Jalan Panjang Membangun Angkutan Massal Rel
Setelah menunggu lebih dari setengah abad, impian Jakarta untuk memiliki angkutan massal berbasis rel sebentar lagi akan terwujud. Tahun 2019, transportasi massal cepat (mass rapid transit/MRT) dan kereta ringan (light rail transit/LRT) akan beroperasi berbarengan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas.
Selama ini, masalah biaya, pembebasan lahan, bahkan pergantian kepemimpinan menjadi penghambat impian pemerintah dan warga Jakarta untuk memiliki angkutan massal cepat.
Sebelum bus transjakarta tahun 2004, sebenarnya Jakarta pernah memiliki angkutan massal, yakni trem. Trem pada 1869 dihadirkan Belanda di kota Batavia sebagai alat transportasi. Trem generasi pertama tersebut menggunakan tenaga empat kuda.
Setelah itu, sekitar tahun 1881, moda transportasi berganti menjadi trem uap. Trem dengan tungku bahan bakar batubara di bagian depan ini jarak tempuhnya lebih jauh dibandingkan dengan trem kuda. Kelemahan trem ini adalah suaranya yang bising.
Hampir 20 tahun kemudian muncul trem listrik. Namun, trem listrik ini tidak lantas menghapus keberadaan trem uap. Trem uap baru berhenti beroperasi tahun 1933. Trem ini menggunakan tenaga listrik melalui pantograf dan kabel-kabel listrik di atasnya.
Akhirnya trem listrik ini harus mengakhiri tugasnya pada 1960. Gubernur Sudiro menghapus trem karena dianggap sumber kemacetan, terutama di jalur Gajah Mada. Presiden Soekarno pun tidak menyetujui keberadaan trem dan mengusulkan metro atau kereta api bawah tanah sebagai pengganti moda transportasi massal tersebut.
Sejak trem listrik dihapuskan, Jakarta mulai kehilangan transportasi massal yang membantu mobilitas warga di dalam kota. Perannya digantikan oleh bus yang dikelola oleh Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD).
Daya angkut bus yang hanya bisa mengangkut maksimal 60 orang itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan trem listrik yang rangkaiannya bisa menarik tiga gerbong. Sebenarnya pada 1925 mulai beroperasi kereta api yang ditarik lokomotif listrik. Namun, rutenya terbatas hanya Jakarta Kota-Pasar Senen-Jatinegara dan belum beroperasi rutin.
Rencana awal kereta rel
Penghapusan trem menjadi penyesalan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah unsur pimpinan di DKI Jakarta berupaya mengembangkan sistem kereta api listrik yang sudah ada serta membangkitkan kembali angkutan massal berbasil rel. Namun, upaya itu hanyalah rencana indah di atas kertas yang tak pernah terwujud.
Angkutan massal, menurut definisi Modul ”Opsi Angkutan Massal: Transportasi Berkelanjutan”, beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah serta digunakan secara eksklusif. Moda ini beroperasi sesuai jadwal yang ditetapkan dengan rute yang didesain dengan perhentian-perhentian tertentu. Hal terpenting, angkutan massal ini bisa mengangkut banyak orang sehingga mengurangi volume lalu lintas di jalan raya.
Mengacu pada hal itu, Gubernur Soemarno (1964) menyarankan menggunakan kereta api bawah tanah di dalam kota untuk menggantikan jalur kereta api permukaan Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota yang telah ada.
Pertimbangannya, ke depan akan timbul kemacetan lalu lintas seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan mobilitasnya. Daya angkut kereta yang saat itu bisa mengangkut 80.000 orang per hari lebih efisien dibandingkan dengan mengangkut 80.000 orang menggunakan 2.650 bus. Namun, rencana itu gagal karena keterbatasan dana.
Tak puas terhadap berbagai rencana pengembangan transportasi massal, tahun 1993 muncul usulan rencana untuk membangun transportasi LRT. LRT yang direncanakan dibangun menyatu dengan pola KA Jabotabek memakai teknologi baru aeromovel, yakni kereta penumpang yang digerakkan oleh udara.
Tahap pertama pengembangan LRT ini adalah membangun rel ganda antara Tangerang dan Bekasi sepanjang 36,5 kilometer dan Blok M-Jakarta Kota serta simpang Jalan Sudirman-Jalan Casablanca (15 kilometer).
Namun, pembangunan jalur Blok M-Kota dikhawatirkan akan mengganggu pengguna gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman-Thamrin. Secara fisik, jalur MRT itu akan terdiri dari tiga susun (triple decker), yaitu lantai atas untuk jalan tol, lantai tengah untuk jalur LRT, serta lantai dasar merupakan jalan raya yang sudah ada sekarang.
Sampai 2001 pada masa pemerintahan kedua Gubernur Sutiyoso, rencana pembangunan triple decker belum juga terwujud. Padahal, transportasi massal itu dijanjikan sudah beroperasi pada 2000. Di tengah janji-janji manis tersebut, muncul usulan mengatasi kemacetan Jakarta dengan transportasi massal monorel dan bus transjakarta.
Belakangan, rencana pembangunan monorel malah tak pernah terwujud sampai sekarang meski tiang pancangnya sudah telanjur berdiri. Faktor ketidakjelasan proyek, dana investasi, serta daya tampungnya yang lebih kecil membuat proyek ini dibatalkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada September 2015.
Bus transjakarta
Akhirnya, setelah puluhan tahun rencana pembangunan transportasi massal tak pernah terlaksana di Jakarta, pada 2004 lahirlah angkutan massal berbasis jalan raya. Moda yang menggunakan jalur khusus di jalan raya ini bernama bus transjakarta.
Bus transjakarta dipilih Gubernur Sutiyoso saat itu karena biayanya lebih murah dibandingkan dengan monorel ataupun MRT. Berdasarkan buku Busway, Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta (Dagun, 2006), per kilometer bus transjakarta membutuhkan dana 0,8 juta dollar AS-2 juta dollar AS.
Nilai ini sangat murah dibandingkan dengan monorel atau MRT. Sebagai perbandingan, ongkos membangun MRT di Singapura yang per kilometernya bernilai 45 juta dollar AS-105 juta dollar AS setara dengan biaya membangun bus transjakarta sepanjang 135 kilometer.
Meski murah, sejumlah pihak mengkhawatirkan kehadiran bus transjakarta itu akan menimbulkan kemacetan baru karena memakai satu jalur pada ruas jalan raya. Alasan lainnya kapasitas bus ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan MRT ataupun monorel.
Kapasitas bus sekali angkut adalah 85 penumpang, sedangkan kereta komuter bisa mengangkut 1.000 penumpang dalam satu rangkaian. Namun, saat itu Dinas Perhubungan DKI Jakarta meyakinkan meski kapasitasnya lebih sedikit, dengan ketersediaan armada yang banyak serta waktu tunggu yang berkisar 25 detik, akan bisa menyamai kemampuan angkutan berbasis rel.
Soal menimbulkan kemacetan, Dinas Perhubungan yakin, jika kebijakan push and pull berjalan, tidak akan berdampak terhadap kondisi lalu lintas. Kebijakan itu berupaya menekan penggunaan kendaraan pribadi agar keluar dari sistem jaringan jalan dengan menyediakan angkutan bus dan pengumpan yang mampu menarik mereka agar beralih ke angkutan umum.
Namun, sampai sekarang, bus transjakarta yang sudah menjadi 13 koridor (panjang sekitar 210 kilometer) belum sepenuhnya bisa menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta. Pengguna kendaraan pribadi belum memadai beralih ke bus transjakarta meski PT Transjakarta telah memperbaiki layanannya.
Selama setahun ini jumlah bus telah bertambah menjadi 1.300 unit, fisik bus nyaman, dan perluasan rute dengan menghubungkan antarkoridor, pengumpan ke stasiun, serta waktu tunggu berkisar 5-7 menit.
Belum beralihnya pengguna kendaraan pribadi menjadi salah satu penyebab bus transjakarta belum menjawab masalah kemacetan lalu lintas. Apalagi bus transjakarta terkadang masih terjebak macet karena menggunakan jalur yang sama dengan transportasi darat yang lain.
MRT dan LRT
Setahun setelah bus transjakarta beroperasi, usulan membangun angkutan massal berbasis rel MRT kembali mencuat. Saat itu, presiden menegaskan bahwa proyek MRT Jakarta merupakan proyek nasional. Berangkat dari hal itu, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian bergerak dan saling berbagi tanggung jawab. Pencarian dana pinjaman disambut Pemerintah Jepang.
Akhirnya pada 10 Oktober 2013 proyek MRT diresmikan dengan proses peletakan batu pertama oleh Gubernur Joko Widodo di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. PT MRT Jakarta bertindak selaku penanggung jawab proyek yang akan selesai pada 2018. Proyek kereta yang bisa mengangkut 200 hingga 300.000 penumpang per hari ini memiliki panjang bentangan ke koridor selatan-utara dan timur-utara 110,8 kilometer.
Pembangunan MRT akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap I (Lebak Bulus-Bundaran HI) dan tahap II (Bundaran HI-Kampung Bandan). Tiap rangkaian terdiri atas 6 kereta yang melewati 6 stasiun bawah tanah dan 7 layang. Waktu tunggu kereta direncanakan tiap 5 menit.
Sampai 31 Juli 2018, konstruksi sipil telah menyelesaikan 95,33 persen dengan rincian jalur layang mencapai 93,2 persen dan jalur bawah tanah 97,26 persen. Uji coba kereta pun telah dilakukan 13 Agustus 2018 dari stasiun Lebak Bulus hingga Fatmawati.
Proyek MRT terus berbenah hingga bisa digunakan Maret 2019. Penyempurnaan terus dilakukan khususnya pada pembangunan stasiun dan kawasan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) di Dukuh Atas.
Adapun proyek LRT baru diresmikan pada 9 September 2015 oleh Presiden Joko Widodo di Gerbang Tol TMII, Jakarta Timur. Proyek kereta ringan ini dibangun oleh pemerintah pusat yang menitikberatkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kawasan Cibubur, Bogor, dan Bekasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membangun LRT di dalam kota Jakarta dengan rute yang direncanakan Kebayoran Lama-Kelapa Gading, Tanah Abang-Pulo Mas, Joglo-Tanah Abang, Puri Kembangan-Tanah Abang, Pesing-Kelapa Gading, Pesing-Bandara Soekarno-Hatta, dan Cempaka Putih-Ancol.
Untuk jangka pendek, disiapkan terlebih dahulu rute dalam kota Kelapa Gading- Velodrom untuk membantu transportasi atlet Asian Games dan rute Cibubur- Cawang, Bekasi Tumur-Cawang, dan Cawang-Dukuh Atas. Namun, rute Kelapa Gading-Velodrom belum bisa digunakan karena masih sekitar 89 persen.
Diharapkan kereta ringan dan kereta berat bisa berkolaborasi bersama. Kereta ringan yang kapasitasnya hanya 400 penumpang dalam setiap rangkaiannya bisa menjadi pengumpan bagi angkutan massal MRT yang berkapasitas lebih besar (1.950 penumpang per rangkaian). Namun, fasilitas pendukung kedua moda massal ini, seperti stasiun, jumlah armada, serta sistem tiket, haruslah nyaman, mudah diakses, serta murah.
Selanjutnya, kedua angkutan massal ini yang beroperasi bersamaan bisa terintegrasi dengan angkutan massal yang sudah ada, yakni bus transjakarta dan kereta komuter. Tahun 2019 menjadi penentu, apakah moda massal yang telah beroperasi mampu menarik minat pengguna kendaraan pribadi sehingga berdampak terhadap berkurangnya kemacetan lalu lintas. (M PUTERI ROSALINA/ LITBANG KOMPAS)