Menguak Identitas Mata-Mata Rusia
Setelah tuduhan Inggris terhadap keterlibatan Rusia dalam serangan racun Novichok satu bulan yang lalu, penyelidikan tentang identitas asli agen Rusia dibeberkan. Situs web Bellingcat bekerja sama dengan koran The Insider mengumumkan hasil penyelidikannya terhadap salah satu tersangka penyerangan racun syaraf Novichok di Salisburry.
Sebelumnya, Pemerintah Inggris menyebarkan dua foto tersangka kasus Salisburry yang diidentifikasi sebagai Alexander Petrov dan Ruslan Boshirov, keduanya warga negara Rusia. Putin menanggapi tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa kedua warga negara Rusia tersebut merupakan warga sipil biasa.
https://kompas.id/baca/riset/2018/09/08/tudingan-inggris-terhadap-rusia
Setelah pengumuman sekaligus pencekalan kedua tersangka di seluruh Uni Eropa, kanal video Rusia Today menampilkan wawancara dengan kedua tersangka. Dalam wawancara tersebut, kedua tersangka mengaku melakukan perjalanan ke Inggris dalam rangka kegiatan bisnis di bidang industri fitnes. Mereka mengaku bahwa kunjungan ke Salesburry dilakukan dalam rangka melihat katedral.
Kamis lalu, Bellingcat mengidentifikasi Ruslan Boshirov sebagai seorang pejabat intelijen militer senior Rusia bernama Anatoliy Vladimirovich Chepiga. Chepiga, laki-laki berumur 39 tahun, seorang veteran perang Chechnya dan Ukraina. Boshirov sendiri merupakan nama alias yang ia gunakan sejak 2009. Ia diketahui merupakan seorang penerima penghargaan pahlawan bagi Federasi Rusia pada 2014. Biasanya, penghargaan tersebut dilakukan secara rahasia dan dilakukan langsung oleh presiden.
Chepiga dipercaya merupakan anggota satuan elite GRU Spetsnaz sejak 2001. Hal tersebut tampak dari foto-foto yang dirilis yang menunjukkan kegiatan Chepiga, termasuk foto Chepiga yang muncul dalam paspor yang ia ajukan pada 2003.
Informasi selanjutnya menyebutkan bahwa Chepiga lahir di sebuah desa terpencil bernama Nikolayevka di perbatasan Rusia-China pada 1979. Ia merupakan lulusan Akademi Komando Militer Timur Jauh sebelum dikirim ke Chechnya tiga kali. Namanya muncul dalam daftar di bawah bintang emas dalam monumen alumni di akademi tersebut.
Pemerintah Inggris tidak memberikan keterangan resmi terkait hasil investigasi Bellingcat. Hal tersebut membuat Moskwa menganggap bahwa Inggris sendiri meragukan informasi yang dimunculkan oleh Bellingcat. Selain itu, Dinas rahasia Rusia FSB menyatakan bahwa hasil investigasi Bellingcat adalah omong kosong. Menurut dia, dokumen yang dirilis terlalu rahasia untuk dapat diakses oleh publik.
Tanggapan juga muncul dari surat kabar Komsomolskaya Pravda. Koran ini menyatakan bahwa foto Chepiga sangat mirip dengan foto Boshirov saat muda. Surat kabar ini memberikan alasan yang meyakinkan dari sumber militer Rusia yang tak dapat disebutkan. Pertama, kesalahan Bellingcat adalah mengklaim bahwa Chepiga lulus dari Akademi Komando Militer Timur Jauh. Hal itu tak dapat dibenarkan karena pendidikan di sana sangat lama pada waktu itu.
Selain itu, Bellingcat juga menyebutkan bahwa Chepiga selama 2003-2005 tinggal di kota Khabarovsk tempat batalion GRU berada. Hal itu tidak benar karena unit militer tersebut pada saat itu ada di Ussuriysk atau 670 kilometer dari Khabarovsk. Mayoritas koran di Inggris mengangkat berita ini di sampulnya, lengkap dengan temuan foto Bellingcat menyangkut latar belakang Chepiga.
Ultimatum Corbyn
Selain membahas kasus mata-mata Rusia, publik Inggris juga disuguhi perkembangan Brexit dari dalam negeri. Setelah kegagalan perundingan di Salzburg dan ditinggalkan sendirian oleh para pemimpin Uni Eropa, Theresa May mendapat tekanan dari partai oposisi. Pimpinan Partai Buruh, Jeremy Corbyn, menunjukkan pentingnya dukungan dari Partai Buruh terhadap May dalam melanjutkan negosiasi sensitif dengan Uni Eropa.
Corbyn merinci yang ia maksud dengan negosiasi sensitif dukungannya. Partai Buruh akan tetap mendukung May dengan rencana ”Chequer”-nya dengan tiga syarat. Pertama, May harus mampu menjaga Inggris tetap berada dalam aturan bea cukai Uni Eropa. Kedua, tak melakukan kekerasan terhadap isu perbatasan Irlandia. Ketiga, hak-hak menyangkut pekerjaan, hak warga negara untuk bekerja, lingkungan, dan standar konsumen dijamin.
Chequers sendiri merupakan rencana Inggris terkait dengan bea cukai terhadap barang dengan membuat wilayah pabean gabungan. Artinya, Inggris akan mengenakan tarif domestik dan kebijakan perdagangan bagi barang-barang yang ditujukan untuk Inggris. Di luar itu, Inggris akan mengenakan tarif Uni Eropa dan yang setara dengannya untuk barang-barang yang akan menuju Uni Eropa. Hal ini bertujuan untuk menghindari perlunya membuat perbatasan fisik dengan Republik Irlandia.
Rencana ini juga menunjukkan bahwa Inggris akan bebas menentukan kesepakatan perdagangannya sendiri dan mengakhiri pergerakan bebas orang-orang. Hal tersebut akan memberikan Inggris kontrol penuh atas banyaknya orang yang dapat masuk ke Inggris. Akan tetapi, sebuah kerangka mobilitas akan dibuat untuk mengizinkan warga negara Inggris dan Uni Eropa bepergian ke wilayah masing-masing serta mengajukan permohonan untuk belajar dan bekerja.
Selain memberikan dukungan, Corbyn juga memberikan ultimatum kepada May. Apabila May tidak berhasil bernegosiasi, dia harus mempersilakan partai lain yang mampu. Dengan kata lain, Corbyn meminta May memberi kesempatan kepada partai lain untuk menggantikannya di pemerintahan.
Dengan tegas, Corbyn menyatakan kepada anggota Partai Buruh bahwa dirinya siap untuk menang, siap untuk memerintah, dan dapat menggantikan posisi May dalam waktu satu bulan.
Tekanan yang dihadapi Perdana Menteri Inggris Theresa May bukan hanya dari oposisi, melainkan juga dari internal partainya. Minggu (30/9/2018), Partai Konservatif mulai melakukan kongres di kota Birmingham dengan topik utama membicarakan kelanjutan proposal Chequers.
Kongres ini menjadi sarana May untuk meyakinkan semua anggota Konservatif bahwa proposal Brexit yang ditawarkannya merupakan opsi yang paling mungkin diterapkan. May bahkan menyerukan ”I do believe in Brexit” terhadap lawan-lawan politiknya, terutama mantan juru runding Brexit, David Davis, dan mantan Menteri Luar Negeri Boris Johnson. (LITBANG KOMPAS)