Meneropong Transformasi Struktural Ekonomi Indonesia
Oleh
Anung Wendyartaka
·5 menit baca
[caption id="attachment_8870469" align="aligncenter" width="500"]J Warga memancing di kolam raksasa yang terbentuk di sekitar gedung yang terbengkalai karena terhenti pembangunannya di Kelurahan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (5/4/2011). Sejumlah gedung yang terhenti pembangunannya sejak krisis moneter tahun 1998 kini berubah menjadi kolam besar dan dimanfaatkan warga untuk tempat pemancingan gratis.
[/caption]
Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 membawa perubahan pada struktur ekonomi Indonesia. Perlahan, roda perekonomian digerakkan oleh sektor sekunder dengan bangkitnya sejumlah industri pengolahan. Namun, transformasi itu melambat setelah krisis ekonomi 2008 dan mengarah pada deindustrialisasi.
Sepuluh tahun setelah krisis ekonomi 1998 yang dipicu oleh krisis moneter dan diikuti runtuhnya rezim Orde Baru setelah berkuasa selama 32 tahun, Indonesia kembali mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi 2008 di Tanah Air merupakan imbas dari krisis ekonomi global.
Krisis tersebut bermula dari krisis ekonomi di Amerika Serikat yang diwarnai dengan jatuhnya lembaga-lembaga keuangan besar, seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs, karena kasus subprime mortgage.
Setelah krisis 2008 ini, struktur ekonomi Indonesia pun kembali berubah dari mengandalkan sektor industri pengolahan ke sektor jasa yang lebih menjanjikan. Disrupsi teknologi berperan dalam pergeseran atau transformasi struktural kedua ini.
Dalam rentang 30-an tahun, Indonesia mengalami perjalanan panjang bertransformasi dari negara yang berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah. PDB per kapita Indonesia pada awal Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I sebesar 772 dollar AS (1970) dan telah meningkat menjadi 3.974 dollar AS pada 2016.
Perjalanan panjang arah perekonomian negara dimulai dari amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang diimplimentasikan oleh pemerintah Orde Baru saat itu melalui Repelita. Rencana pembangunan jangka panjang pertama untuk 25 tahun (1969-1994) dibagi dalam lima tahap, yakni dari Pelita I hingga Pelita V.
Setiap Pelita memuat arah perekonomian yang berbasis pembangunan sektor pertanian. Baru pada akhir Pelita V, pembangunan mulai menitikberatkan pada sektor pertanian sekaligus industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Memasuki repelita kedua, pada Pelita VI (1 April 1994-31 Maret 1999), titik berat pembangunan masih pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Setelah krisis moneter 1997-1998, transformasi struktural perekonomian negara dari perekonomian berbasis pertanian menjadi perekonomian yang mengedepankan sektor industri dan produk ekspor semakin menguat.
Namun, datangnya krisis ekenomi kedua pada 2008 menyebabkan transformasi melambat. Sebelum Indonesia berhasil menjadi negara industri, badai krisis justru membawa perubahan yang ditandai dengan deindustrialisasi dan menguatnya sektor jasa (tersier).
Transformasi pertama
Transformasi struktural, menurut Herrendorf, Rogerson, dan Valentinyi (2011), digambarkan sebagai relokasi sumber daya pada tiga sektor utama ekonomi, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Ciri utama dari transformasi struktural adalah meningkatnya konstribusi sektor industri dan jasa diikuti dengan penurunan konstribusi sektor pertanian pada PDB.
Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada 1990 proporsi pertanian sudah hampir 40 persen dari total PDB Indonesia. Adapun sektor industri hanya berkontribusi hampir setengahnya. Namun, pada 1997 atau sebelum krisis ekonomi, proporsi manufaktur sudah mencapai angka 26,7 persen.
Setelah krisis, secara perlahan sektor industri memberi kontribusi di atas 26 persen, bahkan mencapai 30 persen pada 2001. Hingga 2008, kontribusi sektor industri stabil di kisaran 27-28 persen. Sementara proporsi sektor pertanian di PDB dalam kurun 1990-2017 terus menurun hingga tinggal 13,14 persen.
Hal ini memperlihatkan secara umum transformasi struktural dari pertanian ke industri sudah terjadi di negeri ini. Meski demikian, menurut United Nations Industrial Development Organizations (Unido), Indonesia tidak pernah menjadi negara industri (2002). Hanya negara semi-industri karena beberapa syarat sebagai negara industri tidak terpenuhi.
Bahkan, pada 2002 dari segi industri Indonesia hanya menempati peringkat ke-38. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia berada di bawah Malaysia (15), Thailand (23), dan Filipina (25).
Meski kontribusi sektor industri dapat meningkat hingga 2008, setelah krisis kondisinya terus menurun. Bank Dunia pernah melansir bahwa dalam pergumulan industri antarbangsa, daya saing Indonesia memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi terjadi peningkatan daya saing komoditas industri Indonesia di pasar dunia.
Namun, di sisi lain industri di dalam negeri banyak yang gulung tikar (Bank Dunia, 2008). Setelah krisis 2018, kontribusi sektor industri menurun meski penurunannya tidak sedrastis sektor pertanian. Pada 2017, kontribusi sektor industri sebesar 20,16 persen di atas kontribusi sektor pertanian yang hanya 13,14 persen.
Transformasi kedua
Deindustrialisasi dialami Indonesia setelah krisis 2008. Secara umum, definisi deindustrialisasi adalah kemunduran sektor industri di suatu negara yang berlangsung secara berkelanjutan. Mengambil definisi dari Rowthon and Coutts (2004), deindustrialisasi adalah penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian nasional atau penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.
Ciri deindustrialisasi ini antara lain dapat dilihat dari menurunnya tingkat produksi, tingginya ekspor barang primer (komoditas sumber daya alam) tanpa adanya nilai tambah, dan lonjakan produk impor untuk produk yang diproduksi di dalam negeri. Beralihnya produsen menjadi pedagang karena risiko usaha yang lebih kecil juga menunjukkan menurunnya gairah berproduksi.
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Masih berlangsungnya praktik ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan naiknya biaya produksi menjadi salah satu penyebab.
Penyebab lain adalah menurunnya sumber pembiayaan berupa kredit perbankan ke sektor industri, keterbatasan inovasi, keterbatasan infrastruktur, atau keterbatasan bahan baku dan bahan penolong. Kebijakan yang berubah-ubah yang menyebabkan ketidakpastian berusaha juga berperan.
Semua hal ini bisa menurunkan kemampuan bersaing. Dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan industri, sektor yang mengambil alih porsi terbesar dalam perekonomian adalah sektor tersier, terutama sektor jasa. Dalam kurun sepuluh tahun (2007-2017) kontribusi sektor tersier dalam perekonomian Indonesia meningkat dari 48,08 persen menjadi 58,46 persen.
Struktur penduduk kita pun pada 2017 sebagian besar (53,7 persen) bekerja di sektor tersier, terutama di bidang perdagangan. Jumlah ini meningkat dibandingkan sepuluh tahun lalu yang sebesar 42,9 persen.
Peningkatan ini sedikit banyak didorong oleh peluang ekonomi berbasis teknologi yang terbuka lebar. Inovasi-inovasi banyak tumbuh dari celah disrupsi teknologi. Istilahnya, yang menguasai teknologi akan menguasai ekonomi.
Proses bertransformasi ini tidak bisa dibendung karena kita terintegrasi dengan perekonomian global. Yang perlu dilakukan adalah memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk berkontribusi dalam pembangunan, terutama membuka lapangan kerja.
Membangkitkan kembali sektor industri berorientasi ekspor dengan memadukannya dengan inovasi teknologi menjadi opsi yang perlu diprioritaskan. Hal itu untuk membantu menghindarkan negara dari krisis baru di bidang finansial dan moneter yang kini mengintai. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)