Hujan Sumber Utama Pengairan Pertanian Indonesia (1)
Lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura di Indonesia sebagian besar hanya mengandalkan air hujan. Belum semua lahan sawah tanaman pangan memiliki sistem irigasi yang terpadu dan terorganisasi dengan baik. Bahkan, untuk lahan budidaya hortikultura, khususnya tanaman sayuran, hampir dapat dipastikan sebagian besar berpengairan dari turunnya hujan.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, ketersediaan air di seluruh Indonesia mencapai 3,9 triliun meter kubik per tahun. Namun, yang dapat dimanfaatkan baru sekitar 17 persen dari jumlah tersebut atau sebesar 691,3 juta meter kubik per tahun.
Dari air yang bisa dimanfaatkan tersebut baru 25 persen yang sudah termanfaatkan. Itu pun mayoritas sekitar 80 persen untuk irigasi dan 20 persen sisanya untuk kebutuhan lain, seperti rumah tangga, perkotaan, dan industri.
Khusus pengairan irigasi, luas areal yang mampu dialiri air mencapai 7,14 juta hektar. Hanya saja, kondisi jaringan irigasinya rusak sekitar 46 persen sehingga air yang termanfaatkan untuk irigasi hanya untuk luasan sekitar 3,6 juta hektar. Sisanya mengandalkan air hujan, air sumur, atau air sungai yang disedot dengan mesin pompa. Untuk lahan lain yang nonirigasi juga demikian, mengandalkan air dengan teknis serupa, yakni menyedot air dan menunggu hujan tiba.
Berdasarkan laporan statistik pertanian 2017, luas lahan sawah irigasi dan nonirigasi mencapai 8,18 juta hektar. Lahan tegal, kebun, dan ladang mencapai 14,9 hektar. Gabungan dari lahan sawah dan ladang tersebut mencapai luasan 25,8 juta hektar. Dengan luas lahan yang teraliri irigasi sekitar 3,6 juta hektar, artinya lebih dari 20 juta hektar lahan pertanian bersifat tadah hujan.
Luasnya lahan yang bergantung pada air hujan itu menyebabkan ketersediaan produk pertanian, khususnya tanaman pangan dan hortikultura sayuran, menjadi tidak menentu. Pada musim hujan antara Oktober dan April produksinya melimpah, sementara pada masa kemarau antara April dan Oktober produksinya susut drastis.
Dengan kata lain, faktor cuaca sangat berpengaruh pada keberhasilan produksi tanaman ini. Kurangnya debit air hujan menyebabkan produksi tersendat karena kekeringan. Namun, curah hujan yang kadang kala terlalu tinggi juga berdampak negatif pada pertanian. Tanaman menjadi kelebihan kadar air sehingga rawan busuk saat penanaman.
Bahkan, tak jarak beberapa lokasi justru dilanda banjir akibat tingginya curah hujan sehingga menggagalkan panenan. Intinya, pertanian membutuhkan air, tetapi dalam jumlah yang optimal dan terkontrol dengan baik.
Dilema pertanian
Air merupakan unsur penting bagi pertanian. Tanpa air, lahan dapat dilanda kekeringan dan tanah sulit untuk diolah. Namun, curah hujan berdebit tinggi juga sangat berpotensi menjadi ancaman bencana yang sering kali menggagalkan panen. Hal ini terutama pada lahan pertanian yang dekat dengan aliran sungai berdrainase buruk.
Dengan kata lain, keberhasilan produksi pertanian harus disertai dengan kondusifnya faktor alam. Tanpa dukungan faktor alam-lingkungan ini, niscaya produksi pangan akan menghadapi kegagalan. Hal inilah yang paling ditakutkan petani karena bencana kekeringan dan banjir kerap kali tidak bisa diprediksi seiring dengan sering bergesernya permulaan musim hujan dan kemarau akibat anomali cuaca di Indonesia.
Setiap tahun sebagian lahan pertanian selalu dilanda bencana alam banjir dan kekeringan secara rutin. Data yang tersaji berkala di Kementerian Pertanian adalah data banjir dan kekeringan pada lahan sawah yang biasanya ditanami padi saat hujan dan palawija saat musim kemarau. Pada tahun 2014-2017, rata-rata terjadi bencana banjir di lahan sawah seluas 217.300 hektar per tahun.
Dari luasan lahan yang terendam itu, sekitar 27 persen atau hampir 60.000 hektar mengalami gagal panen. Selain banjir, bencana kekeringan juga mengintai begitu memasuki masa kemarau. Rata-rata per tahun kekeringan melanda hingga seluas 313.000 hektar dan menyebabkan puso hingga sekitar 30 persen atau 100.000 hektar. Angka tersebut belum termasuk bencana alam di lahan hortikultura sayuran yang umumnya dibudidayakan di lahan tegalan atau lereng-lereng pegunungan.
Untuk mengantisipasi bencana tahunan itu tidaklah mudah. Petani perlu bantuan dari pihak lain, terutama dari pemerintah, untuk meminimalkan skala bencana dan dampaknya. Pemerintah era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melaksanakan sejumlah kebijakan yang salah satu tujuannya meningkatkan produktivitas pertanian.
Kebijakan tersebut antara lain program peningkatan dukungan kedaulatan pangan, ketahanan air, serta keberlanjutan fungsi infrastruktur sumber daya air. Kebijakan-kebijakan ini merupakan implementasi dari salah satu program Nawacita yang didengungkan sejak rezim ini menjabat. Butir ke-7 Nawacita berbunyi, ”Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Sektor-sektor Strategis Ekonomi Domestik”.
Program ini ditindaklanjuti oleh Ditjen SDA Kementerian PUPR dengan menyiapkan program strategis pada periode 2015-2019. Program itu antara lain pembangunan 65 bendungan baru, pembangunan irigasi untuk mencakup 1 juta hektar luasan baru, rehabilitasi irigasi 3 juta hektar, dan pengendalian banjir sepanjang 3.000 kilometer.
Rencana pembangunan tersebut untuk mengatasi sejumlah persoalan terkait antisipasi ancaman kekeringan karena kurangnya ketersediaan air irigasi persawahan. Selain itu, juga untuk mengendalikan bencana banjir ketika curah hujan melimpah. Hingga kini, setidaknya lahan berpengairan irigasi sudah mencapai luasan 7,14 juta hektar.
Sayangnya, tidak semuanya dalam kondisi baik. Sekitar 46 persen atau 3,29 juta hektar dalam kondisi rusak. Hal ini kian kompleks hambatannya karena hampir 84 persen kerusakan irigasi berada pada kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Jadi, diperlukan koordinasi birokrasi lintas instansi pemerintah yang tidak sederhana.
Kendala tersebut relatif tidak mudah terpecahkan dan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarakat secara luas. Pembangunan waduk atau bendungan saja tak akan cukup memenuhi kebutuhan air untuk irigasi. Dari luasan 7,14 juta hektar areal irigasi, hanya sekitar 11 persen atau 760 hektar yang ketersediaan airnya dapat disuplai dari bendungan.
Sisanya mengandalkan mata air dan sungai yang debitnya tergantung dari musim hujan. Ironisnya, jaringan irigasi yang berasal dari sungai dan mata air itu sebagian belum lengkap sistemnya dan bahkan rawan rusak. Terjangan bencana akibat luapan banjir saat musim hujan berdampak pada kerusakan sejumlah jaringan irigasi yang sudah terpasang.
Kerusakan ini hampir rutin terjadi setiap tahun sebagai akibat perubahan daerah tangkapan air, drainase perkotaan yang buruk, perilaku buang sampah sembarangan, degradasi lingkungan sungai, serta erosi.
Kenyataan itu menyebabkan pertanian berada pada posisi sangat dilematis. Jaringan irigasi yang terpasang belum mampu menyuplai kebutuhan irigasi secara keseluruhan. Jaringan yang terpasang pun rawan rusak apabila musim hujan tiba.
Perlu waktu bagi pemerintah dan masyarakat untuk membenahi itu semua. Jadi, untuk sementara waktu, suplai air di lahan pertanian secara umum masih sangat bergantung pada faktor cuaca, yakni turunnya hujan. (LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)