Bara Konflik AS-China
Di luar perang dagang, bangunan relasi antara Amerika Serikat dan China sebenarnya telah lama diselimuti konflik. Irisan konflik itu terjadi antara lain pada sengketa Laut China Selatan dan dukungan kepada Taiwan. Tidak heran, jika tepercik satu insiden, bara perseteruan cepat merambat ke berbagai aspek.
Salah satu pemantik konflik China-AS dalam catatan Kompas adalah perbedaan sikap terhadap Taiwan. Setelah Partai Nasionalis China (Kuomintang) kalah dalam perebutan pengaruh di China dengan Partai Komunis China (PKC) pimpinan Mao Zedong pada 1949, pendukung kaum Nasionalis melarikan diri ke Pulau Taiwan. Mereka melanjutkan pemerintahan Republik China di Taiwan.
Pada tahun 1954, China terang-terangan menyatakan akan merebut Taiwan dan pulau-pulau lain yang diduduki oleh kaum Kuomintang. Sikap agresif China ini dipandang AS sebagai sangat membahayakan negara-negara lain di kawasan tersebut.
Washington pun kemudian memutuskan untuk mengadakan pembendungan terhadap perluasan pengaruh komunis China dengan menempatkan Taiwan sebagai posisi kunci. Desember 1954, AS-Taiwan menandatangani perjanjian keamanan bilateral dalam rangka memperkuat rantai pembendungan komunisme. Militer AS kemudian menempatkan pasukannya dalam jumlah yang cukup besar di Taiwan dan menjadikan pulau ini sebagai basis militer.
Perseteruan China dengan Uni Soviet membuat AS membuka diri terhadap Beijing. Tahun 1972, Presiden AS Richard Nixon berkunjung ke daratan China dan menandatangani Komunike Shanghai. Beijing mengajukan syarat bagi pemulihan hubungan diplomatik dengan Washington. Syarat tersebut adalah diputuskannya hubungan diplomatik AS-Taiwan. Washington-Beijing kemudian membuka kedutaan besar pada 1 Januari 1979 dengan mengorbankan Taiwan (Kompas 10/12/1992).
Kini, pasang surut hubungan China-AS diuji sejumlah konflik. Perseteruan pertama adalah perang dagang. Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan tiga gelombang tarif pada sekitar 40 persen dari total barang-barang ekspor China ke AS yang nilainya 500 miliar dollar AS. China tidak tinggal diam dan menanggapinya dengan penerapan tarif serupa terhadap sekitar 110 miliar dollar AS barang-barang ekspor AS ke negara itu.
Kini, pasang surut hubungan China-AS diuji sejumlah konflik. Perseteruan pertama adalah perang dagang.
Sanksi AS terhadap China merupakan konflik kedua di tengah konflik perdagangan di antara kedua negara. AS berang karena China membeli pesawat tempur Su-35 pada 2017 dan peralatan sistem rudal S-400 pada tahun ini. AS menganggap pembelian senjata dari Rosoboronexport Rusia itu melanggar undang-undang sanksi embargo. Undang-undang yang dikeluarkan tahun lalu tersebut diberikan kepada Rusia karena diduga ikut campur dalam pemilu presiden AS.
China menolak sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS. China kemudian memanggil Duta Besar AS di Beijing dan membatalkan pembicaraan militer dengan AS. Pembatalan itu sebagai protes atas sanksi yang dijatuhkan Washington terhadap badan militer China yang membeli jet-jet tempur dan sistem penangkal rudal dari Rusia.
Konflik berlanjut di isu Taiwan. China mengirimkan protes keras ke AS karena tindakan provokasi Amerika yang melakukan transaksi persenjataan baru dengan Taiwan. AS dituding memperkeruh konflik China-Taiwan dengan menjual suku cadang pesawat jet F-16 dan pesawat militer lainnya senilai 330 juta dollar AS ke Taiwan. Selama ini, China menganggap Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya.
Konflik terbaru terjadi di seputar Laut China Selatan. China kembali memprotes keras militer AS yang menerbangkan pesawat pengebom B-52 di Laut China Selatan. Tidak lama berselang, dua kapal perang milik kedua negara saling berdekatan di Laut China Selatan, Minggu (30/9/2018).
Beijing menuding kapal perusak AS, USS Decatur, sengaja berlayar terlalu dekat dengan pulau-pulau di Laut China Selatan yang diklaim milik Beijing. Manuver USS Decatur dinyatakan sebagai ancaman terhadap kedaulatan China. Sementara Washington menuduh Beijing melakukan militerisasi laut untuk mendukung klaimnya di Laut China Selatan.
Sederet konflik di atas menambah berat upaya rekonsiliasi kedua raksasa ekonomi dunia itu. Kunjungan kenegaraan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Beijing pada Senin (8/10/18) juga diwarnai serpihan-serpihan ketegangan. Delegasi kedua negara malah saling menyalahkan terkait semakin memanasnya hubungan diplomasi AS-China. China mendesak AS untuk menghentikan langkah-langkah yang dianggap mengganggu kepentingan nasional mereka.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi menuding AS sebagai pemicu perang dagang dan menggoyang keamanan di Selat Taiwan. Ia menegaskan, China siap untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi kedaulatan, keamanan, dan kepentingan ekonomi negaranya.
Wang Yi menyampaikan beberapa langkah AS terkait Taiwan yang membuat China berang. China menganggap AS tidak mematuhi prinsip one-China policy dan three China-US joint communique dengan mengadakan hubungan militer dengan Taiwan serta menjual senjata ke pulau itu.
Wang Yi juga menegaskan, Washington harus mengambil tindakan konkret untuk menahan pasukan kemerdekaan Taiwan, menjunjung tinggi hubungan China-AS, serta perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Ia juga menambahkan, perang dagang bukanlah solusi untuk menyelesaikan perbedaan prinsip dari AS dan China.
Masalah keamanan ini tentu membuat hubungan China-AS semakin kritis. Namun, demi menjaga hubungan keduanya, China siap menyelesaikan sengketa melalui jalur negosiasi. China berharap, AS akan membuat pilihan yang sama dan bersedia menghadapi perbedaan dengan prinsip saling menghormati dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Perang dagang bukanlah solusi untuk menyelesaikan perbedaan prinsip dari AS dan China.
Pompeo menanggapi kritik pedas Wang dengan mengatakan AS tidak berusaha menghalangi pertumbuhan ekonomi China meskipun ada perbedaan prinsip yang mendasar dalam beberapa isu. Ia juga menegaskan kembali, AS tetap menjunjung prinsip one-China policy, dengan mengatakan kedua pihak harus memperkuat komunikasi, membangun rasa saling percaya, dan mengintensifkan kerja sama.
Ketegangan mulai mencair ketika bertukar pandangan dengan para diplomat China tentang perjalanannya ke Korea Utara dan menyampaikan penghargaan atas posisi dan upaya konsisten China dalam denuklirisasi Semenanjung Korea. Pompeo juga menyatakan harapan AS untuk terus memperkuat kerja sama dengan China dalam masalah denuklirisasi ini.
Dalam hal denuklirisasi, Wang mengatakan, China mendukung dialog langsung antara AS dan Korea Utara serta akan memainkan peran aktif atas dasar saling menghormati dan mempertimbangkan masalah-masalah yang terkait.
Koran The Wall Street Journal mengungkapkan kekhawatiran renggangnya hubungan diplomatik AS-China. Konflik kedua negara ini berpotensi menimbulkan risiko besar ke masalah ekonomi, keamanan dunia, dan masa depan penyelesaian denuklirisasi Korea Utara.
Harian tersebut juga mengingatkan bahwa ketegangan yang meliputi pertemuan tingkat tinggi AS-China kali ini menjadi balasan dari kritik yang dilontarkan Wakil Presiden AS Mike Pence dalam pidatonya pada pekan lalu.
Mike Pence menuding China telah mengganggu kepentingan-kepentingan AS, termasuk keterlibatan mereka dalam pemilihan paruh tengah AS yang akan dilaksanakan pada November 2018. Sang Wakil Presiden juga menambahkan, hal itulah yang menjadi alasan mengapa AS mengubah haluannya dalam berhubungan dengan China, dari persahabatan menjadi konfrontasi.
Sebenarnya, kunjungan Menlu Pompeo ke Beijing merupakan bagian dari rangkaian agenda kunjungannya ke negara-negara di Asia. Sebelumnya, Pompeo bertandang ke Tokyo, Pyongyang, dan Seoul.
Dalam rangkaian kunjungannya ini, Pompeo fokus untuk mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi AS-Korea Utara dan percepatan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Berbeda dengan kunjungan Pompeo sebelumnya di Beijing, kali ini tidak terlihat kehadiran dari Presiden China Xi Jinping.
Hal ini menjadi janggal karena sangat tidak biasa bagi menteri luar negeri AS yang berkunjung untuk tidak bertemu dengan presiden negara tersebut. Tampaknya, bara konflik kedua negara belum akan padam dalam waktu-waktu dekat ini. Semakin meluasnya dimensi konflik menjadi tantangan kedua negara dalam mengurai satu per satu perselisihan yang terjadi. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)