Perubahan Politik dan Ekonomi ”Negeri Poci”
Pilkada telah usai. Hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Tegal yang menetapkan pasangan Dedy Yon Supriyono-Muhammad Jumadi sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal terpilih periode 2019-2024 kini menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi.
Pilkada Kota Tegal 2018 dimenangi oleh pasangan Dedy Yon Supriyono-Muhammad Jumadi dengan selisih suara yang sangat tipis dari pasangan Habib Ali Zaenal Abidin-Tanty Prasetyo Ningrum di urutan kedua. Dedy Yon Supriyono-Muhammad Jumadi mendapat 28,04 persen suara, sedangkan pasangan Habib Ali Zaenal Abidin-Tanty Prasetyo Ningrum memperoleh 27,80 persen suara.
Persaingan ketat di antara kedua pasangan ini tampaknya di luar perkiraan. Hal itu karena terdapat pasangan calon lain yang memiliki peluang lebih besar karena dukungan dari partai besar atau faktor kekuasaan dibandingkan kedua pasangan ini.
Pilkada di Kota Tegal kali ini diikuti oleh lima pasangan calon. Satu pasangan maju dari jalur perseorangan. Wali kota petahana Nursholeh ikut bertarung berpasangan dengan Wartono yang diusung oleh koalisi Partai Hanura dan Golkar. Kedua partai ini menguasai enam kursi di DPRD.
Di atas kertas, peluang petahana cukup besar untuk menang karena sudah memiliki modal yang tinggi jika dilihat dari segi kepopuleran, pengalaman, dan mesin birokrasi. Sayangnya, pasangan ini pada akhirmya hanya berhasil meraup 15,48 persen suara.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai partai pemenang Pemilu 2014, cukup percaya diri tanpa berkoalisi dengan partai lain, mengusung kadernya Herujito. PDI-P memiliki enam kursi di DPRD. Herujito menggandeng Sugono, seorang legislator lokal, sebagai wakila.
Survei internal meyakinkan pasangan ini memiliki elektabilitas yang tinggi. Kepercayaan diri yang tinggi diperoleh karena Kota Tegal masih menjadi salah satu kandang banteng di Jawa Tengah. Akan tetapi, hasil KPU hanya mencatat 16,05 persen suara untuk pasangan ini.
Adapun pasangan A Ghautsun-Muslih Dahlan yang maju dari jalur perseorangan memperoleh 12,64 persen suara. Meski Ghautsun yang merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa bisa memecah suara warga Nadhliyin di Kota tegal, ia sulit mendongkrak suara karena reputasi yang tidak begitu baik.
Pertarungan antara pasangan Dedy Yon Supriyono-Muhammad Jumadi dan pasangan Habib Ali Zaenal Abidin-Tanty Prasetyo Ningrum menjadi menarik karena merupakan adu strategi yang meramu kekuatan figur, mesin partai, dan kekuatan modal yang dimiliki.
Habib Ali Zaenal Abidin adalah mantan wakil wali kota Tegal periode 2009-2014 mendampingi wali kota Ikmal Jaya. Bersama Tanty Prasetyo Ningrum, Habib Ali didukung oleh koalisi Partai Nasdem dan PKB yang memiliki enam kursi di legislatif. Pasangan ini berharap mendapatkan banyak suara dari kaum Nadhliyin.
Namun, posisi Tanty sebagai calon wakil wali kota kurang mampu menambah elektabilitas Habib Ali. Masyarakat tidak banyak mengenal rekam jejak perempuan pengusaha yang lebih banyak beraktivitas di Kalimantan ini.
Dukungan mesin partai terkuat dimiliki pasangan Dedy Yon Supriyono-Muhammad Jumadi. Pasangan ini diusung oleh koalisi Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan Demokrat yang menguasai 10 kursi di legislatif. Kekuatan ini ditambah pula dengan figur Dedy yang populer sebagai politisi dan pengusaha (properti dan otobus) sukses asal Brebes.
Kader Partai Demokrat yang pernah menjadi unsur pimpinan DPRD Kabupaten Brebes dan anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah ini menang di daerah-daerah pinggiran, seperti Tegal Barat, juga wilayah kota. Adapun wakilnya Muhammad Jumadi adalah seorang pakar teknologi informasi yang juga akademisi.
Perubahan politik dan korupsi
Sejarawan pantura, Wijanarto, menilai persaingan di pilkada Kota Tegal berlangsung ketat dan cukup berimbang dengan kekuatan masing-masing pasangan calon. Ke mana suara warga diarahkan ditentukan oleh masih kuatnya politik identitas di Kota Tegal.
”Suara warga Nadhliyin (NU) terpecah ke empat pasangan calon, yaitu pasangan nomor urut satu hingga empat,” kata Wijanarto. Selain itu, wilayah pantura, termasuk Tegal, terkenal dengan tradisi ”saweran” atau siraman, tradisi bagi-bagi uang.
”Di pilkada sekarang, semua calon melakukan saweran dengan nilai yang berbeda-beda. Yang modalnya besar sawerannya paling besar. Tampaknya, hanya pasangan nomor lima yang tidak saweran karena terlalu percaya diri dengan elektabilitasnya,” ujar Wijanarto.
Selanjutnya, Wijanarto menjelaskan, meski Kota Tegal sejak 1955 dikuasai kaum nasionalis dan pascareformasi menjadi kandang banteng, suara PDI-P mulai tergerus. Banteng kalah ketika Siti Mashita yang diusung Partai Golkar memenangi Pilkada 2013. Meskipun pada pemilu di Kota Tegal PDI-P menang, pucuk eksekutif bukan dari PDI-P.
Kaderisasi yang buruk, ditambah pula dengan lemahnya komunikasi antara daerah dan pusat menjadi persoalan yang dihadapi PDI-P saat ini. Tak heran bila calon dari PDI-P tidak bisa memenangi Pilkada Kota Tegal 2018.
Siapa pun pasangan yang memenangi Pilkada Kota Tegal nanti karena masih menunggu putusan MK, kepemimpinannya diuji dalam memutus rantai radikalisme dan korupsi yang selalu siap muncul di ”negeri poci” ini.
Soal korupsi, dua wali kota Tegal terdahulu yang dipilih secara langsung terlibat kasus hukum. Pada 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Tegal Ikmal Jaya sebagai tersangka tukar guling lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bokong Semar yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 35,1 miliar. Selanjutya, pada 2017 Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno tersangkut masalah korupsi di sektor kesehatan (RSUD Kardinah).
Terhentinya kepemimpinan Wali Kota Siti Mashita Soeparno di tengah jalan menjelang selesainya masa bakti periode 2014-2019 menorehkan sejarah baru Kota Tegal. Peristiwa ini diwarnai dengan perlawanan dari rakyat yang menjadi penanda adanya ”radikalisme” rakyat Tegal di zaman modern. Perlawanan tersebut muncul karena kekecewaan yang memuncak yang bertemali dengan perilaku korup kepala daerah.
Sebelum terjadi operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap Siti Mashita Soeparno pada 29 Agustus 2017, rakyat Kota Tegal memendam kekecewaan terhadap sang wali kota. Dukungan masyarakat terhadap sang wali kota merosot karena kinerja yang tidak prorakyat sehingga membuahkan kekecewaan.
Saking kecewanya, gerakan perlawanan terhadap sang wali kota diwujudkan masyarakat dengan pembacaan puisi Tegalan dan membuat spanduk dengan bahasa Tegal yang sarkastis. Muncul spanduk bertuliskan ”Rakyat wis jeleh, njagong bae. Merad mana!” Spanduk tersebut bisa diartikan ”Rakyat sudah bosan (muak), (dia) duduk saja. Silakan pergi!”
Banyak hal yang memicu kekecewaan terhadap pemerintahan Siti Mashita yang baru seumur jagung. Menurut Wijanarto, Siti Mashita sejak awal kepemimpinannya sudah menimbulkan banyak blunder. Banyak konflik yang terjadi di wilayah birokrasi.
”Siti Mashita banyak menon-job-kan pejabat eselon menjadi pegawai biasa. Ia juga melakukan gratifikasi jabatan, bahkan mengintervensi kebijakan di ranah pendidikan. Ini menimbulkan gerakan perlawanan dari rakyat. Kampus dan seniman pun berpartisipasi dan mengambil bagian dalam perlawanan,” papar Wijanarto.
Ketika kekecewaan masyarakat memuncak, ditangkapnya Siti Mashita dalam operasi tangkap tangan oleh KPK menjadi jalan keluar diakhirinya kekuasaan yang tidak lagi didukung rakyat. Rakyat bahkan menyambut gembira penangkapan Siti Mashita.
Radikalisme dari masa ke masa
Di sepanjang sejarah kekuasaan di Kota Tegal, Siti Mashita bukanlah satu-satunya wali kota yang mendapat perlawanan dari rakyat. Wali Kota HM Zakir yang memerintah pada periode 1989-1998 pun demikian. Gerakan perlawanan terhadap HM Zakir dipicu oleh arogansi sang wali kota.
”Tegal pada 1998 bergerak menjungkalkan HM Zakir karena arogansi dan menistakan orang Tegal. Pasalnya, saat kuningisasi ada warung Pian yang menolak dicat kuning yang membuat Zakir marah. Terjadi pertengkaran yang menimbulkan dendam cukup lama. Selain itu, juga ada konflik terkait dengan pengaturan bisnis perkayuan yang dilakukan Zakir,” kata Wijanarto.
Sejarah perlawanan dan radikalisme di Kota Tegal tidak saja terjadi belakangan ini di masa akhir era Orde Baru atau reformasi. Jauh sebelumnya, sejak masa kolonial dan perang kemerdekaan, gerakan perlawanan rakyat Tegal sudah meruak.
Rakyat Tegal mengenal tokoh berandal Mas Cilik yang acap disebut sebagai Robin Hood-nya Tegal. Tokoh ini melawan kolonial terkait industri perkebunan. Ada pula cerita Gendewor dan Adipati Martoloyo yang diadu dengan saudaranya Martapura dalam perang Sampyuh, perang sampai mati, juga terkait perlawanan terhadap Belanda.
Radikalisme dan perlawanan selanjutnya di awal abad ke-20. Banyaknya industri gula memunculkan kelas pekerja dan urbanisasi di Tegal. Kelas pekerja ini membentuk serikat pekerja yang berafiliasi dengan pergerakan nasional. Contohnya FSTP (organisasi pekerja kereta api), SBG (Sarikat Buruh Gula), SPPL (Sarikat Pekerja Pelayaran dan Laut), Fabrik Bonds, Sarikat Buruh Tjitak (Cetak), Sarikat Buruh Elektrik, Sarikat Rakyat (SR), dan Sarikat Islam.
Wijanarto bercerita, Tegal termasuk wilayah ”merah”, wilayah yang mendukung perlawanan PKI terhadap kolonial pada 1926. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya tahanan politik Tegal yang dibuang ke Bovendigul, bahkan ke Australia, termasuk tokoh Haji Mukhlas, pemimpin SR yang dibuang ke Bovendigul. Tokoh ini adalah bapaknya MH Lukman, salah satu tokoh triumvirat PKI bersama Aidit dan Nyoto.
Tokoh-tokoh 1926-an ini bergerak lagi pada November 1945 saat munculnya revolusi sosial yang disebut dengan Peristiwa Tiga Daerah atau Pemberontakan Kutil. Operator lapangannya adalah Kutil, nama aslinya adalah Sakiani. Kutil, yang oleh Anton E Lucas (penulis dan Indonesianis berkebangsaan Australia) dan dikonfirmasi oleh cucunya, adalah seorang tukang cukur dari Madura.
Saat revolusi, ia menjadi pemimpin yang berpengaruh di Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Talang. Sakiani melakukan teror terhadap orang yang tidak nasionalis atau seideolgi dengan AMRI. Ia adalah kader yang dididik oleh aliran kiri pada masa pendudukan Jepang.
Radikalisme inilah yang membuat Tegal diperhitungkan dalam panggung kekuasaan nasional. Soekarno turun tangan langsung mengamankan Tegal agar tidak ada lagi Republik Talang atau Republik Slawi, yang mendirikan kekuasaan sendiri-sendiri di tiga daerah, yakni Tegal, Brebes, Pekalongan, termasuk Pemalang.
Pada 1945, sejak awal proklamasi kemerdekaan, gejolak baru mulai muncul. Ada yang tidak mendukung kemerdekaan RI. Ada peristiwa-peristiwa yang menjadikan Tegal berdarah, seperti pembantaian terhadap orang-orang Belanda atau orang Indonesia yang bekerja di pabrik gula. Selain itu, juga terjadi pembunuhan atau penggantian secara paksa kepala desa yang mendukung Jepang dalam bentuk pemberian daftar romusha dan mengumpulkan panen padi ke pihak Jepang.
Setelah proklamasi, juga terjadi pembunuhan terhadap birokrat yang dianggap lamban dalam mengantisipasi perubahan sosial. Juga terjadi penjarahan kain blacu di pabrik tekstil. Peristiwa-peristiwa kekejaman ini, termasuk pembantaian yang korbannya orang Tionghoa, terjadi di zaman yang disebut zaman bersiap (cocolan) atau masa transisi kekuasaan akibat pusat yang belum sepenuhnya dapat menguasai lokal dan birokrasi pusat belum terbentuk.
Ikon budaya
Terlepas dari sejarah gerakan perlawanan rakyat, Tegal mempunyai ikon budaya yang digambarkan lewat Banteng Loreng Binoncengan. Simbol seorang anak kecil (gembala) meniup seruling yang dengan tenang mengendalikan sosok hewan banteng yang liar.
Ikon budaya ini bermakna orang Tegal akan menuruti dan menjaga siapa pun pemimpinnya kalau pemimpin itu mengayomi dan bisa dipercaya. Namun, sekali mereka dikhianati, mereka akan melawan, termasuk kepada tuan atau pemimpinnya sendiri.
Banteng menjadi simbol watak orang Tegal yang keras dan memberontak. Namun, watak itu dapat ditaklukkan. Siapa yang dapat menaklukkan? Siapa saja bisa asal ia bisa berkomunikasi dan paham cara mengendalikannya. Ikon ini muncul tahun 1955 dan mendasari keterbukaan di Kota Tegal yang ditandai dengan banyaknya wali kota Tegal yang bukan orang Tegal asli.
Menurut Wijanarto, ada tiga hal yang menjadi kunci untuk memahami orang Tegal. Pertama, berhubungan dengan kebutuhan orang Tegal, terutama yang menyangkut harga diri. Kedua, politik identitas yang mengarah pada identitas agama atau suku. Ketiga, persoalan kesenjangan sosial.
Ketiga hal ini saling mendukung dan bisa menyebabkan munculnya gerakan perlawanan rakyat, termasuk ikut menentukan dinamika perpolitikan di Kota Tegal.
Evolusi ekonomi
Radikalisme dalam gerakan perlawanan rakyat dan korupsi adalah dua hal yang mengiringi evolusi Kota Tegal. Kota Tegal adalah salah satu kota di wilayah pantura yang diistimewakan pada masa kolonial. Dulu, industri di kota ini berjaya. Sekarang, deindustrialisasi merebak menyebabkan pudarnya identitas khas Kota Tegal.
Kota Tegal memiliki kekhasan karena memiliki posisi penting di republik ini dari zaman Mataram hingga kolonial. Tegal menjadi penentu kekuasaan. Pada zaman VOC, Tegal menjadi tempat penyimpanan logistik bagi prajurit yang akan menyerbu Batavia, selain Cirebon. VOC membangun benteng di bagian utara (sisanya sekarang ditempati Lapas Kota Tegal).
VOC menganggap Tegal penting sehingga kota kecil ini pada 1901 dijadikan stad (kota) dalam perspektif birokrasi kolonial yang dipimpin oleh wali kota, sebanding dengan Surabaya, Semarang, dan Batavia. Selain masyarakat pribumi, Tegal mempunyai hunian masyarakat Eropa, selain juga ada masyarakat yang diperlakukan dengan hukum Eropa.
Tegal direncanakan sebagai kota industri dan dagang. Pelabuhan dibangun untuk melakukan ekspor gula, beras, dan kayu jati. Industrialisasi di Tegal sudah terasa saat pintu kapitalisme dibuka di bidang perkebunan. Pabrik-pabrik gula banyak berdiri, seperti Pabrik Gula (PG) Pangkah, PG Kemanglen, PG Balapulang, PG Kemantran, dan PG Pagongan.
Untuk mendukung industri tersebut, kegiatan perbankan pun dikembangkan dengan berdirinya Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). NHM lembaga bank yang memberi kredit kepada pengusaha perkebunan.
Selain itu, juga ada industri logam berat, yaitu perusahaan NV Braat (pusat di Surabaya), sekarang menjadi PT Barata. Perusahaan ini membuat suku cadang mesin-mesin untuk pabrik gula sehingga pengusaha gula tidak perlu memesan ke Eropa.
Sarana transportasi yang dibangun di Tegal juga baik. Sebelum kereta api beroperasi, Tegal sudah dilalui Jalan Daendels. Baru pada akhir abad ke-19 ada konsesi dari perusahaan swasta untuk membangun KA ke jalur selatan dan proyek raksasa yang menghubungkan Semarang dengan Cirebon (Cheriboon Stroom Trem).
Tegal berkembang menjadi daerah maju, tidak terisolasi. Dari aspek kelautan ada pelabuhan, dari aspek kereta api ada jalur selatan dan pantura, serta aspek jalan raya ada Jalan Daendels.
Secara administrasi, pada 1824 setelah Perang Diponegoro, Tegal menjadi ibu kota karesidenan yang membawahkan Brebes-Pemalang-Batang-Tegal-Pekalongan. Letak ibu kota Tegal yang lama adalah wilayah DPRD sekarang. Wilayah Lanal, kantor pos, lapas, dan DPRD merupakan kawasan tua yang dulunya cikal bakal kota lama Tegal. Banyak kantor dibangun kolonial di sana. Pada 1900-an, karesidenan dipindahkan ke Pekalongan.
Adanya pelabuhan memicu berdirinya gudang-gudang di wilayah pesisir yang memuat hasil-hasil perkebunan dan industri, seperti kopra, kayu, gula, dan kain blacu yang ditujukan untuk pasar Eropa.
Di masa sekarang, deindustrialisasi melanda Kota Tegal. Pamor pabrik gula di sini meredup. Ketika bisnis gula redup, muncul bisnis perkayuan. Setelah wali kota Zakir berkuasa, redup pula aktivitas pelabuhan untuk ekspor. Pelabuhan ekspor berubah menjadi pelabuhan perikanan dan pelayaran antarpulau. Pada masa kepemimpinannya, Zakir mencetuskan Kota Tegal sebagai kota bahari.
Terjadi perubahan struktur ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang ditandai dengan berkurangnya kesempatan kerja di sektor industri. Kegiatan industri saat ini menjadi penyumbang ketiga terbesar (14,88 persen) dalam produk domestik regional bruto Kota Tegal setelah sektor perdagangan (28,26 persen) dan konstruksi (16,76 persen). Di Kota Tegal sekarang pusat-pusat perbelanjaan (mal) lebih banyak dibandingkan pabrik-pabrik.
Masyarakat yang tidak bisa bekerja di sektor industri memilih meninggalkan kotanya. Tingkat urbanisasi menjadi tinggi. Sarana transportasi yang baik memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bergerak menuju kota lain yang lebih menjanjikan. Sasarannya adalah wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek), selain tentu saja kota-kota besar lain di Jawa.
Indikator urbanisasi ini bisa dilihat di terminal Kota Tegal setiap akhir pekan. Banyak pencari kerja yang melaju ke kota lain untuk mencari pekerjaan. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)