Satu-satunya wilayah yang menghubungkan Inggris dengan Uni Eropa adalah Irlandia Utara. Terbentang 500 km panjang perbatasan di wilayah Irlandia Utara yang menghubungkan Inggris dengan negara-negara tetangganya yang tergabung dalam Uni Eropa. Setiap hari, tidak kurang 30 ribu orang melewati perbatasan dengan 400 titik jalan lintas tersebut dengan berbagai keperluan, terutama untuk bekerja.
Irlandia Utara termasuk wilayah Inggris Raya yang terletak di pulau Irlandia. Wilayahnya berbatasan darat dengan Republik Irlandia, yang sejak 1922 telah memisahkan diri dari Inggris Raya. Kesepakatan perdamaian Irlandia Utara pada 1998 mengakhiri lebih dari tiga dekade konflik sektarian.
Konflik terjadi antara kubu yang ingin bersatu dengan Irlandia dan kubu yang ingin Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Inggris. Lebih dari 3.600 orang tewas dalam konflik tersebut. Salah satu poin penting dalam Kesepakatan Damai Jumat Agung pada 1998, Inggris akan menghapus kehadiran tentara dan pos-pos militer di wilayah perbatasan Irlandia Utara-Republik Irlandia.
Isu perbatasan Irlandia Utara mengemuka setelah pada 29 Maret 2017, Inggris secara resmi menyatakan keluar dari Uni Eropa. Saat Inggris menjadi bagian Uni Eropa, persoalan ini tidak menjadi masalah. Dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit mengancam perekonomian Irlandia Utara.
Wilayah tersebut dapat terisolasi dari tetangganya, Irlandia, yang anggota Uni Eropa. Perdagangan lintas perbatasan berpotensi anjlok. Pemeriksaan lalu lintas manusia dan barang di perbatasan Republik Irlandia-Irlandia Utara bisa diterapkan secara ketat.
Berbagai cara penyelesaian masalah perbatasan Irlandia Utara menjadi diskusi alot antara Inggris dan Uni Eropa. Beberapa gagasan muncul, seperti adanya semacam backstop atau penyokong, di mana Irlandia Utara tetap memiliki akses terhadap arus barang dari Uni Eropa.
Ide lain adalah mengakomodasi aturan perdagangan tanpa friksi (frictionless trade) di seluruh perbatasan Irlandia Utara dan aturan yang menghindari penerapan hard border atau perbatasan yang diawasi militer.
Alotnya perundingan karena dua sikap yang berbeda antara Uni Eropa dan Inggris. Uni Eropa menginginkan agar perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia tetap berlangsung seperti sekarang, yaitu tanpa penjagaan pos militer, sebagai hasil kesepakatan damai Jumat Agung pada tahun 1998.
Meskipun Inggris dan UE sudah sepakat bahwa perbatasan itu akan tetap ”terbuka”, Inggris menolak usulan yang ditawarkan UE, yaitu Irlandia Utara tetap masuk dalam bea cukai Uni Eropa. Alasannya Inggris tidak bisa memberlakukan dua jenis aturan bea cukai di negaranya.
Sebaliknya, usulan Inggris yang menginginkan hanya produk Inggris yang bergabung dengan bea cukai Eropa, tetapi tidak termasuk jasa, modal, dan orang, ditolak oleh UE karena tak sesuai dengan pilar kebijakan UE.
Belum ada titik temu dengan Uni Eropa (UE) membuat Perdana Menteri Inggris, Theresa May, bergerak cepat. Pada Minggu (13/10/2018), ia mengirim Menteri Brexit Inggris, Dominic Raab ke Brussles untuk bertemu dengan ketua juru runding UE, Michael Barnier. Selama sepekan ini, kedua pihak menggelar negosiasi tertutup untuk mengatasi perbedaan terkait perundingan Brexit.
Pertemuan ini menyusul reaksi keras kepada May dari para politisi konservatif Inggris terhadap proposal Irlandia Utara yang akan dirundingkan Inggris dengan UE.
Sebelumnya, pada Maret 2018, Inggris dan UE setuju bahwa perjanjian Brexit akan memuat protokol Irlandia. Protokol yang kemudian dikenal dengan nama backstop Irlandia Utara ini dibuat untuk menghindari adanya perbatasan fisik di Irlandia Utara dan mengamankan posisi di pasar tunggal UE, apa pun yang terjadi dalam negosiasi Brexit nantinya.
Namun, rencana ini ditentang oleh kalangan konservatif di Pemerintahan Inggris. Perlawanan keras atas proposal ini disampaikan oleh Boris Johnson, mantan Mneteri Luar Negeri Inggris, yang menyatakan bahwa usulan backstop adalah penghinaan UE terhadap konstitusi Inggris.
Selain Johnson, mantan Menteri Brexit Inggris, David Davis, juga menjadi tokoh yang menentang ide backstop. Ia bahkan menyerukan kepada kabinet untuk secara kolektif menolak rencana Perdana Menteri May. Seruan Davis pun ditanggapi oleh sembilan menteri yang menyatakan akan mempertimbangkan pengunduran diri mereka dari kabinet.
Selama beberapa bulan terakhir, posisi May tertekan karena ia menghadapi pemberontakan di dalam partainya, Partai Konservatif, yang terbelah antara kubu pro Brexit dan kubu pro Uni Eropa. Kubu pro Brexit menganggap proposal Brexit May terlalu lemah dan masih didikte oleh Brussels. Sedangkan kubu pro UE menganggap proposal May terlalu banyak mengadopsi kepentingan kubu pro Brexit yang menginginkan Inggris keluar sama sekali dari sistem perdagangan UE, termasuk pasar tunggal Eropa (Kompas 5/8/2018)
Tekanan lain juga datang dari partai ekstrem Irlandia Utara, Partai Unionis Demokratik (DUP), yang sebelumnya mendukung pemerintahan May, mengancam akan melawan Perdana Menteri jika tidak ada perjanjian yang menguntungkan mereka. DUP menghendaki Irlandia Utara untuk tetap berada di dalam pasar tunggal UE dan batas dengan Irlandia berbentuk peraturan tanpa adanya perbatasan secara fisik.
Situasi kisruh di Pemerintahan Inggris yang menjalar ke buntunya negosiasi antara UE dan Inggris membawa hawa pesimisme ke Brussels. Para pemimpin Uni Eropa kecewa bahwa sesaat sebelum KTT UE pada November 2018 nanti, belum ada kemajuan berarti dalam negosiasi. Padahal, KTT Khusus tersebut diharapkan menjadi momen di mana Inggris dan EU mengumumkan “Deklarasi Politik”.
Pihak Uni Eropa telah memperingatkan London bahwa KTT minggu ini akan menjadi momen penentu untuk negosiasi, di mana para pemimpin akan memutuskan apakah sudah ada cukup kemajuan dalam negosiasi untuk KTT khusus pada November dapat dilaksanakan.
Sejumlah diplomat UE mengatakan bahwa jika negosiasi Brexit tetap menemui jalan buntu, negara-negara anggotanya mungkin akan mengganti arah pertemuan pada November 2018 dari persiapan lanjutan perjanjian Brexit menjadi persiapan keluarnya Inggris tanpa kesepakatan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)