Politik Ulama Berhadapan dengan Kekuasaan (1)
Penunjukan Kiai Haji Ma’ruf Amien sebagai calon wakil presiden pendamping Joko Widodo pada 9 Agustus lalu benar-benar di luar dugaan. Selain mengejutkan, pilihan ini juga memicu pertanyaan: mengapa pilihan cawapres sampai jatuh kepada sosok ulama, bukan tokoh atau pemimpin Islam non-ulama?
Megawati Soekarnoputri beserta delapan petinggi partai politik koalisi pengusung capres Joko Widodo sudah pasti ingin menunjukkan sikap politik yang akomodatif terhadap umat Islam melalui penunjukan Ma’ruf Amien. Pilihan ini juga sekaligus ingin menetralkan tuduhan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang dianggap kurang memihak kepada umat Islam dan cenderung mendiskreditkan (kriminalisasi) ulama.
Fakta menunjukkan, popularitas dan elektabilitas Ma’ruf Amien masih jauh di bawah Jokowi atau Prabowo Subianto, rival mereka dalam Pilpres 2019. Wajar saja jika sebagian publik merasa risau sosok Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini akan membebani elektabilitas Jokowi yang saat ini sudah tinggi. Sejarah pemilihan presiden secara langsung sejak tahun 2004 menunjukkan, popularitas kandidat menjadi salah satu modal penting dalam pencalonan. Popularitas selalu membawa ”keberuntungan” karena bisa menambah tingkat keterpilihan dalam pemilihan.
Umat Islam pasti banyak yang mengetahui sosok Ma’ruf Amien lantaran kiprahnya selama ini selalu bergerak di wilayah yang berurusan dengan kepentingan umat. Namun, secara elektabilitas sosok Ma’ruf Amien tetap merisaukan para pendukung Jokowi.
Dalam beberapa survei kepemimpinan nasional yang diselenggarakan oleh Litbang Kompas, responden yang menyatakan akan memilih mantan Rais Aam NU ini selalu bertengger di posisi yang rendah, bersama dengan para tokoh yang baru memulai karier mereka di bidang politik.
Para pemimpin koalisi yakin, sosok ulama adalah pilihan yang paling pas di tengah meningkatnya kesadaran politik umat Islam meskipun pilihan tersebut berbeda dengan aspirasi mayoritas pendukung Jokowi. Memilih sosok Ma’ruf Amien merupakan respons atas realitas politik yang menunjukkan efektivitas gerakan keagamaan (Islam) memobilisasi umat dalam aksi bela Islam dan ulama pada 2016.
Ekses dari keberhasilan gerakan bela Islam ini adalah menguatnya politik Islam dalam merengkuh pengaruh dan menancapkan hegemoni di masyarakat. Para ulama yang menjadi motor penggerak aksi bela Islam ini berhasil menggiring aspirasi membela agama menjadi agenda perubahan sosial politik yang signifikan di Jakarta, yaitu mengadili, memenjarakan, hingga mengalahkan BTP dari ajang kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Gestur kemenangan ulama dicapai ketika wacana ”penistaan agama” yang diperjuangkan berhasil merengkuh pengaruh sekaligus menancapkan hegemoni di masyarakat. Hegemoni ini dimanfaatkan sebagai akses untuk membentuk basis-basis kekuatan di masyarakat dalam rangka membendung kekuatan negara. Di titik inilah ulama menggiring pengaruh mereka untuk bergeser dari posisi sayap kanan menuju titik pusat kekuasaan.
Perebutan wacana
Frase ”penistaan agama” merupakan upaya untuk memobilisasi simbol-simbol agama sebagai instrumen untuk mendominasi wacana politik saat itu. Menurut Pierre Bourdieu sebagaimana dikutip oleh Fauzi Fashri dalam buku Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), penyebaran wacana ”penistaan agama” merupakan bentuk dominasi simbolik melalui agama dan bahasa sebagai sistem simbolik.
Dominasi simbolik memuat kekuasaan simbolik sebagai bentuk kekuasaan yang dapat membuat orang mengenali dan memercayai, memperkuat dan mengubah pandangan mengenai dunia. Kekuasaan simbolik bekerja melalui pengendalian simbol dan mengonstruksi realitas melalui tata simbol tersebut.
Wacana penistaan agama merupakan terminologi berisi tafsiran para pemimpin agama (ulama) tentang nilai-nilai suci atau sistem simbolik yang dihormati dalam agama Islam yang dihina oleh BTP. Seperti ”kekuatan magis”, bahasa tersebut membuat umat Islam patuh seketika melalui mobilisasi tata simbol tersebut. Wacana ini berhasil menyulap kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif tanpa pertimbangan rasional. Wacana ini juga berhasil mendefinisikan soliditas kelompok yang membedakan mereka dengan kelompok yang lain (the other).
Di titik inilah wacana penistaan agama menjelma menjadi narasi dominan yang membentuk polarisasi antara kemapanan—yang merepresentasikan pemerintah—dengan perlawanan—yang merepresentasikan umat Islam (terutama pendukung wacana penistaan agama). Kedua kutub ini saling ”berperang” untuk merebut pengaruh dan menanamkan hegemoni di masyarakat.
Polarisasi ini sangat mungkin terjadi karena wacana penistaan agama sudah mengontrol persepsi, pandangan, visi, juga cara pandang umat Islam terhadap sosok BTP dan pendukungnya. Wacana ini sudah mereduksi rasionalitas pandangan yang lain sehingga efektif memproduksi dan menampilkan pandangan yang paling diakui, paling benar, dan paling sah. Muara dari dominasi wacana ini adalah memperoleh legitimasi atau pengakuan umat bahwa hanya pandangan ”merekalah” yang paling absah dibandingkan dengan ”yang lain”.
Menurut Bourdieu dalam Fashri (2014), eksklusivitas kebenaran pendapat kelompok ini merupakan bentuk kekuasaan simbolik (symbolic power). Kekuasaan simbolik ini mengacu kepada kekuasaan untuk mengonstruksi realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial suatu kelompok atau seseorang. Dengan kata lain, kekuasaan simbolik bekerja melalui simbol-simbol sebagai instrumen ”pemaksa”.
Aksi bela Islam yang digelar di Jakarta sepanjang tahun 2016 merupakan bentuk kekuasaan simbolik dari wacana penistaan agama. Kekuasaan simbolik inilah yang membentuk ”soliditas” umat Islam se-Jabodetabek—berikut sejumlah wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera—untuk bersatu melawan BTP. Soliditas ini membuat spektrum sosial menjadi lebih sederhana karena batas kelompok (Islam) ekstrem dan kelompok moderat tereduksi pada satu titik.
Masyarakat dihadapkan pada pilihan mendukung atau menolak bahasa ”penistaan agama” sebagai wacana dominan yang sedang beroperasi. Wacana ini sekaligus memberi otoritas dan menghadirkan kekuasaan untuk berbicara atas nama ”kelompok”. Kekuasaan simbolik memberikan legitimasi terhadap otoritas para tokoh yang harus dipatuhi dan dipercayai, yaitu ulama.
Mobilisasi wacana
Wacana penistaan agama merupakan strategi jitu untuk menciptakan momen persatuan umat Islam untuk melawan BTP. Wacana ini dimobilisasi sedemikian rupa sehingga membangkitkan sentimen-sentimen emosional umat terhadap isu-isu anti-Ahok seperti pemimpin non-Muslim, pemimpin minoritas, serta pemimpin arogan dan kasar.
Selama isu ini selalu menyala, peluang mobilisasi umat untuk menggaungkan perlawanan terhadap Gubernur Jakarta semakin lebar terbuka. Untuk diketahui, sentimen anti-Ahok ini merupakan momentum langka yang kekuatan mobilisasinya akan sulit terulang.
Ketika peluang mobilisasi terbuka, menurut Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, langkah penting yang dipersiapkan selanjutnya adalah kepemimpinan moral dan intelektual di masyarakat sehingga lanskap sosial berubah dan memungkinkan posisi gerakan sosial dalam percaturan memperebutkan ”hegemoni.”
Mobilisasi tidak mungkin terjadi tanpa ruang gerak yang memungkinkan ”batas toleransi” antara yang radikal dan yang moderat kabur. Aksi 212 telah membuktikan umat Islam mendukung wacana tuntutan hukum kepada BTP yang telah menghina agama Islam berikut para ulamanya. Dukungan tersebut dinyatakan dengan kerelaan mereka untuk hadir dalam aksi damai yang diadakan di seputar Monas dan Istana Negara pada 21 Desember 2016.
Aksi ini juga membuktikan bahwa wacana penistaan agama mampu menembus sekat-sekat yang menjadi batas tradisional antara kelompok radikal dan moderat. Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini kontroversial karena karakter ”intoleran” bisa menjelma menjadi kekuatan penting. Hal ini karena ormas Islam binaan Rizieq Shihab ini mendapatkan ruang penerimaan yang lebih luas dari yang selama ini mereka dapat.
Menurut Ahnaf, gerakan ini membentuk kekuatan aliansi baru yang mencakup tokoh-tokoh dengan spektrum ideologi yang luas, termasuk kalangan Wahabi, dan pengusung ideologi khilafah. Tidak tertutup kemungkinan kelompok lebih ekstrem yang terkait dengan jaringan teroris ikut menikmati momentum ini. Ketika kelompok radikal dan moderat bisa bersatu dalam Aksi 212, hal itu menunjukkan wacana penistaan agama telah merasuk pikiran umat Islam dan mendominasi wacana politik nasional.
Wacana penistaan agama semakin menghegemoni umat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang memperkuat tuduhan penghinaan terhadap kitab suci Al Quran yang dilakukan oleh BTP.
Fatwa ini menguatkan sentimen anti-Ahok yang kemudian dijadikan sebagai alat mobilisasi umat Islam. Para pemimpin Islam anti-Ahok kemudian membentuk aliansi di bawah naungan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF MUI. Organisasi ini paling berperan dalam memobilisasi wacanan penistaan agama melalui berbagai platform media.
Salah satu wujud mobilisasi tersebut adalah munculnya spanduk dan baliho di seluruh penjuru Jakarta yang memuat gambar Rizieq Shihab dan tokoh GNPF MUI serta pesan-pesan yang agitatif, berupa ajakan kepada segenap umat Islam untuk mengadili dan memenjarakan penista agama.
Spanduk serupa ternyata tidak hanya memenuhi kota Jakarta, tetapi juga menjadi pemandangan yang lumrah di jalan utama kota-kota besar di Pulau Jawa. Sejalan dengan mobilisasi wacana, GNPF MUI juga mulai mengorganisasi massa untuk melakukan unjuk rasa dalam rangka bela Islam dan ulama. Aksi massa pertama yang berhasil diorganisasi oleh organisasi yang dipimpin Bachtiar Nasir ini adalah aksi bela Islam pertama pada 4 November 2016.
Setelah aksi ini, GNPF MUI semakin agitatif dalam mengorganisasi umat untuk gerakan bela agama berikutnya. Dalam aksi-aksi ini, para pimpinan GNPF MUI memanfaatkan sebagai kesempatan untuk mendukung gerakan bela Islam dan bela ulama, hingga menolak kriminalisasi ulama.
Meskipun aksi massa yang digalang menggunakan isu agama, para pemimpin GNPF MUI kerap memanfaatkan forum aksi ini untuk mempropaganda agenda-agenda politik untuk menjatuhkan Gubernur Jakarta, hingga mengancam kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Tokoh sentral
Wacana penistaan agama telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan sosial berkelanjutan melalui wadah utamanya, yaitu GNPF MUI yang bertujuan untuk mengawal fatwa MUI sebagai landasan untuk menyeret BTP ke meja pengadilan. Dari GNPF MUI ini muncul sejumlah tokoh Islam, seperti Rizieq Shihab dari FPI, Al Khathath dari Forum Umat Islam, dan Bachtiar Nasir selaku Ketua GNPF MUI.
Dari tokoh-tokoh ini, hanya Rizieq Shihab yang paling menonjol sehingga menjadikannya sebagai tokoh sentral dalam gerakan aksi bela Islam atau organisasi GNPF MUI. Aksi ini mengangkat pamor Rizieq Shihab dari seorang ketua FPI menjadi setara dengan ulama-ulama dari ormas Islam tradisional, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Setelah Aksi 212, ada upaya untuk menyetarakan posisi Rizieq Shihab dengan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin melalui spanduk-spanduk yang beredar di kota Jakarta.
Mencuatnya Rizieq Shihab ini boleh jadi dipicu oleh kekecewaan umat terhadap peran tokoh dan partai Islam yang dipandang gagal dalam memperjuangkan aspirasi umat, terutama Islam politik. Kehadiran Rizieq Shihab di atas panggung politik nasional menjanjikan potensi baru terbentuknya aliansi politik Islam yang sudah dicita-citakan selama ini. Besarnya harapan tersebut terefleksi dari dukungan masif umat dalam Aksi 212 yang harus dibaca sebagai wadah untuk menyalurkan ”energi politik” yang besar.
Rizieq Shihab mendapatkan kuasa simbolik sebagai ulama yang memersonifikasikan bahasa perlawanan terhadap kekuasaan negara melalui wacana penistaan agama. Di lain sisi, kuasa simbolik ulama ini juga membuat sosok Rizieq Shihab dipersonifikasikan sebagai sentralisasi kekuatan baru Islam di Indonesia. Harapannya, Rizieq Shihab bisa menyalurkan energi kepada umat Islam melalui sebuah partai politik alternatif dengan ideologi Islam yang kuat.
Saluran ini lebih bisa dipahami daripada ide revolusi yang disuarakan Rizieq Shihab jika pengadilan pada akhirnya tidak menghukum BTP. Sentralisasi peran dalam gerakan agama ke dalam sosok Rizieq Shihab membuat nama imam besar FPI ini tetap eksis sebagai ulama ”politik” meskipun gerakan dan wadah gerakan yang dipimpinnnya telah pudar seiring dengan melemahnya dominasi wacana yang diperjuangkan selama ini.
Di titik inilah Rizieq Shihab mampu menyentil kekuasaan Presiden Joko Widodo melalui semua kuasa simbolik ulama yang melekat pada dirinya. (LITBANG KOMPAS)