Jangan Sepelekan Tidur
Apa yang kita rasakan setelah bangun tidur? Segar, bahagia, atau malah lelah? Sepertiga hidup kita dihabiskan untuk tidur, maka tidak bisa dianggap remeh. Banyak fakta menarik di balik aktivitas memejamkan mata ini.
Hal yang harus diperhatikan tidak hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas. Mulai dari perihal insomnia, pemasangan alarm, atau aktivitas sebelum berbaring yang bisa memengaruhi tidur kita.
Tidur memegang peranan penting pada tubuh manusia. Tidak hanya menyegarkan tubuh karena otot menjadi rileks, tetapi jaringan-jaringan dalam tubuh juga memperbaiki dirinya dan tumbuh selama kita tidur. Begitu juga dengan otak yang selama kita tidur memulihkan dirinya. Oleh karena itu, cukup tidur menjadi hal penting karena berpengaruh pada organ-organ dalam tubuh. Kurang tidur membuat kita lemas, lapar, dan mudah terserang flu.
Durasi waktu tidur berbeda, bergantung pada usia. Rekomendasi dari National Sleep Foundation, organisasi di Amerika Serikat yang berdedikasi meningkatkan kesehatan melalui pendidikan dan advokasi tentang tidur, menunjukkan, semakin berumur, semakin sedikit durasi tidur yang dibutuhkan. Sejak tahun 2015, saran mengenai durasi tidur bahkan dibagi menjadi tiga kategori, yakni direkomendasikan, bisa sesuai, dan tidak direkomendasikan.
Tidur cukup memang sebuah kemewahan bagi sejumlah orang karena susah dicapai, maka menjadi sesuatu yang berharga. Memenuhi jam tidur yang mumpuni terbukti baik untuk kesehatan. NSF menyatakan, kesehatan fisik dan mental akan semakin baik jika kita memperhatikan durasi tidur, misalnya memperbaiki otot, kemampuan otak untuk memutuskan sesuatu, dan meningkatkan imunitas.
Bayi yang baru lahir hingga berusia tiga bulan direkomendasikan tidur selama 14-17 jam, sedangkan lansia hanya 7-8 jam sehari. Berbeda dengan mereka yang masuk di usia produktif, durasi tidur yang dianjurkan selama 7-8 jam sehari. Tidak disarankan tidur kurang dari 6 jam sehari.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, lebih dari separuh responden tidur selama 4-6 jam sehari. Usia responden di atas 17 tahun berarti telah masuk usia dewasa. Untuk kategori usia itu, seharusnya dibutuhkan tidur selama 7-9 jam sehari. Dalam jajak ini terdapat 35,3 persen responden yang durasi tidurnya sesuai dengan rekomendasi tersebut.
Insomnia
Hasil jajak pendapat yang sama menunjukkan, lebih dari separuh responden mengaku sering sulit tidur pada malam hari. Jika dipilah, 31,5 persen menyatakan kadang-kadang dan 21,9 persen yang sering kesulitan tidur.
Sulit tidur pada malam hari tidak langsung berarti insomnia karena masih banyak gejala lainnya. Insomnia adalah penyakit tidur yang mengganggu kemampuan seseorang tidak hanya untuk tidur pada malam hari, tetapi juga kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Seseorang yang menderita insomnia akan sulit tidur atau malah terjaga pada malam hari, sulit berkonsentrasi, sering lupa, lelah, dan khawatir akan tidur.
Menurut NSF, penyebab insomnia bisa bermacam-macam, kebanyakan adalah karena depresi, cemas, gaya hidup, serta mengonsumi makanan dan minum tertentu. Mengenai depresi bisa saja penderita depresi menjadi insomnia atau malah sebaliknya. Sementara rasa cemas timbul dari rasa khawatir akan sesuatu secara berlebihan.
Para pekerja yang suka bekerja hingga larut malam juga harus waspada akan bahaya insomnia. Apalagi jadwal jam kerja yang berubah-ubah sehingga sulit memiliki jam tidur teratur. Bagi yang gemar melakukan balas dendam tidur sampai sore pada akhir pekan juga tidak baik karena akan membuat sulit tidur pada malam harinya.
Mengonsumi makanan berat menjelang waktu tidur juga bisa mengakibatkan insomnia. Untuk minuman, alkohol dan kafein adalah musuh utama. Kafein memiliki kandungan yang dapat meningkatkan detak jantung dan mengurangi rasa kantuk. Oleh karena itu, jangan meminum kopi, misalnya pada sore atau malam hari yang malah menyulitkan untuk beristirahat malamnya.
Ada yang sulit tidur, ada juga yang sulit bangun dari tidur sehingga bergantung pada jam weker/pengingat waktu sepanjang hari. Padahal, tubuh memiliki jamnya sendiri yang tahu kapan waktu yang tepat untuk bangun dan tidur.
Seharusnya kita tidak lagi memerlukan jam weker karena jam biologis sudah ada di diri masing-masing. Cara yang harus dilakukan adalah bangun dan tidur setiap hari pada jam yang sama, maka tubuh akan mendapat polanya.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari separuh responden tidak pernah menggunakan pengingat waktu untuk bangun pada pagi hari. Adapun 40,4 responden mengaku menggunakan jam weker.
Jika dibandingkan berdasarkan kategori usia, lebih dari tiga perempat responden yang berusia 56 tahun ke atas tidak pernah memanfaatkan jam weker untuk bisa bangun tidur. Sedangkan 40 persen responden yang berusia antara 17 sampai 35 tahun menggunakan jam weker sebagai alat bantu bangun tidur.
Jam weker kini bermacam-macam bentuknya seiring dengan kemajuan jaman. Jika dulu hanya berupa jam yang harus dimatikan, kini bisa menggunakan jam di telepon pintar yang dapat diatur pengulangan tiap berapa menit sekali.
Kini bahkan terdapat aplikasi yang dapat mengetahui pola tidur kita dan membangunkan pada saat fase tidur ringan sehingga tidak berasa dibangunkan oleh jam weker.
Aktivitas sebelum tidur
Aktivitas dengan layar menjadi yang dipilih lebih dari separuh responden sebelum tidur. Sebanyak 45,2 persen mengaku menonton televisi dan 18,9 persen bermain gawai. Padahal, cahaya dari perangkat elektronik dapat mengganggu ritme tubuh sehari-hari dan menunda tidur lebih lama.
NFS menjelaskan, sinar biru dari televisi dan telepon pintar mengganggu kinerja otak yang tenang sebelum tidur. Satu jam sebelum pergi tidur dianjurkan mematikan perangkat elektronik dan menggantinya dengan kegiatan seperti membaca, mendengarkan musik, atau berendam yang membuat rileks sehingga kualitas tidur bisa lebih baik.
Jika dibandingkan berdasarkan kategori usia terdapat perbedaan kegiatan sebelum tidur yang dilakukan responden. Responden yang berusia 17-35 tahun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain telepon sebelum tidur.
Terang saja, karena mereka kebanyakan adalah digital native atau dengan kata lain tumbuh di era digital. Adapun mereka yang berusia di atas 36 tahun lebih banyak yang menonton televisi. Bahkan hanya 2,9 persen responden berusia 56 tahun ke atas yang bermain telepon.
Dikutip dari laman The New York Times, diketahui bahwa anak-anak lebih sensitif terhadap cahaya sehingga anak yang terpapar cahaya terang sebelum jam tidur dapat merusak jam biologisnya. Orangtua disarankan menggunakan penerangan yang agak redup pada saat menjelang jam tidur, seperti lampu lantai.
Ternyata tidur bukanlah kegiatan yang bisa dianggap sepele karena berdampak besar bagi kesehatan. Perhatikan kualitas dan kuantitas tidur kita karena nikmatnya istirahat sungguh berharga dibandingkan rasa sakit yang menyiksa nanti. (LITBANG KOMPAS/IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA)