Mengejar Tahap Pendidikan 4.0
Pendidikan adalah kunci untuk memenangi zaman yang tengah didisrupsi oleh teknologi. Disrupsi teknologi bukan hanya mengubah lanskap pekerjaan sekarang dan masa depan, tetapi juga lanskap pendidikan kita.
Saat ini muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang dalam lima atau sepuluh tahun yang lalu belum ada. Dalam lima atau sepuluh tahun ke depan pun akan muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang sekarang belum ada.
Teknologi memangkas sekaligus menyediakan celah pekerjaan manusia. Lalu, masih relevankah bidang keilmuan yang tersedia sekarang untuk menjawab tantangan pekerjaan masa depan yang belum bisa dibayangkan sekarang?
Sistem pendidikan pada dasarnya ikut berevolusi menyesuaikan kebutuhan pasar. Dengan teknologi sebagai panglima, bidang keilmuan yang berkembang dan banyak diminati tentu saja seputar sains dan teknologi.
Disadari atau tidak, dengan berkembangnya teknologi, bidang studi yang kini banyak diminati dan dibutuhkan terkonsentrasi pada empat bidang keilmuan yang di dunia global disingkat dengan STEM, yaitu sciences (ilmu pengetahuan), technology, engineering, dan mathematics. Kebutuhan akan lulusan dengan keahlian ini sudah tak terelakkan.
China merupakan negara yang saat ini memiliki lulusan terbanyak dalam penguasaan bidang STEM, yaitu 4,7 juta orang (World Economic Forum, 2016, dikutip dari laman Statista). Disusul oleh India (2,6 juta), Amerika Serikat (568.000), dan Rusia (561.000). Indonesia sendiri menurut sumber tersebut memiliki 206.000 lulusan di bidang STEM. Lulusan bidang studi ini banyak dicari dan memiliki level penghasilan tinggi karena keterampilan yang mereka miliki.
Tren pendidikan yang mengarah pada STEM ini pun terlihat di perguruan tinggi di Indonesia. Data Statistik Perguruan Tinggi 2017 memperlihatkan porsi program studi di Indonesia yang berorientasi pada STEM tersedia lebih banyak dibandingkan dengan bidang ilmu lain.
Dari 10 kelompok bidang ilmu, program studi (prodi) yang masuk dalam kelompok teknik serta matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA) tersedia sebanyak 5.561 prodi (27 persen) yang ditawarkan sekitar 4.000 perguruan tinggi di tanah air. Sedangkan prodi yang masuk dalam kelompok ilmu sosial dan humaniora berjumlah 3.316 prodi (16,2 persen).
Dari laman Forlap Ristekdikti per 8 Oktober 2018, jumlah kedua kelompok keilmuan ini bertambah cukup besar. Prodi kelompok teknik dan MIPA tetap lebih banyak dibandingkan kelompok ilmu-ilmu sosial dan humaniora meski pertambahan kelompok ilmu sosial dan humaniora lebih tinggi ketimbang kelompok teknik dan MIPA. Kelompok prodi teknik dan MIPA berjumlah 5.922 prodi, sedangkan prodi kelompok ilmu sosial dan humaniora berjumlah 4.919 prodi.
Dilihat dari parameter lain, seperti pemberian beasiswa dari pihak pemerintah, kelompok ilmu STEM mendapat prioritas ketimbang kelompok ilmu sosial. Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan, misalnya, mengutamakan bidang keilmuan yang mencakup teknik, sains, pertanian, dan kedokteran/kesehatan sebagai prioritas pertama. Kelompok ilmu yang mencakup ekonomi, sosial, budaya, seni, dan bahasa sebagai prioritas ketiga setelah kelompok ilmu akuntansi/keuangan, hukum, pendidikan, dan agama.
Pada 2016, pendaftar terbanyak beasiswa LPDP adalah kelompok keilmuan teknik, sains, dan kedokteran yaitu 39,53 persen dari total 33.216 pendaftar. Sedangkan pendaftar pada kelompok ekonomi, sosial, budaya,seni, dan bahasa sebanyak 26,47 persen.
Pola yang sama juga terlihat pada 2017, di mana pendaftar beasiswa LPDP bidang keilmuan teknik, sains, dan kedokteran lebih banyak ketimbang bidang ilmu lainnya.
Pendidikan 4.0
Dalam sistem pendidikan tinggi kita, tuntutan akan sumber daya manusia yang menguasai teknologi sudah terakomodasi dalam perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan salah satu tujuan pendidikan tinggi adalah dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.
Peran perguruan tinggi kemudian menjadi semakin penting untuk menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntuan zaman. Model pendidikan di perguruan tinggi pun berevolusi dari universitas 1.0 hingga menjadi universitas 4.0.
Istilah universitas 4.0 ini menarik yang muncul dari sebuah seminar di Makassar pada 4 Juli 2018. Profesor Togar M Simatupang dari ITB dalam bahan presentasinya yang berjudul Pendidikan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0 memaparkan pendidikan tinggi harus berevolusi mencapai level yang disebut universitas 4.0.
Menurut Togar Simatupang, universitas 1.0 merupakan level dasar perguruan tinggi yang masih menitikberatkan pada tugas pengajaran. Perkuliahan masih banyak yang dilakukan dengan metode hapalan. Naik ke level berikutnya adalah universitas 2.0 yang sudah beranjak ke metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Level berikutnya adalah universitas 3.0 dengan tri dharma perguruan tinggi, di mana penelitian didorong untuk menghasilkan pengetahuan, terutama yang sifatnya aplikatif. Kini, eranya tiba pada level universitas 4.0 yang disebut level inovasi di mana pendidikan di perguruan tinggi diarahkan untuk menghasilkan inovasi-inovasi.
Sistem pendidikan harus ikut berinovasi untuk menjawab perubahan akibat revolusi industri 4.0. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir pernah menyatakan perguruan tinggi harus peka terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat, karena dengan kepekaan itulah perguruan tinggi dapat memberi rekomendasi serta solusi untuk menjawab segala permasalahan.
Pendidikan tinggi harus semakin kompetitif dan mampu bersaing di tengah era revolusi industri 4.0. Sebagai salah satu bentuk inovasi di perguruan tinggi untuk menjawab era revolusi industri ini, Kemenristekdikti akan mengembangkan inovasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Model ini akan menjadi cikal bakal dikembangkannya universitas siber (Cyber University).
Selain itu, bidang keilmuan pun berinovasi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Muncul bidang-bidang keilmuan baru. Jika dikelompokkan, beberapa bidang keilmuan yang baru yang relevan dengan percepatan teknologi terbagi dalam empat kluster. Keempat kluster itu adalah kluster teknologi informasi, teknologi kreatif, bioteknologi, serta kluster alam dan lingkungan hidup. (lihat grafis)
Perguruan tinggi dalam level universitas 4.0 ini harus menjadi motor lahirnya inovasi. Untuk itu, perguruan tinggi harus mengubah pola pikir dan cara kerja organisasi agar bisa menghasilkan inovasi. Selain itu, juga harus menyediakan kurikulum yang fleksibel dan kontekstual, aktif melakukan riset-riset, serta menjadi rujukan untuk memecahkan masalah dan membuat kebijakan.
Ilmu Sosial Tetap Relevan
Dengan semakin banyaknya pekerjaan yang menggunakan sistem otomasi, robot, dan kecerdasan buatan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang akan menjadi tujuan pendidikan ketika pada saat yang bersamaan mesin menjadi semakin pintar dan jadi andalan.
Pertanyaan ini mengarah pada diskursus posisi ilmu-ilmu sosial di tengah percepatan sains dan teknologi. Akankah prodi ilmu-ilmu sosial terpinggirkan?
Diskursus ini bermuara pada kesimpulan bahwa ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada hakikatnya akan tetap dibutuhkan untuk melahirkan inovasi-inovasi. Pendidikan yang hanya fokus pada bidang STEM bukan tanpa kelemahan.
Kelemahan pendidikan yang dilandasi STEM ini adalah bahwa ilmu-ilmu ini secara kaku memperlakukan ekonomi di era teknologi digital sebagai suatu persamaan matematika. Dengan logika ini, penciptaan lapangan kerja adalah masalah penempatan manusia pada peluang-peluang yang bisa diidentifikasi, dan pertumbuhan ekonomi adalah masalah peningkatan ketersediaan sumber daya manusia dan kapital semata.
Jika hanya dengan sudut pandang yang kaku ini, dinamika perekonomian justru akan kekurangan spirit dan sumber kreasi untuk melahirkan inovasi. Pasar tenaga kerja tidak saja membutuhkan keahlian teknis, tetapi juga kemampuan lunak (soft skills), seperti kemampuan berimajinasi, berpikir kreatif, kritis, adaptif, solutif, dan sebagainya.
Sejarah membuktikan, kemajuan ekonomi dan lahirnya inovasi bukan hanya dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi oleh gerak masyarakat yang dinamis, yang dimotori oleh gairah kebebasan untuk berkreasi dan berekspresi. Inovasi datang dari kejelian melihat kebiasaan-kebiasaan dan perilaku masyarakat.
Sebagai contoh sederhana, alat sekecil iPod (pemutar media digital), yang sekarang berkapasitas hingga 50 juta lagu, dihadirkan untuk mengakomodasi dan memberi pengalaman yang menyenangkan terhadap kebiasaan orang yang suka mendengarkan lagu kapan pun dan di mana pun. Faktor kenyamanan menjadi prioritas memunculkan inovasi ketika seseorang tidak perlu membawa radio tape atau walkman ke mana-mana yang ukurannya besar tetapi kapasitasnya terbatas.
Membaca perilaku dan perubahan sosial adalah penting. Seperti rantai produksi, inovasi tidak hanya melibatkan transformasi teknologi, tetapi juga transformasi kebiasaan-kebiasan manusia. Dari sini, perekonomian akan mengambil celah keuntungan. Sehingga, kegiatan ekonomi pun bergerak mengikuti perkembangan sosial yang ada.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial dan humaniora harus tetap diajarkan, bahkan sejak di tingkatan sekolah menengah. Pengenalan terhadap ilmu-ilmu seperti sastra, filsafat, atau sejarah akan mentenagai atau menginspirasi banyak orang untuk mencari dan memperkaya makna hidup. Ilmu-ilmu humaniora akan membuat manusia lebih kreatif dan pada akhirnya melahirkan inovasi yang bermanfaat bagi umat manusia.
Selain itu, tentu saja, ilmu sosial diperlukan untuk membaca hal-hal yang tersembunyi. Hal-hal yang muncul sebagai sisi-sisi gelap, paradoks, atau eksternalitas dari perkembangan teknologi yang mungkin kehadirannya tidak secara cepat disadari.
Ilmu sosial bertugas menjadikan atau mendudukkan hal-hal yang ideal dalam imajinasi manusia menjadi sesuatu yang riil. Demikian kata Herry Priyono, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dalam suatu Simposium Internasional Ilmu-ilmu Sosial di Yogyakarta (2018). Dan, tugas itu dengan mengedepankan apa yang menjadi keistimewaan manusia, yaitu nilai-nilai kebaikan.
Jadi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak perlu merasa dianaktirikan di era percepatan teknologi digital saat ini. Ilmu sosial justru dibutuhkan untuk berkolaborasi dengan STEM dalam meneruskan dan memperkaya peradaban manusia. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)