Mengutamakan Keselamatan Penumpang KA
Kereta api memiliki standar tinggi dalam prosedur keamanan dan keselamatan perjalanannya. Dalam pengoperasiannya, sebelum kereta api dijalankan atau diizinkan berangkat, prosedur-prosedur keamanan harus dilewati lebih dulu. Prosedur ini mengikuti kereta api sejak ia keluar dari depo sampai ia masuk kembali ke depo setelah dioperasikan.
Beberapa antara lain, sebelum kereta api dijalankan, petugas akan memeriksa beberapa bagian di perangkai roda (bogie) untuk meyakinkan bahwa kereta aman untuk diberangkatkan. Tidak lupa juga pemeriksaan sistem rem yang selalu dilakukan di tiap stasiun pemberhentian, terlebih bagi kereta penumpang.
Sistem pengereman menjadi salah satu faktor kunci keselamatan perjalanan kereta. Hal ini karena sistem rem di moda transportasi kereta tidak seketika dapat menghentikan laju kereta api yang sedang berjalan. Dengan kecepatan 70 km per jam, diperkirakan kereta api baru bisa berhenti 300 meter setelah sistem remnya bekerja.
Cara kerja sistem penahan laju kereta api juga bergantung pada panjang pendeknya kereta. Untuk kereta dengan delapan rangkaian, sistem rem baru bisa mengerem benar-benar empat detik setelah tuas rem ditarik. Empat detik berarti sekitar 275 meter dan tiga ratus meter kemudian KA baru berhenti sehingga jarak pengereman adalah sekitar 600 meter (Kompas 3/11/1993). Jadi, dapat dibayangkan dampak yang terjadi jika sistem rem kereta api tidak bekerja maksimal.
Hal ini yang terjadi pada kecelakaan kereta api di Taiwan, 21 Oktober 2018. Kurang berfungsinya sistem penahan laju kereta membuat kereta api ekspres Puyuma tidak terkendali dan tergelincir. Sebanyak 18 orang dilaporkan tewas dan hampir 190 orang terluka. Foto-foto yang dimuat di surat kabar setempat memperlihatkan dampak peristiwa kecelakaan yang menimbulkan kerusakan dan jatuhnya korban. Badan kereta jatuh terguling, sedangkan lokomotif mengalami kerusakan di satu sisinya.
Koran The Japan Times menyoroti prosedur keamanan dan keselamatan kereta ekspres tersebut. ”Excessive speed was the main cause of the derailment of a train in Taiwan that killed 18 people and injured scores of others. The driver should have been more careful in controlling the train’s speed and used the brakes to prepare for avoiding danger”.
Saat kejadian, kereta api ekspres Puyuma berangkat dari stasiun di kota Taipe menuju Taitung, salah satu kota di pesisir tenggara Taiwan, dengan penumpang berjumlah 366 orang. Pada jalur lurus, kecepatan rata-rata kereta Puyuma mencapai 150 kilometer per jam.
Kereta sempat dua kali mengalami mati mesin, tetapi kembali dihidupkan. Banyak penumpang sudah menduga bahwa ada gangguan serius pada kereta yang mereka tumpangi. Selama di perjalanan, badan kereta mengalami guncangan yang terjadi berulang-ulang. Berada di dalam badan kereta yang tidak stabil membuat banyak orang panik. Penumpang juga merasakan laju kereta yang terlalu cepat, apalagi mulai memasuki jalur lengkung.
Saat memasuki rel menikung, kecepatan kereta tidak diturunkan. Tidak ada tanda-tanda kecepatan kereta melambat, padahal berada di jalur melengkung. Sesaat kemudian terdengar benturan keras dan semua penumpang terlempar di dalam badan kereta.
Kereta api ekspres Puyuma tergelincir dan menghantam sisi kanan pembatas rel. Badan kereta terempas keluar rel, ada yang terguling ke kiri. Susunan kereta api membentuk pola zig-zag berantakan. Banyak korban terjebak di dalam kereta berteriak minta pertolongan, sebagian lagi berusaha keluar dengan memecahkan kaca kereta.
Hasil penyelidikan
Tragedi ini disebut-sebut sebagai kecelakaan kereta api yang terburuk dalam sejarah perkeretaapian Taiwan sejak 1991. Kecelakaan yang terjadi 27 tahun silam mengakibatkan 33 orang tewas dan lebih dari 100 penumpang luka-luka.
Kecelakaan sebelumnya pernah terjadi pada 1981 yang menewaskan 31 orang dan mencederai 129 penumpang lainnya. Saat itu sebuah KA menabrak bus yang melanggar lampu merah di persimpangan.
Kecelakaan tragis juga pernah menimpa kereta wisata tahun 2003. Saat itu, sebuah rangkaian kereta wisata tergelincir, terguling keluar rel, dan masuk jurang di wilayah kawasan Chiayi, Taiwan Tengah. Akibat kecelakaan itu, 17 orang tewas dan lebih dari 150 orang lainnya luka-luka. Ketika kecelakaan tersebut terjadi, KA wisatawan itu membawa sekitar 170 penumpang.
Hasil penyelidikan otoritas Taiwan, faktor masinis juga berperan dalam insiden kecelakaan kereta api ekspres Puyuma tersebut. Indikasi ini berpijak pada hipotesis usia kereta api tersebut. Dari sisi kebaruan, kereta tersebut relatif masih fresh, dibuat 6 tahun lalu. Transportasi darat tersebut juga didesain untuk melaju di bagian wilayah yang topografinya sulit.
Untuk itulah, penyidikan juga diarahkan kepada masinis kereta tersebut. Dia dituduh lalai karena tidak menjalankan mekanisme penahan laju kereta saat di jalur melengkung sehingga kereta tergelincir.
Namun, masinis menyangkal tuduhan tersebut. Masinis mengatakan telah mengoperasikan penahan laju kereta. Bahkan, saat mengetahui ada masalah dengan sistem motor dalam mesin kereta, dia telah mengoperasikan sistem perlindungan otomatis kereta cepat.
Laporan masinis juga menyebutkan bahwa 20 menit sebelum kejadian naas itu, tekanan udara di dalam rem kereta terlalu rendah sehingga memengaruhi kekuatan untuk mengerem kereta.
Investigasi oleh otoritas Taiwan menemukan kecepatan kereta memang tidak turun saat kejadian. Dalam kondisi normal, kecepatan kereta di rel melengkung maksimum 75 kilometer per jam, tetapi saat kejadian diduga menyentuh angka 80-100 kilometer per jam.
Temuan tersebut menjadi pukulan bagi dunia perkeretaapian di Taiwan. Sistem transportasi massal di Taiwan dikenal sebagai salah satu yang modern di dunia. Perusahaan Kereta Api Cepat Taiwan atau Taiwan High Speed Rail Corp membuat sistem transportasi publik Taiwan menjadi lebih mudah yang menghubungkan kota-kota besar dan kota-kota kecil dengan waktu tempuh yang relatif singkat. Misalnya, rute Taipei dan Kaohsiung yang memiliki jarak sepanjang 345 kilometer. Rute itu dapat ditempuh sekitar 90 menit menggunakan kereta ekspres dengan kecepatan hingga 300 kilometer per jam.
Selain kecepatan, faktor keselamatan dan kenyamanan penumpang menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan oleh pengelola kereta api. Perkembangan teknologi untuk mendukung keselamatan menjadi syarat yang harus dipenuhi.
Salah satu gagasan yang bisa dilirik adalah penggunaan teknologi tilting train, atau kereta dengan bogie yang bisa menyesuaikan dengan tikungan. Jika kereta membelok pada kecepatan tinggi, teknologi ini akan membuat KA tetap seimbang, tidak terlempar oleh pengaruh gaya berat dan penumpang tetap nyaman. Dengan alat tilting, kereta api bisa melaju sampai 80 km per jam.
Teknologi tilting adalah satu dari sekian teknologi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan performa kereta api. Namun, apa pun teknologi yang dikembangkan, utamanya adalah mempertimbangkan faktor keselamatan manusia sebagai prasyarat mengelola transportasi publik. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)