Mencermati Upah Pekerja Kreatif Milenial yang Merosot
Setiap zaman selalu membawa semangat berbeda. Kini semakin banyak kaum milenial bekerja di bidang-bidang baru. Regulasi yang mengakomodasi formulasi standar upah untuk pekerja di sektor kreatif semakin mendesak dipersiapkan.
Jumlah pekerja di sektor kreatif terus meningkat. Publikasi Badan Ekonomi Kreatif menunjukkan, tahun 2016 jumlah pekerja di 14 sektor yang dikategorikan sebagai bidang kreatif telah mencapai hampir 17 juta orang. Lima tahun sebelumnya, jumlah pekerja di sektor ini baru mencapai 13,5 juta orang.
Jika dibandingkan total penduduk bekerja, 14,3 persen dari total 118,4 juta penduduk yang bekerja di tahun 2016 adalah pekerja di bidang ekonomi kreatif. Sementara, lima tahun sebelumnya baru 12,3 persen dari total 109,7 juta penduduk yang bekerja dikategorikan sebagai pekerja di bidang kreatif ini.
Sebagian penduduk usia produktif tersebut masuk dalam kategori yang kini dikenal dengan istilah generasi milenial. Adapun generasi milenial ini lahir antara tahun 1980-an dan 2000-an atau kini berusia lebih kurang 18-38 tahun. Merujuk pada publikasi Badan Ekonomi Kreatif tahun 2016, ada 54 persen dari total 17 juta pekerja bidang kreatif yang masuk dalam kategori usia milenial.
Upah rendah
Peningkatan jumlah pekerja di bidang ekonomi kreatif tidak serta-merta mencerminkan kepastian standar upah.
Mengacu data Badan Ekonomi Kreatif, rata-rata upah pekerja kreatif di bidang fashion tahun 2018, misalnya, hanya 4,5 persen lebih tinggi dari rata-rata upah minimum nasional Rp 1,99 juta per bulan di tahun yang sama. Rata-rata upah pekerja sektor kreatif bidang kriya hanya 0,8 persen lebih baik dari rata-rata UMP. Bahkan di sektor kreatif, kriya kuliner justru 10 persen lebih rendah dari rata-rata UMP tahun 2016 tersebut.
Selain kuliner, rata-rata upah pekerja kreatif bidang fotografi dan seni pertunjukan juga berada di bawah rata-rata UMP. Sebagai catatan, hampir 94 persen pekerja kreatif ini menggeluti bidang kuliner, fashion, dan kerajinan.
Selisih rata-rata upah pekerja di sektor kreatif dengan seluruh sektor ekonomi juga kian senjang. Tahun 2011, pekerja di seluruh sektor ekonomi menerima rata-rata upah Rp 395.000 lebih tinggi ketimbang pekerja di sektor kreatif. Sementara, tahun 2016 pekerja dari seluruh sektor ekonomi menerima rata-rata upah Rp 493.000 lebih tinggi jika dibandingkan pekerja di sektor kreatif.
Jika dibandingkan UMP, selisih rata-rata upah pekerja di sektor kreatif justru semakin turun mendekati UMP. Tahun 2011, selisih antara rata-rata upah pekerja sektor kreatif dan UMP senilai lebih kurang Rp 145.000, sedangkan tahun 2016 selisihnya hanya sekitar Rp 62.000.
Tahun 2014, rata-rata UMP lebih tinggi sekitar Rp 96.000 jika dibandingkan rata-rata upah pekerja sektor kreatif, sedangkan tahun 2015 rata-rata UMP lebih tinggi hingga Rp 202.000.
Aturan upah
Pemerintah sebenarnya telah mengatur standar upah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut dikenal istilah upah minimum, yang dimaksudkan sebagai upah terendah bagi buruh di tingkat terbawah yang masa kerjanya kurang dari satu tahun.
Semangat upah minimum dalam UU adalah standar upah terendah yang diberikan perusahaan bisa menjadi jaring pengaman agar buruh tidak jatuh dalam kemiskinan. Idealnya, upah bidang ekonomi kreatif pun tidak boleh lebih rendah dari standar upah minimum jika tunduk juga pada ketentuan yang sama.
Upah di 14 bidang kreatif itu mencakup turunan subsektor usaha yang beragam. Sebagai contoh, di sektor kuliner mencakup antara lain subsektor kopi yang kini menjamur dengan banyaknya kedai kopi dan barista.
Sampai dengan tahun lalu, pemerintah baru melakukan standardisasi beberapa profesi yang berkaitan dengan bidang industri kreatif. Baru ada lima profesi yang telah memiliki Standar Kerja Kompetensi Nasional Indonesia (SKKNI). Lima sektor profesi yang dimaksud adalah barista, animasi, batik, fotografi, dan junior digital artist.
Ukuran kualitas
Adanya SKKNI merupakan syarat berikut untuk bisa mendapatkan sertifikat profesi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Saat ini, tuntutan ketersediaan tenaga kerja yang memiliki standar kompetensi jelas semakin besar mengingat beragam usaha tidak hanya bersaing dengan usaha sejenis di dalam negeri, tetapi hingga luar negeri atau bahkan di tingkat global.
Penentuan standar kompetensi pekerja, pada gilirannya akan menentukan kualitas pekerjaan dan penentuan standar upah. Kriteria pemberian upah bagi pekerja ditetapkan antara lain berdasarkan satuan hasil mengacu pada Pasal 12 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Pada Pasal 15 Ayat (1) peraturan tersebut, ukuran upah menurut satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati. Istilah hasil pekerjaan yang telah disepakati belum mengatur lebih jelas mengenai standar kuantitas ataupun kualitas. Dalam konteks inilah standar upah pekerja di sektor kreatif menjadi lebih sulit diukur.
Pendidikan dan jender
Ukuran kualitas berkaitan dengan latar belakang pendidikan pekerja di sektor kreatif juga belum memiliki ketentuan yang jelas. Selain diukur lewat satuan hasil, kriteria penentuan upah menurut PP yang berlaku hanya ditetapkan menurut satuan waktu. Padahal, harga pekerja sektor kreatif kini tidak bisa begitu saja diukur lewat pendidikan. Faktor keterampilan (skill) mereka juga semakin menentukan harga dari karya seorang pekerja kreatif.
Sejauh ini terdapat perbedaan perlakuan standar upah antara pekerja bidang kreatif yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah. Tahun 2016, rata-rata upah per bulan yang diterima pekerja sektor kreatif berpendidikan di bawah SMP masih berkisar Rp 1,7 juta, lebih rendah dari rata-rata UMP tahun 2016 Rp 1,99 juta. Pada jenjang pendidikan SMP ke atas, standar upah rata-rata pekerja per bulan telah berada di level upah minimum.
Perbedaan jender juga menjadi persoalan lain yang membayangi pekerja di sektor kreatif. Pekerja bidang kreatif laki-laki selalu menerima upah yang lebih tinggi ketimbang perempuan sepanjang 2011-2016.
Tahun 2011 rata-rata upah pekerja perempuan baru sekitar Rp 993.000, sedangkan rata-rata upah yang diterima pekerja laki-laki mencapai Rp 1,29 juta. Ada selisih sekitar Rp 333.000 antara rata-rata upah pekerja kreatif perempuan dan laki-laki.
Lima tahun kemudian, perempuan menerima upah rata-rata Rp 1,82 juta, sementara laki-laki sudah menerima rata-rata Rp 2,28 juta. Selisih antara upah rata-rata antara laki-laki dan perempuan pada tahun 2016 juga semakin besar, yakni mencapai Rp 462.000.
Sementara, semangat UU Ketenagakerjaan sendiri juga melindungi hak pekerja perempuan. Pasal 5 UU Ketenagakerjaan mengamanatkan setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin. Adapun hak, mengacu pada Pasal 1 UU yang sama, antara lain adalah upah.
Bidang-bidang yang digeluti pekerja kreatif kini juga semakin sulit dibedakan dari sisi jender. Sebagai contoh, penghargaan produk kreatif di bidang fotografi tidak bisa serta-merta ditetapkan lebih murah lantaran pekerjanya adalah perempuan. Sebaliknya, produk kuliner juga tidak bisa dihargai rendah hanya karena kokinya berjenis kelamin laki-laki.
Melihat berbagai fakta di atas, persoalan pengukuran standar upah di sektor mendesak untuk diatur tersendiri. Diperlukan regulasi yang lebih mampu menjawab tantangan inovasi dan kreativitas bidang kerja, tak hanya sekadar merespons persentase kenaikan upah yang tak usai diperdebatkan dari tahun ke tahun. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)