[caption id="attachment_8689753" align="alignright" width="720"] Pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari PNS, TNI, dan Polri mengantre di loket pendaftaran poliklinik rumah sakit M Yunus, Provinsi Bengkulu, Rabu (8/12014). Belum banyak peserta BPJS kesehatan dari PNS yang memahami betul mekanisme BPJS kesehatan.
[/caption]
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih banyak menimbulkan persoalan. Persoalan yang belakangan paling mendapat sorotan terkait defisit keuangan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Defisit keuangan program BPJS Kesehatan yang sudah berjalan hampir lima tahun ini berkisar Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun per bulan.
Persoalan defisit keuangan program JKN telah menjadi perhatian sejak setahun pertama program BPJS Kesehatan dijalankan. Budi Hidayat dalam makalah yang dipublikasikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan estimasi defisit keuangan program BPJS Kesehatan. Analisis estimasi tersebut dilakukan pada tahun 2015, setahun setelah BPJS Kesehatan diberlakukan.
Estimasi penghitungan yang dilakukan Budi Hidayat menyebut defisit keuangan program BPJS Kesehatan mencapai Rp 96,3 triliun selama periode lima tahun pertama sejak diberlakukan tahun 2014. Peningkatan rasio antara beban biaya klaim program asuransi ini dibandingkan kontribusi iuran kepesertaan, berbanding lurus dengan target peningkatan jumlah peserta JKN.
Sejak awal, peringatan terkait pembiayaan yang berkelanjutan dalam program JKN kerap digaungkan kepada pemerintah. Di atas kertas, tampak jelas kesenjangan jumlah biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi pendapatan dari kepesertaan program ini.
Sejarah JKN
Program JKN pertama kali diberlakukan pada tahun 2014. JKN merupakan skema asuransi kesehatan sosial terpadu yang selama hampir lima tahun pemberlakuannya telah menjaring 193,5 juta peserta. Kepesertaan asuransi kesehatan ini menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Dari aspek kesejahteraan masyarakat, program JKN ini jauh lebih baik dari program jaminan sosial pada periode sebelumnya. Dalam konsep negara kesejahteraan, JKN dapat menjadi salah satu alternatif jaminan sosial yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Implementasi program JKN juga memiliki keunggulan yang bahkan tidak dimiliki oleh penyelenggara asurasi kesehatan swasta. Manfaat JKN yang menguntungkan masyarakat antara lain adalah tidak adanya batasan usia kepesertaan, serta manfaat komprehensif yang mencakup nyaris semua jenis pelayanan kesehatan untuk jenis penyakit yang tidak terbatas.
Namun demikian, implementasi salah satu program jaminan sosial ini memiliki konsekuensi pembiayaan yang tinggi. Skema pengumpulan iuran kepesertaan sejauh ini terbukti tidak mampu menutupi realisasi kebutuhan biaya pelayanan kesehatan. Lonjakan anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah pun melonjak drastis.
Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 19,9 triliun untuk menutupi iuran JKN bagi 86,4 juta penduduk yang masuk dalam kategori miskin dan hampir miskin pada tahun pertama JKN (2014). Jumlah tersebut lebih tinggi dua kali lipat dari anggaran Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) tahun 2013.
Iuran asuransi bagi peserta dari kelompok masyarakat yang teramasuk dalam ketegori keluarga miskin dan hampir miskin dibayarkan oleh pemerintah. Hingga bulan Maret 2018, sekitar 61 persen dari jumlah peserta JKN adalah penerima bantuan iuran dari pemerintah. Iuran bagi 92,3 juta (47,7 persen) peserta dibiayai oleh pemerintah pusat (APBN). Sementara 24,1 juta (12,5 persen) peserta iurannya dibantu oleh pemerintah daerah (APBD).
Mencontoh Thailand
Penerapan skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh negara yang dinilai berhasil dan kerap dijadikan rujukan adalah jaminan kesehatan nasional di Thailand. Program Jaminan Kesehatan belaku secara nasional di Thailand sejak tahun 2002. Tiga hal yang dianggap menjadi kunci utama keberhasilan skema jaminan kesehatan di Thailand adalah kuatnya Komitmen politik, keterlibatan masyarakat sipil, serta keahlian teknis dalam merancang skema pembiayaan program tersebut.
Awalnya, pada bulan Oktober tahun 2000, 11 Lembaga Swadaya Masyarakat di Thailand membentuk satu kelompok pergerakan untuk mendorong reformasi pelayanan kesehatan pemerintah menjadi skema pelayanan Kesehatan menyeluruh (Universal Coverage Scheme/USC) yang menjangkau semua lapisan masyarakat.
Gerakan ini kemudian menjadi salah satu program kampanye salah satu partai politik pada Pemilu 2001. Kampanye “30 Baht treats all diseases”, yakni gagasan membayar biaya layanan kesehatan dengan harga murah: 30 Bath untuk semua jenis pelayanan kesehatan pun menarik perhatian publik Thailand.
Selepas pemilu 2001, pemerintah Thailand pun mulai mengkonsolidasikan dukungan publik. Program Jaminan Kesehatan UCS pun mulai diberlakukan di enam provinsi di Thailand pada April 2001. Lalu, menyusul di 15 provinsi lainnya pada Juni 2001, dan berlaku di seluruh Thailand pada April 2002. Pada tahun 2015, tak kurang dari 76 persen penduduk Thailand yang menerima manfaat program UCS ini.
Tiga poin yang menjadi kunci keberhasilan program jaminan kesehatan UCS dianggap berhasil adalah pertama, skema pembiayaan dari pajak yang menyediakan layanan gratis untuk semua jenis pelayanan kesehatan. Gerakan membayar 30 baht per satu kali kunjungan mulai dihapuskan pada bulan November 2006.
Poin kedua adalah paket manfaat komprehensif bagi seluruh warga dengan fokus pada pelayanan primer. Terakhir, alokasi anggaran berdasarkan mekanisme pembayaran kapitasi bagi pasien rawat jalan dan alokasi umum bagi pasien rawat inap.
Untuk mengontrol biaya dan untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan program ini, penyusunan skema anggaran yang baik dan menekan secara ketat biaya menjadi kunci. Biaya Kapitasi tahunan pun cenderung lebih rendah daripada jumlah yang diminta oleh penyelenggara layanan kesehatan.
Terselenggaranya program JKN menjadi salah satu kebutuhan utama dan menjadi pilihan yang lebih baik bagi masyarakat dibandikan program jaminan kesehatan yang berlaku sebelumnya. Bagaimana pun menjadi kewajiban negara dan pihak terkait untuk mencari solusi atas potensi persoalan yang melingkupi program ini. (SUWARDIMAN/LITBANG KOMPAS)