan ekspor Indonesia. Nilai ekspor produk sawit pada 2016 mencapai 14,37 miliar dollar AS atau hampir seperempat dari total nilai ekspor 10 produk utama senilai 61,98 miliar dollar AS pada tahun yang sama.
Upaya berhemat untuk mendukung kinerja perdagangan tak hanya dilakukan di sektor fiskal. Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) berupaya meredam laju peredaran rupiah guna menjaga kestabilan harga bahan baku barang impor. Pada 15 Agustus, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Kenaikan suku bunga sebelumnya dilakukan BI pada Juni dan Mei. Total sepanjang 2018 BI telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.
Perlu hati-hati
Kendati demikian, berbicara kebijakan ekonomi tentu tidak lepas dari dampak ikutannya. Kebijakan menaikkan suku bunga berdampak pada pengetatan likuiditas di sektor perbankan dan berujung pada mahalnya biaya kredit. Sementara ekspansi kredit kini juga diperlukan guna mendorong pergerakan industri dan akhirnya memengaruhi kinerja sektor perdagangan.
Adapun kebijakan penggunaan biodiesel untuk menekan impor BBM masih perlu dicermati kembali, khususnya dari sisi teknis. Kendala teknis bisa jadi berdampak pada melesetnya perhitungan devisa yang bisa dihemat sehingga berpotensi mengganggu kinerja anggaran pemerintah secara keseluruhan.
Kebijakan menaikkan tarif impor juga memerlukan pantauan ketat mengingat dampaknya pada kinerja industri. Bukan tidak mungkin, kenaikan impor yang akan mengakibatkan penurunan impor barang konsumsi kemudian tidak bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga terjadi gangguan pasokan barang.
Selain itu, pengalaman nyata yang dihadapi pelaku ekspor sawit menjadi salah satu contoh pentingnya pemerintah mengkaji lebih dalam persoalan yang dihadapi dalam ekspor Indonesia. Satu hal yang tidak kalah penting, kebijakan yang ada sejauh ini belum banyak membicarakan mengenai kedaulatan perdagangan.
Kebijakan membangun industri yang sinergis dari hulu ke hilir dan industri substitusi impor justru lebih penting guna meredam dampak impor yang hingga kini menghantui neraca perdagangan.
Dalam jangka pendek, kebijakan yang cepat memang diperlukan. Namun, dalam jangka panjang, pemerintah perlu lebih memikirkan rencana arah industri ke depan. Rencana besar semacam ini tidak sepatutnya diterapkan seperti rencana jangka pendek yang sudah ada, apalagi dilakukan dengan tergesa-gesa. (Budiawan Sidik/Litbang Kompas)