Mengikis Trauma Gempa
Gempa bumi M 7,4 yang melanda Palu-Donggala menyisakan trauma bagi warganya. Dampak gempa memunculkan atmosfer ketakutan dan kecemasan bagi korban gempa. Kondisi traumatis masih lekat di benak korban, bahkan mereka cenderung fobia terhadap bangunan permanen.
Narasi koran The Straits News menceritakan nasib anak sekolah di Sulawesi Tengah, khususnya Palu-Donggala. Sebanyak 278.197 peserta didik dan 1.239 gedung sekolah terdampak bencana tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala.
Kegiatan belajar mengajar terhenti dan banyak sekolah roboh. The United Nation Children’s Agency menyebutkan lebih dari 1.000 sekolah rusak dan 1 dari 5 anak menjadi korban gempa. Diperlukan tindakan khusus di bidang pendidikan di wilayah terdampak bencana, apalagi saat ini masih banyak anak yang terpisah dari orang tuanya. Mengatasi trauma anak tidak jauh lebih mudah dibandingkan orang dewasa, sementara menumbuhkan kembali semangat belajar adalah pekerjaan rumah berikutnya.
Trauma gempa juga muncul dari fenomena likuefaksi saat gempa besar melanda bumi Palu. Surat kabar Philippine Daily Inquirer, menyoroti kejadian likuefaksi yang secara langsung memusnahkan jejak peradaban di wilayah terdampak. Setidaknya ada empat lokasi terdampak likuefaksi, dengan titik terparah terdapat di Perumnas Balaroa, sebanyak 1.747 rumah ditelan bumi.
Dapat dibayangkan, betapa hancurnya sebagian korban yang selamat melihat kampung berikut kerabat dan saudaranya lenyap ditelan bumi. Fenomena likuefaksi di Sulawesi Tengah merupakan kejadian terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. LIPI mencatat saat gempa bumi besar melanda Aceh, rata-rata kedalaman tanah yang mengalami likuefaksi setebal 40 sentimeter, sementara di Palu-Donggala mencapai lebih dari 5 meter.
Nilai risiko bencana di Palu-Donggala sangat besar jika dirupiahkan. Belum peran aktif pemerintah dan lembaga lain untuk membangun kapasitas masyarakat dalam menghadapi kejadian bencana berikutnya. Seluruh upaya yang dikerahkan oleh pemerintah pusat, daerah, hingga aktivis-aktivis sosial tentu akan terbantu jika teknologi kebencanaan di Indonesia memadai.
Jepang dan Cile
Indonesia dapat belajar dari negara lain yang juga rentan gempa dan tsunami seperti Jepang dan Cile. Bencana membuat dua negara tersebut fokus pada pengurangan korban dan dampak bencana dibandingkan dengan penanganan pasca bencana. Berbagai infrastruktur dan teknologi dikembangkan Jepang untuk menghadapi gempa dan tsunami.
Teknologi baru untuk deteksi kegempaan yang sedang dikembangkan Jepang adalah GPS/Acoustic Seafloor Geodetic Observations. Sistem ini menggambarkan kolaborasi beberapa stasiun penangkap gelombang yang diletakkan di dasar laut dan terintegrasi dengan kapal laut.
Selain itu Jepang juga melakukan investasi pembangunan tanggul pemecah tsunami. Lokasi pembangunan dibuat berdasarkan jejak rekam gempa dan tsunami di zona itu. Dengan perkiraan itu, dibuatlah tanggul pemecah gelombang sepanjang pantai Sanriku yang memiliki riwayat tsunami. Dua pemecah gelombang yang terkenal dibangun di Kota Kamaishi dan Ofunato. Jepang juga membangun tsunami gate (gerbang tsunami) di sejumlah sungai serta bangunan untuk evakuasi tsunami.
Belajar dari kejadian gempa dan tsunami, pemerintah Jepang menata ulang kawasan bencana. Kota-kota di pesisir dirombak total. Hunian dipindahkan ke perbukitan, untuk memastikan aman dari tsunami di masa depan.
Tidak ketinggalan, dipasang juga pengukur ketinggian gelombang dan tsunami (GPS buoy) untuk kemudian mengirimkan data observasi itu ke pusat data melalui satelit sebagai bagian dari sistem peringatan dini dengan prediksi real-time. Berbekal informasi itu, Badan Meteorologi Jepang mengeluarkan peringatan tsunami.
Mitigasi gempa dan tsunami yang lebih sederhana dilakukan Cile, salah satu negara di kawasan Cincin Api Pasifik yang rentan gempa dan tsunami. Pada tahun 2010, gempa berkekuatan 8,8 diikuti tsunami menewaskan 500 orang dan merusak 220.000 rumah. Gempa terkuat yang pernah tercatat di dunia juga terjadi di Cile pada tahun 1960 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang.
Cile berbenah menghadapi bencana, antara lain membangun sistem peringatan dini yang terhubung dengan warganya. Saat gempa bermagnitudo 8,3 mengguncang Cile pada 16 September 2015, pemerintah segera mengumumkan keadaan darurat untuk wilayah yang tertimpa bencana.
Peringatan tsunami dan perintah untuk evakuasi segera tersebar lewat telepon seluler warga setelah gempa besar mengguncang. Sistem ini memberi manfaat besar dengan jumlah korban yang berhasil diminimalkan, tercatat sebanyak 12 orang meninggal dunia.
Sistem sederhana ini kembali diuji saat gempa bumi berkekuatan M 7,7 melanda Cile selatan, 25 Desember 2016. Badan Tanggap Darurat Cile memerintahkan 4.000 orang dievakuasi menyusul peringatan dini tsunami. Setelah 90 menit, peringatan dini tsunami diakhiri. Hasilnya, tidak ada korban jiwa, meski beberapa ruas jalan raya rusak dan pembangkit listrik mati sehingga memutus pasokan bagi 22.000 pelanggan.
Literasi bencana juga diterapkan. Setelah gempa besar pada 1985, pemerintah Cile mulai menerapkan ketentuan ketat dalam bidang konstruksi agar bangunan memiliki daya tahan terhadap gempa. Warga juga terlatih menghadapi gempa karena di sekolah-sekolah, siswa rutin mendapat latihan mitigasi bencana (Kompas 19/9/2015).
Model-model mitigasi bencana tersebut bisa diadopsi pemerintah Indonesia sebagai bagian dari manajemen bencana. Dalam catatan Kompas, beberapa teknologi sudah dikembangkan Indonesia, seperti mengembangkan sistem peringatan dini yang disebut Indonesia Tsunami Early Warning System atau InaTEWS.
Sistem ini merupakan kombinasi pemantauan gempa bumi dan tsunami. Desain teknologi InaTEWS memiliki dua sistem pemantauan, yakni pemantauan darat yang terdiri dari jaringan seismometer broadband dan GPS, serta pemantauan laut yang terdiri dari tide gauges, buoy, CCTV, radar tsunami, dan kabel bawah laut.
Selain sistem jaringan teknologi tersebut, BMKG juga menggunakan perangkat lunak khusus, yaitu SeisComP3 yang dikembangkan untuk mengolah seluruh data seismik dalam waktu sangat singkat agar diketahui sumber gempa tektonik. Diseminasi informasi kegempaan dan potensi tsunami dilakukan melalui berbagai platform, seperti SMS, FAX, Email, dan WEB,.
Khusus deteksi gelombang tsunami, teknologi yang digunakan adalah buoy. Sayangnya, seluruh jaringan buoy Indonesia yang berjumlah 22 buah tidak ada yang beroperasi sejak tahun 2012. Hal tersebut memaksa BMKG menggunakan pemodelan untuk deteksi gelombang tsunami. Konsekuensi menggunakan pemodelan adalah hasil yang kurang akurat.
Rangkaian riset, pemanfaatan teknologi, pembangunan infrastruktur, serta mitigasi non-struktural berupa penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana harus disikapi serius oleh pemangku kebijakan di Indonesia. Ini penting dilakukan agar tidak ada lagi korban berjatuhan akibat gempa dan tsunami. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)