Generasi Milenial, antara Bonus dan Beban Demografi
Dalam satu dekade terakhir, angka pengangguran terbuka di Indonesia didominasi oleh generasi milenial. Bayangan, kelompok milenial sebagai bagian dari bonus demografi tahun 2020-2030 bisa menjadi ancaman beban pembangunan tanpa antisipasi tepat oleh pemerintah.
Bonus demografi dialami suatu negara jika dua penduduk usia produktif berusia 15-64 tahun menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Merujuk pada publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, Indonesia sudah memasuki periode bonus demografi sejak tahun 2012. Indonesia juga diperkirakan akan mengalami puncak bonus demografi tahun 2028-2030.
Sebagian penduduk usia produktif tersebut masuk kategori yang kini dikenal dengan istilah generasi milenial. Secara umum, generasi milenial atau generasi Y merupakan angkatan yang lahir dalam rentang 1980-an hingga 2000-an atau tahun ini berusia lebih kurang 18-38 tahun.
Data BPS membagi tenaga kerja dari rentang usia termuda 15-19 tahun, 20-24 tahun, kemudian rentang usia konstan berjarak 5 tahun, hingga kelompok usia tertua di atas 60 tahun. Jika mengacu pada pengelompokan dari BPS, lebih kurang bisa digambarkan profil kaum milenial yang masuk dalam rentang usia produktif 15-39 tahun.
Lantas, seperti apa gambaran angkatan kerja dari generasi milenial saat ini? Sebagai gambaran umum, jumlah angkatan kerja di Indonesia tahun ini tercatat sekitar 134 juta orang. Dari jumlah tersebut, 95 persen (127 juta orang) berstatus bekerja.
Penduduk yang bekerja dari kelompok milenial mencapai 6,5 juta orang atau 51 persen dari total penduduk yang berstatus bekerja. Sementara 49 persen lainnya berusia 40 tahun ke atas. Generasi milenial secara kuantitas dan proporsi masih lebih dominan dalam peta tenaga kerja usia produktif di Indonesia.
Sementara itu, jumlah penduduk berstatus pengangguran terbuka tahun ini tercatat sekitar 6,9 juta orang atau 5 persen dari total angkatan kerja. Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang tercatat sama sekali tidak mempunyai pekerjaan.
Ironisnya, pengangguran terbuka di kelompok milenial justru terhitung tinggi. Jumlah penganggur milenial mencapai lebih kurang 5,8 juta orang atau sekitar 85 persen dari seluruh pengangguran terbuka.
Dibandingkan dengan sejumlah negara lain di ASEAN, angka pengangguran muda Indonesia terhitung masih yang tinggi. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, angka perkiraan pengangguran terbuka untuk golongan usia 15-24 tahun di Indonesia pada 2017 adalah tertinggi kedua setelah Brunei Darussalam (23,4 persen). Adapun angka pengangguran di Singapura dan Thailand paling kecil, yaitu 4,5 persen.
Profil pengangguran
Menelisik lebih jauh berdasarkan jenis kelamin, proporsi pengangguran terbuka antara kelompok milenial (15-39) dan non-milenial (40 ke atas) laki-laki adalah 47 persen berbanding 53 persen. Sementara pada kalangan perempuan proporsi pengangguran usia milenial adalah 46 persen berbanding kaum non-milenial perempuan 54 persen. Kondisi ini secara sederhana menggambarkan warga milenial laki-laki lebih banyak yang menganggur ketimbang warga milenial perempuan.
Selain itu, persentase kaum milenial perempuan yang menganggur juga menurun lebih banyak ketimbang kelompok milenial laki-laki.
Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata penurunan pengangguran perempuan muda sebesar 2,9 persen, sedangkan laki-laki turun sebesar 1,6 persen. Kondisi ini menunjukkan kemungkinan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Penurunan pengangguran perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki itu tidak terlepas dari kesediaan perempuan untuk bekerja paruh waktu.
Penurunan pengangguran perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki itu tidak terlepas dari kesediaan perempuan untuk bekerja paruh waktu. Hal itu terungkap dalam ”Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017” yang dilakukan ILO. Menurut laporan itu, kaum muda perempuan yang secara sukarela bekerja paruh waktu sebesar 17,1 persen, sedangkan laki-laki hanya 13,3 persen.
Berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh, angka pengangguran terbuka generasi milenial (15-39 tahun) berpendidikan menengah atas/kejuruan dan pendidikan tinggi sekitar 55 persen dari total pengangguran terbuka. Itu berarti empat kali lipat dari angka pengangguran untuk yang berpendidikan rendah (13 persen).
Penyebab
Tingginya penganggur milenial di Indonesia saat ini tidak terlepas dari sejumlah persoalan, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Dari sisi penawaran, kenyataan bahwa perempuan semakin menunjukkan peran dalam ekonomi turut meramaikan dan memperketat pasar kerja.
Terkait penganggur berpendidikan tinggi, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Tidak sedikit dunia pendidikan yang masih bergerak dalam pendidikan menggunakan cara-cara lama, yakni sebatas memberikan bekal teori tanpa kemampuan praktik.
Tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Sementara dari sisi permintaan, kalangan dunia usaha dihadapkan pada tuntutan untuk mempekerjakan tenaga yang belum terampil dan berpengalaman. Tantangan pelaku usaha itu didukung oleh data BPS yang menunjukkan sekitar 70 persen dari penganggur usia muda (15-24 tahun) belum pernah bekerja sebelumnya.
Kini, dunia industri juga berhadapan dengan kemajuan teknologi informasi dan kecerdasan buatan. Kehadiran teknologi maju ini juga menjadikan cara kerja sebagian industri berubah dan lebih memerlukan sedikit tenaga kerja. Dalam ”Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017” dari ILO, dijelaskan salah satu penyebab pengangguran di Indonesia tidak terlepas dari kemunculan teknologi digital dan kecerdasan buatan.
Menurut laporan ILO itu, tenaga muda saat ini rentan terhadap perubahan pola kerja industri yang kian modern. Kemajuan teknologi dan mesin sedikit banyak mengancam pekerja muda. Digitalisasi mengurangi kebutuhan profesi tertentu pada 2017-2020, misalnya manajer administrasi, mekanik, operator radio, pengantar surat, pekerja pabrik manual, operator mesin jahit, dan operator perangkat komunikasi.
Jalan keluar
Meski demikian, perkembangan pesat teknologi pada sisi lain juga mempermudah dan membuka peluang munculnya pekerjaan-pekerjaan baru. Sebagai contoh, kini muncul profesi baru barista, bloger, big data analyst, cyber patrol, smart animator, crowdfunding specialist, social entrepreneur, dan operator drone.
Peluang pekerjaan baru itu pun perlahan mulai ditangkap oleh masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Sebagai contoh, maraknya penggunaan media sosial telah membuka sejumlah daerah yang dulu miskin kemudian maju dan dikenal sebagai obyek wisata baru. Salah satu contohnya adalah wisata air Umbul Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.
Bekas tempat pemandian tua yang tidak terurus di desa tersebut dirapikan, kemudian di dalam air ditaruh sofa, sepeda motor, kuda lumping, ikan, dan diberi kamera di dalam air. Pengunjung bisa berenang sambil berswafoto di dalam air.
Maraknya penggunaan media sosial telah membuka sejumlah daerah yang dulu miskin kemudian maju dan dikenal sebagai obyek wisata baru.
Tahun 2017, paling tidak pendapatan per kapita warga Ponggok berkisar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan. Dari sekitar 700 keluarga, lebih kurang 430 keluarga telah melakukan investasi Rp 5 juta untuk usaha pengelolaan obyek wisata. Dari investasi yang dikelola oleh badan usaha milik desa tersebut, setiap satu keluarga bisa menerima bagi hasil Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan. Pendapatan dari obyek wisata Umbul Ponggok dapat mencapai Rp 500 juta per bulan.
Salah satu pekerjaan baru yang terbuka dengan adanya teknologi adalah tumbuhnya wirausaha baru. Keberadaan teknologi mempertemukan orang yang memiliki gagasan usaha dengan orang yang memiliki modal. Lewat mekanisme ini, sekarang semakin marak investasi dengan model pendanaan usaha patungan (crowdfunding) atau dengan cara memberikan pinjaman usaha (peer-to-peer lending). Contohnya, laman iternak.id, crowde.co, atau igrow.asia adalah wirausaha baru yang tumbuh di bidang pertanian dan peternakan dengan memanfaatkan teknologi.
Pemerintah pun telah memulai cara-cara baru penciptaan lapangan kerja dengan melihat fenomena perkembangan teknologi. Contohnya, Kementerian Koperasi dan UKM dengan Kementerian Tenaga Kerja berbagi peran mengembangkan maraknya usaha kopi dengan melakukan pelatihan proses sangrai kopi kepada pelaku usaha kopi dan mulai membuka kelas pelatihan barista.
Meski demikian, inisiatif dari pemerintah pusat juga perlu, diikuti pemerintah di tingkat daerah dan dunia pendidikan. Sekolah-sekolah vokasi yang mencetak lulusan siap kerja perlu juga disinergikan dengan tumbuhnya peluang pekerjaan baru ke depan. Bagaimanapun, kolaborasi dengan berbagai pihak merupakan salah satu antisipasi dari pemerintah yang mutlak guna menjawab persoalan pengangguran di kalangan milenial. (LITBANG KOMPAS)