Jalan Panjang Jakarta Membangun Angkutan Massal Rel (2)
Tahun 1972, akhirnya Gubernur Ali Sadikin menjatuhkan pilihan pada upaya mengaktifkan kembali jaringan kereta listrik yang sempat distop. Kereta listrik yang akan digunakan tidak sama dengan lokomotif listrik yang menarik gerbong biasa pada lintas Jakarta-Bogor.
Namun, kereta listrik yang disebut electric rial-car atau electrical train-set tersebut mempunyai mesin sendiri yang digerakkan tenaga listrik (Kompas, 1 Juni 1972). Kereta-kereta semacam ini banyak dipakai di Perancis atau Jepang.
Langkah tersebut diambil Gubernur Ali untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di dalam kota Jakarta dan meningkatkan penggunaan angkutan umum. Adapun rencana masa depan untuk mengoperasikan kereta listrik rute dari pusat kota ke Bodetabek.
Kereta listrik ini berjalan pada rute lama melayani daerah Tanjung Priok, Kemayoran, Pasar Senen, Jatinegara, Manggarai, Gambir, Tanah Abang, dan Duri. Kecepatan maksimal kereta ini 40 kilometer per jam dengan waktu tempuh tiap perjalanan 30 hingga 40 menit. Satu gerbong memiliki 6 pintu, 2 di depan, 2 di tengah, dan 2 di belakang. Di dalam gerbong dipasang bangku di bagian pinggir dan di tengah dipasang pegangan untuk berdiri.
Baru tahun 1976 rencana tersebut terwujud. Sebanyak 17 unit kereta listrik (masing-masing 4 gerbong penumpang) didatangkan dari Jepang dan Jerman Barat. Sebanyak 10 unit kereta dari Jepang untuk mengisi jalur Jakarta-Bogor. Adapun sisanya dari Jerman Barat digunakan untuk trayek dalam kota Jakarta. Selain kereta listrik, Jakarta juga mendapat hibah dari Jepang berupa kereta rel diesel untuk angkutan penumpang dan barang.
Sampai tahun 1980, peminat kereta listrik makin banyak. Meski frekuensi perjalanan ditambah menjadi 15 kali dari sebelumnya 13 kali, hal itu tetap belum bisa menampung jumlah penumpang yang ada. Diperkirakan 30.000 sampai 40.000 orang setiap hari memanfaatkan kereta listrik Jakarta-Bogor dan dalam kota Jakarta.
Jika jumlah perjalanan pergi-pulang 40 rit, satu KRL empat gerbong (satu gerbong berkapasitas 82 penumpang), tidak kurang ditumpangi 1.000 orang. Ini berarti tiga kali lipat dari kemampuan yang ada.
Tercatat Kompas pada 9 Februari 1980 menulis, sudah ada dua korban luka di dalam kereta yang penuh, antara lain tangan seorang laki-laki terjepit di pintu kereta yang penuh, akibatnya jari-jarinya cedera. Selain itu, seorang pelajar nyaris meninggal karena tangannya terjepit pintu kereta saat kereta mulai berjalan.
Rencana angkutan massal
Angkutan massal yang berjalan selama 1976 hingga 1980-an adalah kereta listrik. Namun, rute yang ada hanya menghubungkan wilayah Bodetabek dengan pusat kota Jakarta. Rute dalam kota hanya terbatas pada rute Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota.
Rute memutar angkutan massal di dalam kota yang menghubungkan wilayah utara-selatan dan timur-barat belum tersedia dan masih mengandalkan angkutan umum, seperti bus, metromini, bajaj, bemo, dan angkot.
Pemerintah pusat turun tangan untuk membantu mewujudkan angkutan massal cepat di Jabodetabek. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1982 mengenai Tim Koordinasi Pengendalian Pembangunan Kereta Api Jabodetabek, pemerintah menetapkan sistem angkutan kota yang massal dan cepat (mass rapid transit/MRT) untuk Jabodetabek adalah sarana kereta api.
Penetapan keppres tersebut melahirkan sejumlah penelitian mengenai masalah transportasi Jakarta, antara lain Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS), Transport Network Planning and Regulation (TNPR), Jakarta Mass Transit System Study (JMTSS), dan Integrated Transport System Improvement (ITSI), yang dilakukan setelah tahun 1985.
Semua studi tersebut menyarankan dikembangkannya angkutan massal Jabodetabek umumnya dan Jakarta khususnya. Tanpa adanya satu sistem transportasi massal, tak mungkin Jakarta bisa dibenahi. Angkutan massal yang menjadi rekomendasi adalah kereta api.
Kereta dipilih karena merupakan moda angkutan yang mampu mengangkut manusia secara massal, aman, cepat, dan murah. Sebuah gerbong heavy rail transit, rata-rata bisa mengangkut lebih dari 130 orang, sementara gerbong kereta ringan (light rail transit/LRT) bisa sekitar 75 orang. Dengan rangkaian yang terdiri atas empat gerbong, satu LRT bisa mengangkut sedikitnya 300 orang.
Untuk satu jaringan kota, dengan headway (waktu sela pemberangkatan antara satu kereta dan kereta di belakangnya) sekitar tiga menit, dalam satu jam bisa diangkut 6.000 orang. Jumlah ini bisa ditingkatkan dua kali lipat jika rangkaian LRT-nya sama dengan di Singapura yang berjumlah delapan gerbong sehingga daya angkut tiap jam bisa 12.000 untuk satu jalur.
Berbagai studi tersebut tak mudah diwujudkan karena kendala biaya. Indonesia jelas tak sanggup mendanai sendiri tanpa adanya investor asing yang masuk. Langkah yang bisa dilakukan Pemda DKI saat itu yang dipimpin Gubernur Soeprapto adalah membangun rel layang Manggarai-Kota.
Ide pembangunan rel layang tersebut untuk memudahkan laju kereta jalur Manggarai-Kota yang saat itu hanya tersedia satu rel. Pembangunan rel layang tersebut baru bisa terlaksana tahun 1986 dan baru selesai dan diresmikan pada 8 Juni 1992.
Gagasan angkutan massal kemudian dilanjutkan gubernur periode selanjutnya, Wiyogo Atmodarminto. Gubernur Wiyogo mencetuskan ide pengoperasian bus O-Bhan dengan rute Kota-Blok M. Rangkaian bus gandeng yang berjalan di atas trek tersendiri di jalur yang ada tersebut direncanakan berkapasitas 90 orang dan sebagai transisi sebelum membangun kereta bawah tanah.
Namun, ide besar tersebut gagal terwujud karena konsorsium yang ditunjuk, yaitu PT Citra-Summa, tak mampu menyediakan dana pembangunan. Saat itu, diperkirakan biayanya mencapai Rp 90 miliar. Usul bus gandeng asal China (1991) yang saat itu muncul juga hanya sekadar wacana.
Saat rel layang resmi beroperasi pada 1992, Sealand International Group, perusahaan besar dari Hong Kong, berminat membangun jalur kereta api bawah tanah di Jakarta dan beberapa kota lain. Sejumlah gubernur menyambut gembira kabar tersebut. Namun, saat krisis ekonomi menerpa Indonesia pada 1997-1998, Hong Kong batal menanamkan investasinya.
Tak puas dengan berbagai rencana pengembangan transportasi massal, tahun 1993 muncul usulan rencana untuk membangun transportasi LRT. LRT yang direncanakan dibangun menyatu dengan pola KA Jabotabek memakai teknologi baru aeromovel, yakni kereta penumpang yang digerakkan oleh udara.
Tahap pertama (1995-2000) pengembangan LRT ini adalah membangun rel ganda antara Tangerang-Bekasi sepanjang 36,5 kilometer serta Blok M-Jakarta Kota dan simpang Jalan Sudirman-Jalan Casablanca sepanjang 15 kilometer.
Namun, pembangunan jalur Blok M-Kota dikhawatirkan akan mengganggu pengguna gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman-Thamrin. Secara fisik, jalur MRT tersebut akan terdiri atas tiga susun (triple decker), yaitu lantai atas untuk jalan tol, lantai tengah untuk jalur LRT, serta lantai dasar merupakan jalan raya yang sudah ada sekarang.
Masih terkait dengan rencana LRT tersebut, tahap selanjutnya (2000-2005) direncanakan untuk membangun empat jalur baru. Jalur-jalur itu antara lain Tangerang-Bandara Soekarno Hatta-jalur Kelapa Gading, Blok M-Cipete, Ciledug-Blok M. Lima tahun berikutnya hingga 2010 dibangun jalur lingkar layang KA kota Jakarta, jalur Serpong-Pondok Ranji. Fase terakhir hingga 2015 dibangun jalur Pondok Ranji-Serpong, Casablanca-Pasar Minggu, lingkar Casablanca/Sudirman, dan Lingkar Luar Jakarta dengan Bekasi Barat.
Ada tiga konsorsium asing yang berminat membangun jaringan LRT Jabodetabek, yaitu Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Namun, lagi-lagi rencana tersebut tak terwujud karena kendala biaya.
Selanjutnya, pada masa Gubernur Soerjadi Soedirdja, terlontar dua rencana pembangunan angkutan massal, yakni subway (kereta bawah tanah) dan triple decker. Subway direncanakan menghubungkan Kota-Blok M dengan 17 stasiun pemberhentian. Proyek tersebut menurut rencana akan dilaksanakan tahun 1997.
Konsep triple decker membelah Jakarta. Usul yang berasal dari Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar (1996) tersebut menggabungkan sistem LRT yang dikombinasikan dengan jalan layang tol. Sistem tersebut dinilai lebih cocok karena biayanya jauh lebih murah dibandingkan pembangunan subway.
Investasi prasarana subway mencapai Rp 1,5 miliar. Adapun triple decker hanya sekitar Rp 1 miliar (Kompas, 18/3/1996). LRT nantinya masih bisa disubsidi lewat pembangunan jalan layang tol di bawahnya.
Sampai tahun 2001 pada masa pemerintahan kedua Gubernur Sutiyoso, rencana pembangunan triple decker belum juga terwujud. Padahal, transportasi massal tersebut dijanjikan sudah beroperasi pada 2000. Di tengah janji-janji manis tersebut, muncul usulan mengatasi kemacetan Jakarta dengan transportasi massal monorel dan bus transjakarta.
Saat bus transjakarta telah beroperasi selama 6 bulan, Presiden Megawati meletakkan batu pertama tiang pancang pada 12 Juni 2004. Monorel direncanakan dibangun dalam dua tahap. Tahap I: line pertama (east-west) dari Terminal Kampung Melayu (Jakarta Timur) menuju Roxy (Jakarta Barat) dan line kedua (loop) Jalan HR Rasuna Said-Gatot Soebroto-Sudirman Central Business District (SCBD)-Senayan-Pejompongan-Setia Budi. Tahap II: Kampung Melayu-Bekasi. Tahap III: Roxy menuju Tangerang.
Namun, saat mulai proses pembangunannya, berbagai kritik dilontarkan pada angkutan massal monorel. Monorel jalur hijau yang melewati Palmerah-Gelora Bung Karno-Casablanca-Dukuh Atas-Karet-Pejompongan merupakan rute pendek (14 kilometer).
Apakah rute melingkar di kawasan Senayan dan Kuningan ini dibangun untuk menghubungkan dua kawasan bisnis terbesar (SCBD dan Segitiga Kuningan)? Jika memang demikian, apakah monorel bisa menarik pengguna kendaraan pribadi yang sehari-hari bermobilitas di dua kawasan bisnis tersebut?
Pasalnya, survei ITDP (September 2004) menunjukkan jumlah penumpang Mikrolet 44 yang berangkat dari Kampung Melayu melewati Casablanca pada jam sibuk hanya 1.500 orang. Jika monorel jadi, tentunya akan mubazir karena tak bisa menjaring banyak penumpang.
Kedua, monorel tidak bisa mengangkut banyak penumpang karena kapasitasnya yang kecil. Setiap gerbong monorel ditargetkan bisa menampung 125 penumpang. Jika dalam satu perjalanan menarik 5 gerbong, penumpang yang terangkut bisa mencapai 390.000 orang setiap hari (Kompas, 14 November 2012). Bandingkan dengan kereta komuter yang bisa mengangkut 500.000 penumpang per hari.
Belakangan, rencana pembangunan monorel malah tak pernah terwujud sampai sekarang meski tiang pancangnya sudah telanjur berdiri. Faktor ketidakjelasan proyek, dana investasi, serta daya tampung monorel yang lebih kecil membuat proyek ini dibatalkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada September 2015. (LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)