Meredam Jejaring Jamal Khashoggi
Media sosial seperti Facebook dan Twitter telah menjadi perangkat penting bagi gerakan sosial di Timur Tengah. Medium ini dianggap mempunyai efektivitas besar untuk menjaring dukungan massa bagi gugatan pada sistem ataupun tuntutan atas perubahan.
Jatuhnya Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali pada 2011 tidak dapat dilepaskan dari aktivitas jejaring sosial. Bermula dari penggunaan ponsel untuk merekam aksi bunuh diri pedagang kecil bernama Mohamed Bouazizi, dengan membakar diri di depan gedung pemerintah setelah kereta dagangannya dirampas petugas ketertiban.
Dagangannya berupa buah-buahan dan sayur-sayuran menjadi satu-satunya gantungan hidupnya di tengah sulitnya mencari pekerjaan di negerinya. Ia memprotes tindakan itu, tetapi malah menerima penghinaan, pipinya ditampar.
Rekaman kejadian itu kemudian diunggah ke internet dan menyebar di seluruh Tunisia dan negara-negara Arab melalui jejaring sosial Facebook, yang akhirnya disiarkan televisi Al Jazeera. Rakyat Tunisia pun marah. Aksi Bouazizi itu dengan cepat meletupkan unjuk rasa warga ke seantero negeri Tunisia. Demonstrasi makin membesar hingga akhirnya memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali kabur dari negerinya.
Kejadian serupa juga mengawali revolusi Mesir. Khaled Said, seorang bloger muda berusia 28 tahun, diambil secara paksa oleh aparat keamanan dari sebuah warung internet di kota Alexandria, Juni 2010.
Said dituduh membongkar borok pemerintahan Hosni Mubarak di jejaring sosial, yaitu Facebook dan Twitter. Ia pun tewas akibat siksaan aparat keamanan. Namanya kemudian digunakan menjadi alamat akun We are all Khaled Said di Facebook yang menggerakkan warga Mesir untuk turun ke jalan menggulingkan rezim otoriter Presiden Mubarak.
Media sosial, istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh JA Barnes pada 1954, berkembang pesat di Timur Tengah. Berdasarkan data Arab Social Media Report 2017, Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan warga Arab. Sebanyak 156 juta orang mengunakan Facebook. Jumlahnya naik 41 juta pengguna dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Arab Saudi adalah negara yang paling banyak menggunakan Facebook setelah Mesir. Persentase pengguna Facebook di Arab Saudi tercatat mencapai 13 persen dari total pengguna di Timur Tengah.
Selain Facebook, Twitter adalah media sosial yang juga populer di jazirah Arab. Total penggunanya pada 2017 mencapai 11,1 juta orang, tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya yang mencapai 5,8 juta pengguna. Warga Arab Saudi menjadi pengguna Twitter terbanyak diikuti Mesir, Aljazair, dan Uni Emirat Arab. Tercatat 2,6 juta pengguna aktif Twitter berasal dari Arab Saudi.
”Media sosial menjadi sebuah kekuatan baru dalam membangun alam demokrasi di berbagai belahan dunia. Media sosial menjadi bagian penting sarana bagi kebebasan yang lebih besar”, tulis Philip Howard, profesor komunikasi di Universitas Washington, AS dalam tulisannya, ”New Study Quantifies Use of Social Media in Arab Spring”, pada 12 September 2011.
Menyadari betapa kuatnya pengaruh media sosial, Arab Saudi berupaya mengendalikan isu-isu yang berkembang di media sosial, terutama Twitter. Ulasan koran The New York Time edisi 20 Oktober 2018 menyelisik bagaimana kerja besar Arab Saudi dalam mengendalikan isu, khususnya terkait dengan opini publik dan kritik. Melalui tulisan ”A Suspected Mole at Twitter Was Fired”, diungkapkan strategi Pemerintah Arab Saudi merekrut buzzer dan akun-akun otomatis (bot) dengan tugas khusus melacak kritik dan perbincangan kritis di Twitter.
Setelah itu, mereka melakukan kontra isu dengan melakukan intervensi untuk merusak hingga menyudahi rangkaian cuitan dan diskusi kritis itu. Para buzzer juga ditugaskan untuk mengintimidasi pihak-pihak oposisi pemerintah. Daftar nama-nama aktivis dan kritikus didistibusikan kepada para buzzer melalui Whatsapp dan Telegram. Nama-nama itu kemudian dicermati aktivitasnya oleh para buzzer.
Kegiatan rutin personel buzzer adalah mengamati dan mengikuti percakapan publik di Twitter. Selain mengamati, mereka juga membuat konten di Twitter berupa cuitan dan meme yang membela kepentingan Pemerintah Arab Saudi. Jika ditemukan percakapan yang intens tentang kritik kepada pemimpin kerajaan, buzzer berusaha membuyarkannya. Hal yang dilakukan adalah dengan mengalihkan topik pembicaraan serta mengunggah konten sensasional untuk ”membubarkan” kerumunan yang sedang berdiskusi di Twitter.
Sering kali akun-akun buzzer bikinan Pemerintah Arab Saudi dilaporkan ke pihak Twitter dan diblokir. Namun, tidak berapa lama, buzzer-buzzer ini aktif kembali dengan membuat akun-akun baru. Pihak Twitter kesulitan memberantas akun-akun milik buzzer karena bersifat organik. Twitter hanya efektif dalam mendeteksi akun robot atau akun otomasi.
Pemberantasan akun buzzer semakin sulit dilakukan karena Pemerintah Arab Saudi mempekerjakan para pemuda dengan imbalan yang menggiurkan. Setiap buzzer ini mendapat upah setiap bulan senilai 3.000 dollar AS atau lebih dari Rp 43 juta.
Orang yang disebut-sebut berada di balik operasi siber ini adalah Saud al-Qahtani, penasihat utama Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. Pengaruh Qahtani terhadap media di Arab Saudi sangat kuat. Qahtani memiliki wewenang untuk menentukan wartawan dari media asing mana saja yang diperbolehkan mewawancarai Pangeran Mohammed. ”Saud al-Qahtani, a top adviser to Crown Prince Mohammed was the strategist behind the operation.”
Qahtani memiliki 1,35 juta pengikut di Twitter. Jumlah pengikut ini menjadi modal Qahtani untuk menebarkan pengaruh di dunia maya dalam upaya membentengi pemimpin kerajaan dari musuh-musuhnya. Qahtani menggunakan tagar ”#The_Black_List” yang digunakan oleh pengikutnya di Twitter untuk digunakan sebagai penanda siapa saja yang layak dianggap sebagai musuh kerajaan.
Pihak yang dianggap sebagai musuh Pemerintah Arab Saudi antara lain Qatar, Iran, Kanada, dan beberapa kritikus yang dicap sebagai pemberontak. ”Hundreds of people work at a so-called troll farm in Riyadh to smother the voices of dissidents like Mr. Khashoggi.”
Maggie Mitchell Salem, sahabat jurnalis senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi, menceritakan teror yang dialami Khashoggi di akun Twitter-nya. Setiap pagi, pasukan buzzer menyerang Khashoggi dan pihak-pihak yang vokal dalam mengkritik pemerintah.
Pagi hari menjadi saat terburuk bagi Khashoggi yang berada pada kondisi bagaikan berada di tengah baku tembak, tetapi di media daring. —Maggie Mitchell Salem
Sebelum kematiannya, Jamal Khashoggi yang memiliki 1,75 juta pengikut di Twitter meluncurkan sebuah gagasan untuk melawan tekanan di dunia maya yang dilancarkan Qahtani dan timnya. Khashoggi bersama koleganya berusaha menghimpun kelompok sukarelawan untuk mengimbangi propaganda buzzer dan bot Twitter bentukan Qahtani.
Kiriman terakhir Khashoggi di Twitter dilakukan pada 1 Oktober 2018 pukul 12.03 waktu Istanbul, Turki, atau satu hari sebelum dinyatakan hilang. Berita kematiannya mengakhiri kehadiran fisiknya di Twitter, tetapi tidak dapat menghilangkan ide-idenya yang selalu menagih janji reformasi dan visi 2030 yang diusung sang Putra Mahkota. (LITBANG KOMPAS)