Menahan Laju Pemanasan Dunia
Pemanasan global kian membuat gerah penduduk dunia. Suhu panas melanda sejumlah wilayah pada tahun ini. Temperatur udara di kota Kamagaya, Jepang, pada awal September 2018 tercatat mencapai 41,1 derajat celsius. Tokyo untuk pertama kali juga mencatat rekor terpanas, 40 derajat celsius.
Gelombang panas juga menjangkau Amerika. Pada 6 Juli 2018, suhu udara di kota Chino mencapai 48,9 derajat celsius. Di Gurun Sahara, pada 5 Juli 2018 suhu tercatat mencapai 51,3 derajat celsius.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan tentang bahaya pemanasan global. Semua negara diminta berpartisipasi untuk mengubah rencana kerja terkait pertumbuhan ekonomi, politik, dan sosial dalam rangka menjaga kondisi iklim dunia agar pemanasan tidak kian membuat cemas warga dunia.
Hingga Juli 2018, lima parameter penentu kondisi pemanasan global semakin bertambah buruk. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) mencatat, kadar karbon dioksida, suhu global, tinggi muka air laut, massa lapisan es, hingga luas lautan es sangat memprihatinkan.
Massa lapisan es di seluruh dunia dilaporkan turun sebesar 127 gigaton. Hal ini sejalan dengan luasan lautan es yang turun 13,2 persen per dekade. Akibatnya, tinggi muka air laut naik 3,2 milimeter per tahun. Negara-negara yang berada di pesisir rentan terhadap kenaikan laut.
Kondisi atmosfer pun turut menurun kualitasnya dengan peningkatan kadar karbon dioksida yang mencapai 408 ppm. Efek yang timbul adalah munculnya anomali respons atmosfer yang mengatur cuaca dan iklim di Bumi. Sistem atmosfer Bumi juga terancam akibat kenaikan suhu sebesar 0,9 derajat celsius.
PBB juga mengingatkan prediksi kenaikan suhu dunia dapat mencapai 1,5 derajat celsius dan menjadi rambu bagi setiap negara-negara di dunia untuk melakukan tindakan preventif. Perlu komitmen tinggi dan kerja sama antarnegara untuk mengatasi perubahan iklim dunia.
Koran The Guardian mengangkat kekhawatiran PBB tersebut dalam ulasan ”Global Warming Must Not Exceed 1,5C, Landmark UN Report Warns” dengan mengulas laporan UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
The Guardian bahkan menekankan diksi transformasi radikal sebagai gambaran aksi yang harus dilakukan untuk mencegah pemanasan global. Perubahan besar pada penggunaan energi, transportasi, dan sistem lain diperlukan untuk mengatasi kenaikan suhu Bumi. Target dari transformasi tersebut merujuk pada Kesepakatan Paris 2015.
Kesepakatan Paris 2015 merupakan pengganti Protokol Kyoto. Dalam kesepakatan ini, semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang, diharapkan berpartisipasi untuk mengubah program pembangunannya dalam rangka menjaga kondisi iklim dunia. Kesepakatan ini menghasilkan persetujuan 196 negara peserta untuk menahan kenaikan suhu Bumi maksimal 2 derajat celsius.
Emisi karbon
Laporan IPCC yang digunakan dalam kesepakatan tersebut menyatakan, sampai pada satu dekade ke depan, negara-negara di dunia harus berusaha menurunkan emisi karbon yang saat ini jumlahnya mencapai 40 miliar ton per tahun. Pengurangan emisi karbon dalam jangka waktu tersebut harus mencapai 1 miliar ton per tahun.
Jika aksi tersebut dapat dilakukan, kenaikan suhu Bumi dipastikan tidak akan mencapai 1,5 derajat celsius. Selain itu, dalam laporan tersebut, tercantum ajakan untuk menghentikan pemakaian batubara sebagai sumber energi pada 2050.
Dalam Kesepakatan Paris, diperkirakan suhu Bumi akan naik 3 derajat celsius pada akhir abad ke-21. Melihat kondisi saat ini, IPCC menegaskan, perubahan iklim dunia sudah terjadi. Sekarang, suhu Bumi 1 derajat lebih hangat dibandingkan masa praindustri. Menyusul beberapa bencana alam seperti angin topan dahsyat di Amerika Serikat sebagai dampaknya. Di bagian dunia lain, seperti Cape Town dan Arktik, terdampak kekeringan dan kebakaran hutan.
Laporan IPCC menggarisbawahi bahwa kenaikan pemanasan global jauh lebih cepat melampaui upaya pencegahannya. Dengan demikian, diperlukan upaya pencegahan menyangkut kenaikan 0,5 derajat celsius. Jika kenaikan suhu Bumi dapat dipertahankan pada 1,5 derajat celsius atau lebih rendah dari target 2 derajat celsius berdasarkan Kesepakatan Paris, manfaat bagi dunia akan lebih besar (Kompas, 9/10/2018).
Sementara itu, berdasarkan laporan UNFCCC Global Carbon Project pada Juni 2017, total emisi karbon dioksida pada 2016 mencapai 40,83 miliar ton. Sepuluh negara yang paling berkontribusi terhadap emisi karbon dunia adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Kanada. China dan Amerika Serikat menyumbang lebih dari 5 miliar ton emisi karbon. Dalam kurun waktu 2005-2017, emisi karbon dioksida di dunia meningkat 21 persen.
Dampak yang ditimbulkan dari kenaikan suhu dunia cukup serius. Harian The Washington Post dalam berita utamanya ”Climate Change Warning is Dire” menuliskan, penekanan emisi karbon secepatnya dapat menghentikan dampak buruk pemanasan global. Perubahan 0,5 derajat celsius berdampak pada kerusakan karang dan tekanan di wilayah Arktik.
Kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2 derajat celsius dapat menyebabkan kenaikan muka air laut. Selain itu, 70-90 persen terumbu karang tropis akan rusak pada kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dan 99 persen lebih akan lenyap jika suhu Bumi naik 2 derajat celsius. Kelangkaan pangan juga akan menyerang negara-negara miskin akibat pemanasan global.
Komitmen bersama
Keprihatinan mendasar terkait masa depan Bumi adalah belum jelasnya komitmen negara-negara di dunia terhadap Kesepakatan Paris. Hasil penelitian ilmiah tentang perubahan iklim dunia dan kesepakatan antarnegara di Paris tiga tahun lalu tidak ditindaklanjuti oleh beberapa negara peserta pertemuan.
Koran The Guardian menyoroti, gap antara hasil penelitian ilmiah dan politik pemerintah sangat jauh. Kebijakan yang diambil negara-negara cenderung mengabaikan perubahan situasi alam.
Dalam berita utamanya, The Guardian mencontohkan tindakan Presiden Donald Trump untuk keluar dari Kesepakatan Paris meski Amerika Serikat menjadi sumber emisi terbesar dunia. Tindakan yang sama juga dilakukan Jair Bolsonaro yang memperoleh kemenangan pada putaran pertama pemilihan Presiden Brasil. Ia malah menyatakan akan membuka hutan hujan Amazon untuk digunakan sebagai kegiatan agribisnis.
Sebelumnya, dalam Protokol Kyoto yang juga membahas isu perubahan iklim dunia, beberapa negara anggota kurang mendukung kesepakatan ini. Bahkan, Jepang, Kanada, dan Rusia keluar dari kesepakatan tersebut. Keengganan negara-negara tersebut dalam menjaga iklim dunia karena Amerika Serikat dan China tidak mengambil komitmen dalam menyikapi isu perubahan iklim global.
Kesatuan negara-negara sebagai bagian dari Bumi perlu diterapkan dalam mengantisipasi perubahan iklim global. Sebabnya, dampak serius yang ditimbulkan tidak hanya menyerang satu atau dua negara. Pencegahan yang bisa dilakukan antara lain menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tenaga surya dan angin dari 24 persen menjadi 50-60 persen dapat menekan emisi karbon dalam kurun waktu 10 tahun. Penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage dalam pembangkit energi batubara dan gas dapat menjadi solusi lain mencegah emisi karbon yang makin menyesakkan Bumi. (DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS)