Identitas dalam Politik (6): Mencari Variabel Penentu Kemenangan Pilpres
Pemilu Presiden 2019 bukan saja menjadi penentu bagi siapa yang akan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI mendatang, tetapi juga menjadi pertaruhan besar bagi lembaga survei. Kredibilitas mereka tidak saja diukur dari perbandingan angka antara hasil riset dan output pemilu, tetapi prediksi kemenangan akhir yang diraih kandidat.
Pertanyaan sederhana, beranikah lembaga riset saat ini mengatakan bahwa dengan hasil sejumlah penelitian yang menyebutkan bahwa Jokowi telah berada di zona aman karena elektabilitasnya di atas 50 persen, ia akan terpilih kembali menjadi presiden?
Sejak dua tahun terakhir, metode riset sosial mengalami tantangan yang cukup berat. Kemampuan konvensionalnya semakin diragukan untuk membaca secara tepat elektabilitas calon yang bertarung memperebutkan posisi kepala pemerintahan, baik daerah maupun presiden. Mengapa ketepatan prediksi sulit diraih saat ini? Adakah variabel lain yang sulit dideteksi tetapi memiliki pengaruh sangat besar dalam menentukan hasil akhir keterpilihan kandidat?
Mengingat gejala seperti ini tampaknya tak hanya terjadi di Indonesia, menemukan benang merah ketidaknormalan hasil yang muncul adalah sebuah telaah metodologi yang menarik.
Di Amerika Serikat, sejak masa kampanye dimulai pada pertengahan September 2016 hingga menjelang pencoblosan 8 November 2016, setidaknya 20 lembaga survei melakukan total lebih dari 80 jajak pendapat untuk memprediksi hasil pemilu presiden, dan sebagian besar meleset. Rata-rata prediksi mengatakan Hillary Clinton akan menang, tetapi hasilnya Donald Trump yang unggul. Setahun kemudian, di Jakarta calon petahana Basuki Tjahaja Purnama yang diprediksi unggul oleh sejumlah lembaga riset, yang selama ini dikenal kredibel, ternyata kalah oleh Anies Baswedan. Padahal, di survei-survei awal posisi keterpilihan Anies berada di papan bawah.
Fenomena serupa terus berlanjut. Pada pilkada serentak 2018 terjadi fenomena yang cukup mencengangkan di sejumlah daerah. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah terjadi perubahan yang drastis dalam perolehan suara kandidat-kandidat tertentu, yang membuat citra lembaga survei cukup goyah. Jumlah perolehan suara riil sejumlah kandidat yang beberapa kali lipat lebih besar dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya membuat kredibilitas lembaga survei dipertanyakan.
Di Jawa Barat, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang sebelumnya jauh berada di papan bawah dibandingkan dengan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi tiba-tiba berada di urutan kedua perolehan suara. Di Jawa Tengah, jarak keterpilihan di antara dua pasang kandidat, Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang sebelumnya begitu jauh (lebih dari 40 persen), pada saat pilkada ternyata hanya selisih sekitar 17 persen. Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, calon papan bawah yang tidak dikenal tiba-tiba memenangi pilkada dengan telak.
Baik Sudrajat Syaikhu di Jabar, Sudirman Said-Ida Fauziyah di Jateng, maupun Muhammad Al Khadziq-Heri Ibnu Wibowo di Temanggung seolah ingin menyampaikan pesan bahwa pengalaman di panggung pemerintahan dan keberhasilan memimpin selama lima tahun sebelumnya tidak menjadi jaminan akan menang dengan mudah.
Volatilitas suara
Berdasarkan beberapa survei terakhir yang dilakukan setelah deklarasi pasangan capres dan cawapres untuk Pemilu 2019, Jokowi dinilai telah berada di zona aman karena elektabilitasnya sudah melewati batas psikologis 50 persen. Seaman itukah posisi Jokowi saat ini? Jika melihat kompetisi terakhir (Pemilu 2014) antara Jokowi dan Prabowo Subianto yang hanya berselisih suara 6,3 persen, apakah gelombang politik selama lima tahun ini tak akan mampu menambah suara untuk Prabowo dari 46,85 persen menjadi 50 persen + 1 suara?
Zona aman Jokowi dalam makna statistik artinya hasil survei memperlihatkan potensi keterpilihan Jokowi telah melebihi suara minimal yang diperlukan untuk mencapai syarat kemenangan di atas 50 persen. Hasil survei terakhir lembaga riset Alvara yang dilakukan pada 12-18 Agustus 2018 menyebutkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memiliki elektabilitas 53,6 persen. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang melakukan riset pada 12-19 Agustus 2018 menyebutkan pasangan ini mendapat dukungan 52,2 persen. Survei Y-Publica yang dilangsungkan 13-23 Agustus 2018 menyatakan Joko Widodo-Ma’ruf Amin lebih unggul dengan elektabilitas 52,7 persen.
Hasil tersebut sebetulnya tak jauh berbeda dengan perolehan terakhir Jokowi dalam Pemilu 2014 yang berada di angka 53,15 persen. Terlebih, dengan memperhitungkan margin of error, baru lembaga riset Alvara yang hasilnya cukup aman untuk Jokowi-Ma’ruf Amin. Margin of error atau nirpencuplikan Alvara adalah 2,53 persen, LSI 2,9 persen, dan Y-Publica 2,98 persen. Dengan begitu, titik terendah pencapaian Jokowi-Amin menurut hasil Alvara adalah 51,07 persen, LSI 49,3 persen, dan Y-Publica 49,72 persen.
Apakah dengan hasil tersebut Jokowi akan memenangi pilpres sangat tergantung dari dua perubahan. Pertama adalah massa mengambang (floating mass) yang saat ini belum menentukan pilihan. Jika mereka semuanya kemudian memilih pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, Jokowi-Amin masih mungkin dikalahkan.
Namun, pada umumnya suara floating mass ini pada akhirnya tidak hanya terbagi ke satu kandidat, terlebih dengan jumlah pemilih yang besar dan tersebar luas. Jika terdapat satu persen saja massa ini yang mengarahkan pilihan ke Jokowi-Amin, kemenangan Jokowi semakin pasti. Saat ini, massa mengambang untuk pilpres, berdasarkan tiga lembaga survei di atas, berkisar 11-18 persen.
Yang kedua adalah volatilitas suara simpatisan, perpindahan dukungan dari satu kandidat ke kandidat lain. Gejala ini biasanya terjadi karena faktor internal kandidat dan isu-isu seputar kandidat. Dalam Pilkada DKI 2017, misalnya, kelemahan pasangan Agus Harimuti Yudhoyono dan Sylviana Murni dalam debat kandidat menjadi faktor internal yang mengurangi dukungan, dan isu seputar dugaan korupsi yang melanda Sylviana Murni menjadi faktor seputar kandidat yang turut mendegradasi peluangnya masuk ke putaran kedua pilkada.
Dalam kondisi persaingan di antara tiga kandidat, suara cenderung melimpah ke bawah (underdog effect), tetapi bisa juga lari ke golput. Yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta memang adalah limpahan suara yang besar ke pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang membuat keterpilihannya melampaui pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Sjaiful Hidayat. Proses hukum yang menimpa Basuki juga menjadi faktor internal yang turut menahan perolehan suara sehingga stagnan dan mudah dilalui pesaingnya.
Lalu bagaimana dengan potensi volatilitas pada dua kandidat di pilpres? Sejauh ini, calon wakil presiden (cawapres) menjadi penentu pergerakan dalam simpang pilihan. Pada Jokowi, penunjukan Ma’ruf Amin sementara ini menjadi faktor internal pasangan yang cenderung melemahkan suara untuk Jokowi.
Berdasarkan survei sejumlah lembaga tersebut di atas, kehadiran Ma’ruf Amin mendampingi Jokowi justru membuat terjadinya selisih elektabilitas yang cenderung merugikan. Pilihan publik jika kandidat tanpa pasangan, misalnya, menurut survei LSI, Jokowi akan mendapatkan 53,6 persen suara. Namun, ketika dipasangkan dengan Ma’ruf Amin, mereka akan dipilih oleh 52,2 persen suara. Artinya, untuk Jokowi ada sedikit pelemahan popularitas karena faktor cawapres. Pada survei Alvara penurunannya lebih kentara, dari 57,3 persen (jika Jokowi tanpa cawapres) menjadi 53,6 persen ketika berpasangan.
Namun, apakah pelemahan tersebut akan berdampak besar pada tren penurunan selanjutnya, bahkan hingga ke hari pemilu? Sedikit penurunan popularitas mungkin memang tak terhindarkan. Artinya, ada sekitar 1,4 persen yang kemudian lari dari Jokowi. Gejala ini dapat terbaca dari terbelahnya kelompok non Muslim yang sebelumnya demikian solid mendukung Jokowi dalam Pemilu 2014 kini terbagi ke sisi Prabowo. Walaupun dukungan dari kelompok ini kepada figur Jokowi, menurut LSI, tercatat 70,3 persen, yang memilih pasangan Jokowi-Amin hanya 51,5 persen. Pendukung Mahfud MD yang kecewa dengan tidak dipilihnya tokoh asal Madura ini juga sangat mungkin beralih dukungan ke Prabowo atau golput.
Namun, terkadang politik adalah persoalan fondasi dukungan. Representasi kaum Nahdlatul Ulama (NU), yang ada pada diri Ma’ruf Amin merupakan modal sosial yang dapat membuat posisi keterpilihan Jokowi kian kokoh, menjadi benteng untuk menghadapi isu-isu seputar agama yang sangat rentan dimainkan. Maka, dalam kacamata ini, lebih menguntungkan popularitas Jokowi sedikit terkikis, tetapi kemudian mendapatkan fondasi dukungan yang lebih kokoh daripada melambung tinggi tetapi mudah tergoyahkan dalam beberapa bulan ke depan.
Kehadiran cawapres Jokowi, sejauh ini, lebih berpengaruh pada membesarnya massa mengambang daripada membesarnya dukungan untuk Prabowo. Pada survei Y-Publica, misalnya, setelah berpasangan, suara untuk Jokowi berkurang 1,2 persen dan pada Prabowo menurun 0,2 persen, sebaliknya suara mengambang meningkat menjadi 1,4 persen.
Situasi berbeda tampak pada Prabowo Subianto. Elektabilitas Prabowo terlihat lebih stabil, ada atau tidak ada kehadiran Sandiaga Uno mendampinginya, setidaknya hingga akhir Agustus lalu. Memang pada survei LSI ada kecenderungan membesarnya elektabilitas Prabowo ketika berpasangan, tetapi belum signifikan. Jika tanpa pasangannya, menurut survei tersebut, Prabowo mendapat dukungan 28,8 persen suara, tetapi pada pilihan berpasangan Prabowo-Sandi mendapatkan 29,5 persen. Kecenderungan sebaliknya malah terlihat pada survei Alvara dan Y-Publica yang cenderung berkurang walaupun belum signifikan.
Perluasan identitas
Selain isu faktor internal kandidat dan isu-isu seputar kandidat, perubahan yang sejauh ini paling sulit diukur adalah eskalasi perluasan identitas baru yang dalam dua tahun terakhir menjadi faktor penentu kemenangan kandidat.
Apa yang terjadi pada anomali hasil pemilu dan pilkada di sejumlah wilayah belakangan ini dapat dibaca sebagai kelemahan ilmu sosial mengukur perluasan dan kecepatan multiplikasi identitas. Calon-calon yang dalam prediksi hasil survei berada di bawah tetapi memiliki potensi berbasis perlawanan yang gigih dapat menggali peluang lebih banyak dari calon lainnya, dengan mengamplifikasi identitas menjadi mode kepribadian baru.
Dalam era post-truth yang ditandai oleh melemahnya kepercayaan kepada kemampuan fakta-fakta empiris mendeduksi kepribadian dan memandang fakta sebagai alat pembenaran atas kepentingan pribadi semata selalu dibutuhkan tafsir atas kebenaran. Siapa calon yang mampu memproduksi makna-makna baru menjadi susun bangun identitas politik dapat memperoleh pencapaian yang tak terduga.
Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo hingga memenangi Pemilu 2014 adalah sosok yang didukung oleh basis massa yang haus akan dunia baru pemerintahan. Produksi makna model kepemimpinan Jokowi menjadi identitas yang dengan cepat dan luas disandang menjadi kekuatan politik yang masif. Pergerakannya diuntungkan oleh massa yang masih elastis.
Namun, dalam posisi tertingginya saat ini sebagai presiden, cukup sulit bagi Jokowi untuk melebarkan sayap dukungan lebih besar lagi ke basis massa lawan yang sudah sedemikian tidak elastis. Ruang gerak yang masih mungkin adalah pada massa mengambang yang masih ragu dengan pilihannya.
Gerakan yang terjadi pada massa mengambang akan sangat ditentukan bukan lagi oleh keberhasilan dan pencapaian Jokowi di pemerintahan, tetapi oleh kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul dalam enam bulan ke depan. Demikian juga sebaliknya, bisa sangat ditentukan oleh langkah blunder yang dilakukan Prabowo-Sandi dalam mengembangkan identitas massa.
Keberhasilan timnya menggarap identitas dengan tagar #2019GantiPresiden menjadi senjata yang sangat ampuh selama pilkada serentak kemarin hingga hari ini. Namun, blunder yang dilakukan dengan mengamplifikasi kebohongan Ratna Sarumpaet dapat mengerem laju dukungan dari massa mengambang ke pasangan ini untuk sementara waktu.
Masih tersisa banyak waktu mengubah nasib untuk mengubah prediksi survei yang dilansir saat ini. Memberikan feeding (asupan) yang tepat kepada massa yang selalu lapar dengan identitas baru akan menentukan hasil akhir perolehan suara. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)