Transformasi Lubuklinggau Kota Hub
Memiliki sejarah panjang sebagai sebuah ibukota kawasan sejak zaman kolonial Belanda, kota Lubuklinggau relatif kurang dikenal daripada ibukota Sumsel, Palembang. Meski demikian kota berukuran sedang ini menyimpan banyak cerita terkait upaya menjadikan sebuah kota yang lebih aman.
Kota Lubuklinggau merupakan hasil pemekaran kabupaten Musi Rawas dan dahulu menjadi pernah ibukota Kabupaten. Menilik perkembangan kota Lubuklinggau, terekam ciri khas kekuatan sektor perdagangan, jasa dan transportasi sebagai penyangga pertumbuhan perekonomian daerah.
Memasuki Bumi Sebiduk Semare, sebutan kota Lubuklinggau, wajah kawasan perkotaan yang sedang berkembang tercermin dari keberadaan jajaran pertokoan dan geliat pusat perdagangan yang ramai dikunjungi warga. Sejumlah indikator perkembangan kota tampak dari munculnya penanda (landmark) baru sebuah kota yang menggeliat seperti Masjid Raya AsSalam, Bukit Sulap, maupun kawasan wisata air terjun Temam.
Kencangnya sektor perdagangan, jasa dan pembangunan terekam dari proporsi data Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) yang didominasi Konstruksi (24,65 %) dan Perdagangan Besar-Eceran (20,15 %). Dominasi kedua sektor lapangan usaha itu konsisten terekam sepanjang tahun 2010-2017.
Sudah sejak lama kota ini menjadi pusat perekonomian kawasan, tak hanya di provinsi Sumsel, namun juga tetangga wilayah di provinsi Bengkulu dan Jambi. Pusat perekonomian artinya menjadi pusat modal dan akses kekuatan ekonomi. Kondisi demikian ternyata menciptakan kondisi kerawanan karena karakteristik daerah yang relatif timpang.
Faktor penyebabnya adalah kondisi keterpurukan ekonomi dari penduduk di kawasan-kawasan tetangga Linggau saat harga komoditi tanaman keras anjlok. Kondisi keterpurukan akibat anjloknya harga komoditi (karet, sawit, dsj) terjadi dengan siklus yang berulang setiap tahun khususnya saat terjadi anomali cuaca. Di sisi lain, jumlah lapangan kerja yang tersedia tak banyak membantu kondisi kebutuhan para pencari kerja di kawasan ini.
Hasil dari kondisi paradoks ini tecermin dalam jumlah penduduk miskin yang relatif tinggi dari tahun ke tahun dengan sedikit pengurangan. Data tahun 2016 menunjukkan masih ada sekitar 14 persen penduduk kategori miskin di kota ini atau mencakup 30.180 orang dari total 216.270 jiwa.
Karakteristik budaya dan cara pandang boleh jadi juga berkontribusi terhadap cara warga mengantisipasi kondisi sulit dalam hidupnya. Yang jelas, seluruh kondisi itu berujung pada tingginya frekwensi tindak kejahatan di kota yang relatif tak berukuran besar ini.
Sebelum tahun 2014, kejahatan terjadi setiap tiga jam sekali dengan rata-rata sembilan per 100 ribu penduduk menjadi korban kejahatan. Kondisi itu sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa pengurangan berarti. Baru setelah kepolisian resort (POLRES) kota Lubuklinggau bekerjasama dengan aparat KODIM setempat tingkat kejahatan di masyarakat berangsur turun hampir sekitar 27 persen. Dari semula jumlah tindak pidana 2.223 kasus pada tahun 2013, menjadi 1.564 kasus pada 2014.
Oleh kepolisian ditengarai saat itu para pelaku didominasi warga pendatang dari wilayah tetangga, diantaranya Kabupaten Empat Lawang, Musirawas (Sumsel) dan Curup (Bengkulu). (sumsel.tribunnews.com, 29/12/2014)
Syukurlah bahwa kondisi perkembangan kota saat ini tampaknya jauh lebih kondusif ketimbang empat-lima tahun yang lalu. Razia kendaraan dan patroli keamanan sudah rutin dijalankan aparat kepolisian dan berhasil menekan terjadinya kejahatan.
Data BPS tahun 2014 menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia kota Lubuklinggau mencapai 72,84. Ini artinya Lubuklinggau masuk kategori daerah sedang-maju dalam indikator angka harapan hidup, akses dan lama bersekolah, dan keterjangkauan sarana-sarana kesehatan.
Meski memiliki IPM lumayan tinggi, jika dibandingkan dengan wilayah lain di Sumsel Lubuklinggau ternyata merupakan urutan pertama kota termiskin dan wilayah termiskin kelima.
Posisi geografis di kawasan ujung barat selatan provinsi Sumsel, Lubuklinggau berjarak lebih tiga ratus kilometer dari Palembang.
Terletak jauh dari pusat pemerintahan provinsi, namun Linggau-nama sebutan daerah ini- berdekatan dengan wilayah provinsi tetangga dan dikelilingi kabupaten Musirawas Utara, Musirawas, Empat lawang dan Curup. Letak geografis yang strategis ini terbukti memberi peluang ekonomi sekaligus membawa kerawanan sosial.
Pemerintah pusat tampaknya menyadari potensi ekonomi daerah ini. Untuk mempersingkat denyut perekonomian, saat ini sedang dibangun jalur tol yang menghubungkan Lahat-Muara Enim-Lubuklinggau sejauh 125 km. Jalur yang ditargetkan rampung tahun 2019 itu akan menjadi jalan Trans Lahat-Lubuklinggau lintas tengah Sumatera yang menghubungkan tiga provinsi sekaligus: Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Hidup Kepartaian
Dari hasil hitung cepat Pilkada 2018, petahana walikota SN Prana Putra Sohe dan wakilnya, Sulaiman Kohar dipastikan kembali memenangi pilkada lubuklinggau. SN Prana Putra Sohe dan wakilnya, Sulaiman Kohar unggul dengan perolehan 62.923 suara atau 56,18 persen.
Hasil real count KPU Kota Lubuklinggau yang telah masuk 100 persen suara dengan jumlah sebanyak 114.521 dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 155.153 jiwa menegaskan kemenangan Sohe.
Posisi kedua diraih pasangan nomor urut 3, Rustam Effendi dan Riezki Aprilia dengan 41.179 suara atau 36,77 persen. Riezky Aprilia adalah putri mantan walikota Lubuklinggau terdahulu, H Riduan Effendi. Pasangan penantang petahana ini diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan.
Riezky Aprilia mendapatkan dukungan DPC PDIPerjuangan Lubuklinggau setelah sebelumnya mendaftar pula di sejumlah partai lain termasuk Partai Demokrat untuk mendapatkan tiket dukungan maju ke Pilwalkot. Sejumlah kader PDI Perjuangan di DPRD Kota yang sebelumnya berencana maju, membatalkan rencananya untuk memuluskan bulatnya dukungan kepada Riezky.
Perolehan suara Riezky dalam real count KPU ini cukup jauh diatas prediksi lembaga-lembaga survei yang mengukur elektabilitas walikota Lubuklinggau sejak setahun sebelumnya. Dalam prediksi tersebut, rata-rata tingkat elektabilitas kandidat pesaing petahana hanya diperkirakan meriah sekitar 20 persen.
Ini menunjukkan kekuatan politik PDIP masih relatif terjaga di tengah berkumpulnya sebagian besar parpol mendukung pasangan calon petahana. Sebagai gambaran, kekuatan politik PDIP di kota ini senantiasa berada di bawah Golkar dari waktu ke waktu.
Pencapaian suara terendah, diraih pasangan dari jalur independen (nomor urut 1), H Toyeb Rakembang dan Sofyan dengan raihan sebanyak 7.898 suara atau 7,05 persen suara sah.
Sebagai catatan, minimal dukungan suara untuk calon independen kota Lubuklinggau adalah 10 persen daftar pemilih tetap sejumlah 154.693, yaitu sebanyak 15.470 orang. Artinya, jumlah suara yang dicapai oleh paslon Toyeb –Soyan dalam pilkada 27 Juni 2018 pun tak mampu mempertahankan jumlah dukungan yang dikumpulkan pada saat pendaftaran paslon ke KPU.
Tingkat partisipasi masyarakat terhitung lumayan tinggi, mencapai 73,81 persen atau jumlah warga yang menggunakan suaranya sebanyak 114.521 jiwa. Sisanya, ada sebanyak 40.632 jiwa atau 26,19 persen memilih golput.
Prediksi Survei
Kemenangan pasangan petahana, Prana Putra Sohe sudah diprediksi sebelumnya oleh lembaga survei Charta Politika yang mengadakan jajak pendapat pada 6-11 April 2018 dengan 400 responden. Hasil pengumpulan pendapat itu menunjukkan, pasangan petahana walikota yang ber-tag line, “NanSuko” ini memperoleh apresiasi kinerja dari mayoritas responden (sekitar 84 persen), dan elektabilitas sekitar 62 persen.
Profil keunggulan elektabilitas petahana itu tak berbeda jauh dengan hasil pemetaan setahun sebelumnya, ketika lembaga SMRC melakukan survey elektabilitas. Hasil survei yang diselenggarakan 22-28 Juli 2017 itu mendapati tingkat elektabilitas petahana Nanan, (nama panggilan Prana Putra Sohe) berkisar pada angka 70 persen.
Dua survey yang diadakan lembaga kredibel tersebut agaknya menjadi cerminan pengambilan keputusan bagi parpol-parpol pemilik kursi DPRD Lubuklinggau. Apalagi kedua survei dilakukan dalam rentang waktu yang cukup berjarak, namun memiliki hasil keunggulan yang relatif sama, popularitas dan elektabilitas Nanan Putra Sohe tetap terpaut jauh dari rival terdekatnya. Tak heran, dalam perjalanan waktu jelang penutupan pandaftaran calon walikota, sejumlah parpol semakin menegaskan posisi dukungannya kepada Nanan dan Kohar.
Kemenangan Prana Putra Sohe yang didukung mayoritas parpol mencerminkan keunggulan strategi PKB dan PBB sebagai pengusung utama kandidat petahana.
Sebagaimana wilayah Sumsel lainnya, Lubuklinggau adalah daerah yang secara nasional (DPR) dimenangkan oleh PDI Perjuangan dalam Pileg 2014. Namun pada pemilu tingkat kota, tak memiliki perolehan suara yang memadai untuk mendominasi kursi DPRD. Di parlemen kota Lubuklinggau hanya partai Golkar yang memiliki cukup kursi untuk mengajukan sendiri calon walikotanya.
Namun dengan bergabungnya partai Golkar menujukan dukungan kepada paslon petahana, maka kekuatan politik petahana menjadi bertambah. Terlebih seiring waktu sejumlah partai politik juga ikut melabuhkan dukungannya kepada paslon Nanan, sehingga makin memperkuat modal politiknya.
Laman berita online lokal juga menyebut kemenangan Prana Sohe karena hasil pembangunan kota Lubuk linggau yang dinilai cukup berhasil, disamping cukup dekat pula kepada rakyat. Di sisi lain, kemenangan paslon petahana ini mengungkit pula sentimen etnis berbaur agama.
Dalam acara pelantikan pengurus ranting NU tingkat kecamatan, Minggu (27/8/2017), Ketua PC Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau, Ahmad Mansur menyatakan berbagai pembangunan era walikota Prana Sohe yang adalah kader NU.
Pembangunan kawasan wisata Bukit Sulap, taman wisata air terjun Temam, Masjid Agung, jalan raya, kampung warna, hingga gedung Nahdlatul Ulama, merupakan karya nyata dari walikota petahana. (linggauupdate.com/2017/08).
Pekerjaan Rumah
Terpilihnya petahana kembali menjadi Walikota Lubuklinggau mencerminkan makin terbentuknya modal sosial masyarakat Lubuklinggau dengan basis organisasinya Nahdlatul Ulama. Prana Putra Sohe semakin solid mengakumulasi kekuatan politik dan basis sosial keagamaan.
Hal tersebut memiliki keuntungan dalam segi kuatnya kekuatan dukungan politik dalam pemerintahan Lubuklinggau, mengingat tersebarnya penguasaan parpol. Pelaksanaan agenda-agenda pemerintahan dan pembangunan menjadi lebih terjamin karena minimnya hambatan oposisi.
Di sisi lain, catatan hukum kepala daerah di kawasan ini cukup lekat dengan kasus-kasus hukum terkait suap, gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang. Jangan sampai kekuatan politik yang solid dan bertumpu pada pencapaian kinerja, justru terjerembab pada kasus hukum, OTT KPK. (TOTO SURYANINGTYAS/LITBANG KOMPAS)