Kehadiran transportasi dengan menggunakan aplikasi sedikit banyak mengubah lanskap bisnis transportasi. Analisis Fitch Ratings pada 2015 menyebutkan, popularitas transportasi berbasis aplikasi, seperti Uber, Grab, dan Go-Jek, turut menggerus ceruk bisnis perusahaan taksi dan penyewaan mobil konvensional, dengan strategi memberi diskon untuk menarik pelanggan sekaligus menciptakan pangsa pasar.
Namun, bukan hanya terhadap bisnis transportasi konvensional, persaingan juga tidak terhindarkan terjadi antarperusahaan aplikasi itu sendiri. Persaingan memperebutkan penumpang semakin ketat karena ada pemain baru yang memanfaatkan kecanggihan teknologi. Hal itu misalnya kehadiran Uber memancing reaksi negatif dari beberapa pemain aplikasi lokal di kawasan Asia Tenggara. Tidak semua perusahaan kemudian bisa bertahan menghadapi ketatnya bisnis tersebut.
Pada 26 Maret 2018, Grab mengakuisisi bisnis Uber di Asia Tenggara. Grab mengambil alih bisnis transportasi dan pengiriman makanan yang sebelumnya dijalankan Uber. Sebagai gantinya, Uber mendapatkan 27,5 persen saham di Grab.
Bukan kali ini saja Uber meninggalkan gelanggang persaingan di sebuah negara. Sebelumnya, Uber juga pernah meninggalkan China dan Rusia. Di luar urusan hambatan aturan di beberapa negara, dalam kenyataannya Uber sulit berkompetisi dengan pemain lokal.
Grab merupakan pemain transportasi berbasis aplikasi terkemuka di Asia Tenggara. Grab menawarkan pilihan layanan pemesanan kendaraan terbanyak di sebagian besar pasar di kawasan tersebut. Laman grab.com menunjukkan aplikasi Grab telah diunduh di lebih dari 17 juta perangkat telepon pintar dan 320.000 pengemudi di Singapura, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Awalnya, Grab hanya bermain di aplikasi pemesanan mobil layaknya layanan taksi pada 2012. Sambutan hangat publik membuat Grab kemudian mengembangkan platform produknya, termasuk layanan pemesanan mobil sewaan dan ojek. Beberapa layanan baru yang dikembangkan adalah carpooling serta layanan pesan-antar makanan.
Saat ini, tidak kurang 620 juta orang di Asia Tenggara menggunakan layanan Grab. Tidak heran, sulit bersaing dengan Grab yang sudah memiliki pangsa pasar di kawasan ini. Tidak terkecuali, Uber yang kemudian memilih bergabung dengan Grab.
Namun, bergabungnya Uber ke Grab masih menyisakan persoalan besar, terutama dari sisi kompetisi dagang, seperti yang terjadi di Singapura. Merger antara Grab dan Uber terganjal hukum di persaingan dagang di ”Negeri Singa” tersebut. Akuisisi tersebut dinyatakan bersalah oleh Komisi Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha Singapura (CCCS). Kedua perusahaan juga mendapat sanksi membayar denda senilai 9,5 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 141 miliar.
Manajemen Grab dan Uber menyatakan bahwa pihaknya tidak setuju dengan putusan yang menyebutkan langkah merger tersebut melanggar aturan persaingan usaha. Namun, mereka menghormati keputusan, terlebih karena komisi tersebut tidak membatalkan merger yang telah dilakukan. Manajemen Grab juga menyatakan akan mempelajari keputusan tersebut sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Hal memberatkan kedua perusahaan tersebut berdasarkan penelusuran Komisi tersebut yang menemukan bahwa merger Grab dan Uber mengurangi persaingan pasar aplikasi transportasi daring di Singapura secara signifikan. Proses merger tersebut mendongkrak pangsa pasar Grab yang pada awalnya berada di angka 50 persen menjadi 80 persen. Selain itu, Komisi juga menemukan bahwa tarif yang dikenakan kepada pengguna aplikasi naik hingga 15 persen.
Putusan ini tentu menuai polemik, terutama dari sisi Grab dan Uber. Namun, diakui semangat yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penguasaan pasar yang ujung-ujungnya dapat merugikan konsumen.
Lanjutan perang dagang
Polemik lain yang muncul di seputar bisnis adalah perang dagang Amerika Serikat dan China. Tanggal 24 September 2018, Pemerintah AS mulai memberlakukan pajak untuk produk-produk buatan China senilai 200 miliar dollar AS. Tidak tinggal diam, China membalas dengan pajak serupa dengan nilai 60 miliar dollar AS.
Reaksi kedua negara tidak berhenti di situ saja. Bersamaan dengan pemberlakuan pajak oleh AS, Pemerintah China juga mengeluarkan laporan berisi sikapnya menghadapi situasi perang dagang. Dalam dokumen tersebut, China menuding AS menggunakan cara-cara di luar etika perdagangan global dan strategi proteksionisme dalam berdagang.
Dokumen tersebut juga menjelaskan sikap Pemerintah China melawan AS karena kebijakan pajak impor oleh AS berangkat dari asumsi yang salah. Defisit perdagangan AS dari China sebenarnya berakar di rendahnya rasio tabungan dan struktur ekonomi AS sebagai produsen barang berteknologi tinggi.
Pemerintah China sekaligus menegaskan kebijakan mereka yang tidak akan mengambil sikap proteksionisme, bahkan akan semakin gencar membuka jalur-jalur perdagangan internasional dengan negara-negara lain.
Seakan tidak mau kalah dengan China, Presiden Trump juga menunjukkan strategi baru perdagangan luar negerinya. Jika dengan China, AS menerapkan perang tarif, hal berbeda ditunjukkan terhadap Korea Selatan dan Jepang. Trump menandatangani revisi perjanjian dagang antara AS dan Korea Selatan, dengan harapan membuka keran perdagangan kedua negara menjadi lebih lebar. Dalam momen tersebut, Trump juga menyampaikan bahwa langkah AS tersebut menjadi bukti komitmen dalam mendorong perdagangan global yang lebih bebas.
Selain itu, Trump juga menyatakan rencananya mengajak Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk membuat perjanjian kerja sama ekonomi bilateral AS-Jepang pada pertemuan mereka di sidang PBB, New York yang dimulai pada 26 September 2018.
Bukan hanya sekadar menaikkan pajak produk asal China, strategi Trump dalam perang dagang juga memiliki dimensi perang psikologis. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS, Trump ingin menekan China dan mendekati dua kekuatan ekonomi Asia lainnya.
Kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari ambisi Trump yang mengusung program ”America First” yang menyudutkan China dan juga Rusia. Pada 18 Desember 2017, Trump menyatakan dua negara ini ingin mendongkel kekuasaan AS di dunia. Namun, Trump menegaskan AS masih bertaring dan akan menang. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)