Pil Pahit Media Menyuarakan Kebenaran
Salah satu tugas media massa adalah menyuarakan mereka yang tak mampu menyuarakan pendapatnya karena tekanan berbagai pihak (the voice of the voiceless). Tugas ini tidak mudah dilakukan, karena berhadapan dengan risiko-risiko yang harus ditanggung media, seperti pembredelan dan ancaman kekerasan terhadap jurnalis ataupun editornya.
Risiko tersebut saat ini dialami koran The Daily Telegraph yang mendapatkan perintah pengadilan Inggris untuk bungkam setelah melakukan investigasi mendalam. Namun, beban itu tidak ditanggungnya sendirian. Solidaritas koran-koran Inggris ramai-ramai mendukungnya, menguatkan komitmen menyuarakan kebenaran sekaligus menjaga iklim kebebasan pers.
Setelah kurang lebih delapan bulan melakukan investigasi mendalam tentang kasus tuduhan intimidasi, perundungan, pelecehan seksual, serta tindakan rasis yang melibatkan pengusaha ternama di Inggris, surat kabar The Daily Telegraph diminta untuk diam.
Pengadilan banding Inggris mengeluarkan surat perintah atau injunction yang melarang The Daily Telegraph mengungkapkan hal-hal detail hasil investigasinya, termasuk melarang menyebutkan nama tertuduh.
Situasi tersebut dimulai saat The Daily Telegraph berusaha mengontak sang pengusaha untuk mengonfirmasi temuannya pada bulan Juli 2018. Mengetahui bahwa nama baiknya terancam, sang pengusaha menyangkal dan membela diri. Dia mengadakan perjanjian penyelesaian (settlement agreements) dengan kelima karyawan, korban yang menuduhnya, sehingga persoalan dianggap selesai dan tidak diungkapkan ke publik.
Secara umum, kedua pihak melakukan kesepakatan yang disebut perjanjian yang tak diungkapkan (Non-Disclosure Agreements/NDAs). NDAs sendiri merupakan kesepakatan yang sering digunakan di dalam dunia bisnis untuk melindungi hal-hal komersial yang bersifat rahasia. Akan tetapi, saat ini NDAs sering disalahgunakan untuk menutupi tindakan salah dengan sejumlah besar uang dan untuk mencegah korban kejahatan melaporkan ke polisi.
NDAs inilah yang kemudian dibawa ke pengadilan, dijadikan landasan bagi sang pengusaha untuk membungkam The Daily Telegraph. Sang pengusaha menyiapkan tim pembela yang terdiri dari tujuh pengacara dari kantor pengacara Schillings yang pernah membela banyak pesohor. Para pengacara berusaha meyakinkan hakim agar mengeluarkan surat perintah untuk membungkam The Daily Telegraph. Koran tersebut bersikukuh bahwa publik berhak mengetahui saat seseorang yang berkuasa membungkam mereka yang lemah.
Akan tetapi, tiga hakim pengadilan banding pada 24 Oktober 2018 mengabulkan injunction untuk menghentikan The Daily Telegraph mempublikasikan hasil temuannya. Pengadilan menyebutkan identitas sang pengusaha dengan inisial “ABC” dan menyamarkan tuduhan yang ditujukan kepadanya semata sebagai sebuah tindakan yang memalukan.
Dijelaskan pula bahwa sang pengusaha telah melakukan pembayaran kepada kelima korban dalam jumlah yang besar sebagai bagian dari NDAs sehingga kelima korban tak boleh menyebarkan ke publik. Intervensi pengadilan tersebut menyebabkan pengungkapan identitas sang pengusaha maupun perusahaannya menjadi tidak legal.
The Daily Telegraph juga akan terkena tuntutan hukum apabila menyebutkan kasus yang membelit sang pengusaha, termasuk besaran uang yang dibayarkan terhadap korban dalam NDAs yang telah disetujui.
Akibatnya, artikel hasil investigasi koran tersebut muncul dengan menyisakan banyak teka-teki. Sebagai laporan investigasi, artikel yang diturunkan oleh The Daily Telegraph tetap menyedot perhatian banyak orang. The Daily Telegraph menyebutkan bahwa sang tertuduh merupakan seorang pengusaha ternama di Inggris. Selain itu, surat kabar tersebut juga menceritakan “kekalahannya” di pengadilan karena penggunaan NDAs.
Penggunaan injunction untuk membungkam The Daily Telegraph telah membuat surat kabar lain ikut menyoroti kasus ini karena terkait isu yang lebih mendasar, yakni kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Keputusan injunction tersebut menggarisbawahi bahwa menurut pengadilan banding, kerahasiaan atas suatu kontrak adalah suatu hal yang lebih penting daripada kebebasan berpendapat.
Berbagai spekulasi muncul terkait nama tokoh yang dituduh telah melakukan pelecehan seksual dan tindakan rasis ini. Dua tokoh bisnis terkemuka di Inggris, Lord Sugar dan Duncan Bannatyne bahkan perlu menegaskan di media sosial bahwa mereka bukanlah tokoh yang dimaksud, seperti dilaporkan oleh The Daiy Mail.
Setelah lebih dari 24 jam menjadi teka-teki, identitas sang tokoh terkuak dalam sidang di Parlemen Inggris. Menggunakan hak kuno yang dimiliki oleh anggota Parlemen, Lord Hain menyebutkan identitas sang pengusaha, yakni Sir Philip Green, pemilik Grup Arcadia.
Dalam wawancara dengan BBC pasca sidang, Lord Hain mengatakan bahwa dia merasa harus menyebutkan nama sang pengusaha karena terlibat secara mendalam dengan kasus tersebut. Oleh karena itu, ia merasa berkewajiban untuk mengungkapkan nama menggunakan hak istimewa parlemen yang dimilikinya. Anggota parlemen di Inggris memang memiliki kekebalan hukum yang disebut hak istimewa Parlemen saat berbicara dalam sidang di Parlemen tanpa dituntut karena pencemaran nama baik.
Selain itu, Lord Hain menyatakan bahwa yang menjadi fokus perhatiannya adalah adanya kekayaan dan kekuasaan yang disalahgunakan. Pengungkapan identitas tersebut dirayakan oleh media di Inggris Raya dengan beramai-ramai menjadikannya headline surat kabar mereka dengan berbagai sudut pandang. Komentar berbagai tokoh yang dimuat oleh media di Inggris Raya tersebut dapat dikelompokkan dalam empat topik.
Pertama, mereka yang memanfaatkan peristiwa ini untuk mengkritik pemerintahan Theresa May. Partai Buruh menanggapi pengungkapan identitas Sir Philip Green dengan menebar janji bahwa apabila peraturan saat ini tidak dapat melindungi suara dari para korban, pemerintahan Partai Buruh mendatang akan mengaturnya.
Walaupun pemerintahan Theresa May tidak memberikan komentar terhadap pengungkapan identitas Sir Philip Green di Parlemen, selama ini kebijakan May telah berusaha untuk membatasi penggunaan NDAs untuk menghindari penyalahgunaan. Akan tetapi, usaha tersebut belum disetujui oleh Parlemen.
Kedua, mereka yang mengomentari penggunaan NDAs dalam kasus yang membelit Sir Philip Green. Mereka menunjukkan kegembiraan karena akhirnya identitas Sir Philip Green terungkap. Pada mulanya NDAs memang sangat berguna untuk melindungi suatu rahasia perusahaan, tetapi lama kelamaan digunakan untuk menutupi tindakan tercela yang terjadi di perusahaan.
Isu yang kemudian muncul adalah NDAs digunakan secara semena-mena oleh mereka yang kaya untuk membungkam para korban tindakan tercela dengan sejumlah uang. Isu kesetaraan di hadapan hukum kemudian tercoreng karena kemampuan untuk menutupi berita buruk tentang seseorang tergantung dari kekayaan seseorang.
Ketiga, mereka yang mengomentari persoalan kebebasan pers dalam menyuarakan informasi kepada publik serta munculnya gerakan #MeToo di Inggris. Gerakan #MeToo merupakan gerakan sosial yang mendunia sejak tahun 2017 berhubungan dengan kasus Harvey Weinstein, produser film yang dituduh terlibat kasus pelecehan seksual. Ia juga menggunakan perjanjian NDAs. Untuk menyejajarkan kasusnya, surat kabar The Sun menampilkan foto Sir Philip disandingkan dengan sang produser film.
Gerakan #MeToo menyuarakan pendapat wanita, kaum minoritas, serta karyawan yang diperlakukan semena-mena oleh pemilik kerja. Surat kabar The Daily Telegraph meramalkan bahwa tindakan pengadilan dalam menjatuhkan injunction akan memantik munculnya gerakan #MeToo di Inggris.
Selain menyebutkan bahwa tindakan pengadilan akan memantik gerakan #MeToo, The Daily Telegraph berharap bahwa peristiwa yang dialaminya akan memunculkan perdebatan tentang penggunaan injunction untuk membatasi kebebasan pers di Inggris. Secara sinis, terhadap penggunaan injunction dikomentari bahwa hanya orang yang memiliki kekayaanlah yang dapat membayar untuk memperoleh surat perintah untuk membungkam pers.
Keempat, mereka yang mengomentari status kebangsawanan Sir Philip Green. Surat Kabar The Times dan The Daily Telegraph masuk dalam golongan ini. Para komentator cum anggota parlemen Sir Vince Cable, Frank Field, dan Jess Phillips berseru untuk mencopot gelar kebangsawanan Green apabila tuduhan yang dialamatkan kepadanya kemudian terbukti benar.
Menurut The Guardian dan Daily Express, terhadap pengungkapan identitasnya, Sir Philip Green tidak memberikan komentar apa pun. Di samping itu, ia juga menyangkal segala tuduhan yang diarahkan kepadanya.
Saat ini, Sir Philip Green menghadapi tuduhan pelecehan seksual yang ditutupi dengan NDAs serta injunction terhadap The Daily Telegraph. Penggunaan hak Parlemen oleh Lord Hain dianggap sebagai hal yang positif oleh berbagai pihak untuk mendukung terwujudnya demokrasi di Inggris yang sehat.
Hak istimewa parlemen ini hanya melekat pada anggota parlemen dalam sidang parlemen, tidak selalu termasuk peliputan media yang ikut mengungkapkannya. Akan tetapi, solidaritas media massa membuat hampir seluruh surat kabar di Inggris mengambil risiko memberitakan pengungkapan nama ini.
Wajah Sir Philip Green kemudian menghiasi mayoritas surat kabar yang terbit di Inggris Raya pada 26 Oktober 2018, lengkap beserta pemberitaan terperinci tentang kasusnya. Surat kabar The Express melaporkan bahwa Sir Philip perlu membayar 500.000 pounsterling demi menjaga nama baiknya dari pemberitaan, tetapi sekarang malah mendapatkan pemberitaan bertubi-tubi.
Walau pahit, surat kabar di Inggris telah menjalankan tugas sebagai salah satu pilar demokrasi: memberikan informasi kepada khalayak atas pembungkaman mereka yang tak dapat bersuara. (MAHATMA CHRYSHNA/LITBANG KOMPAS)