Pertaruhan Nyawa di Penerbangan Indonesia
Kecelakaan pesawat di perairan lepas pantai Karawang mengingatkan kembali riwayat kecelakaan penerbangan di Indonesia. Walau prosedur detail keselamatan telah dibuat, nyatanya kejadian ini kembali berulang. Peningkatan kualitas operator penerbangan harus menjadi prioritas utama.
Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka. Pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, Senin pagi 29 Oktober 2018. Pesawat ini jatuh ketika sedang melakukan penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang menuju Bandara Depati Amir di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Sebelumnya diketahui pesawat ini hilang kontak dengan Air Traffic Controller (ATC) di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 06.33 WIB, 13 menit setelah lepas landas.
Diperkirakan semua penumpang dan kru pesawat JT 610 menjadi korban. Tidak lama setelah hilang kontak, puing-puing badan pesawat dan sejumlah barang yang diduga milik penumpang ditemukan tim gabungan Basarnas di lepas pantai Tanjung Karawang Senin siang. Menurut manifes dari pihak Lion Air, jumlah penumpang pesawat JT 610 ini sebanyak 188 orang. Rinciannya yaitu 178 penumpang dewasa, 1 anak, 2 bayi, dua pilot, dan lima awak kabin.
Kecelakaan pesawat ini bukan yang pertama di Indonesia. Menilik data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan transportasi udara di Indonesia terus berulang setiap tahun. Sejak tahun 2010 hingga 2016 saja telah terjadi 212kecelakaan penerbangan yang diinvestigasi KNKT. Total kejadian itu terdiri dari 82 kecelakaan dan 130 kejadian serius yang berpotensi menyebabkan kecelakaan. Akibat kecelakaan di kurun waktu itu sebanyak 400 orang tewas dan 115 orang lainnya luka-luka.
KNKT mencatat, sebagian besar kecelakaan penerbangan di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia sebesar 67,1 persen. Setelah itu disusul faktor teknis 15,8 persen, faktor lingkungan 12,3 persen, dan fasilitas sebanyak 4,8 persen. Banyaknya kecelakaan akibat faktor eror manusia ini mengindikasikan kualitas operator penerbangan atau pilot di Indonesia belum maksimal.
Menurut Weigmann dan Shapell (2000), keduanya mengembangkan alat analisa aspek faktor manusia dalam penerbangan, faktor eror pilot dapat dibagi menjadi tiga yaitu eror keterampilan dasar, eror pengambilan keputusan, dan eror perseptual. Contoh eror keterampilan dasar seperti mengacuhkan setiap prosedur penerbangan dan teknik kontrol pesawat yang buruk. Eror pengambilan keputusan dapat berupa salah respon ketika terjadi keadaan darurat dan manuver yang tidak tepat. Sementara eror perseptual berupa salah pengukuran jarak/ketinggian/kecepatan dan diorientasi lokasi.
Sementara itu, kejadian pesawat tergelincir di landasan pacu menjadi bagian terbesar jenis kecelakaan penerbangan selama tahun 2010 hingga 2016 sebanyak 40,1 persen. Jenis kedua adalah controlled flight into terrain (CFIT) atau menabrak daratan walau pesawat dalam kondisi laik terbang sebanyak 10,8 persen. Ketiga, gangguan/kerusakan sistem atau komponen mesin pesawat (jet) sebanyak 9,4 persen. Keempat, gangguan/kerusakan sistem atau komponen non-mesin pesawat 8,5 persen. Kelima, gangguan kontak dengan ATC sebanyak 7,1 persen. Selain itu, masih ada 24,1 persen yang terdiri dari berbagai kejadian lainnya.
Kejadian tergelincirnya pesawat Trigana Air di Bandara Wamena, Papua pada 13 September 2016 salah satu contohnya. Pesawat kargo ini terbang dari Bandara Sentani, Jayapura dan tergelincir ketika mendarat di Bandara Wamena pukul 07.30 WIT. Pesawat ini tergelincir karena terjadi kerusakan di kedua roda pendaratan utama. Ketika kejadian, pesawat membawa 14,9 ton kargo yang berupa BBM dari Pertamina. Tidak ada korban jiwa di kecelakaan ini.
Kejadian CFIT juga pernah terjadi ketika pesawat Sukhoi tipe RRJ-95B menabrak Gunung Salak di Jawa Barat pada 9 Mei 2012. Di hari itu pesawat sedang melakukan penerbangan demonstrasi dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Kecelakaan ini terjadi karena pilot membaca informasi di layar pesawat yang ternyata tidak sesuai dengan kondisi topografi wilayah terbang. Sebanyak 45 orang yang terdiri dari 41 penumpang, 1 teknisi, 1 navigator, dan 2 pilot tewas akibat kejadian ini.
Sementara gangguan/kerusakan sistem atau komponen pernah terjadi ketika pesawat AirAsia jatuh di lepas pantai Tanjung Pandan, Belitung pada 28 Desember 2014. Pesawat ini jatuh ketika bertolak ke Bandara Changi, Singapura dari Bandara Juanda di Surabaya. Berangkat dari Surabaya pukul 05.20 WIB, pesawat ini hilang kontak dengan ATC pukul 07.24 WIB. Kecelakaan ini terjadi karena kerusakan sistem elektronik yang menyebabkan kegagalan rudder travel limiter unit (RTLU), sistem kendali yang mengatur sudut derajat belokan dan kecepatan pesawat. Sebanyak 156 penumpang dan 6 kru pesawat tewas akibat kecelakaan ini.
Aturan Keselamatan
Keselamatan penumpang penerbangan sipil sesungguhnya telah diatur dengan ketat dalam konvensi-konvensi internasional dan peraturan perhubungan darat Indonesia. Konvensi penerbangan internasional (Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1928, dan Konvensi Chicago 1944) yang merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional mengatur keselamatan penerbangan menurut Internasional Civil Aviation Organization (ICAO).
Bahkan, implementasi dari Konvensi Chicago 1944 ICAO mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang wajib dilakukan oleh awak pesawat, pilot maupun penumpang yang diikuti oleh setiap negara yang tergabung dalam organisasi ini. Namun, pengabaian dan ketidakhati-hatian seringkali menjadi penyebab kecelakaan pesawat, selain karena kondisi alam yang buruk.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan beserta peraturan pelaksanaanya mengatur pembuatan, pengoperasian, perawatan, pemeliharaan pesawat udara harus memenuhi persyaratan sesuai kelaikan terbang di udara.
Aturan soal ruang udara juga telah diatur sejak Regional Air Navigation Meeting di Bangkok tahun 1993. Sehingga, pesawat dilarang terbang di luar jalur yang ditetapkan. Lebih detail, pola lalu lintas pesawat diatur juga dalam Civil Aviation Safety Regulation (Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 94 Tahun 2015) yang menyebut bahwa setiap operasi pesawat di ruang udara harus sesuai kelasnya baik di rute nasional maupun internasional, kecuali jika diizinkan oleh Air Traffic Controller.
Ketentuan pesawat yang dapat dioperasikan juga telah diatur dalam CASR dimana pesawat harus memiliki sertifikat kelaikan udara yang dievaluasi validitas ulang masa berlakunya. Evaluasi dilakukan untuk mencegah kecelakaan akibat kondisi pesawat yang tidak memenuhi syarat dari segi pembuatan, perawatan, pengoperasian, serta penyimpanan yang telah direkomendasikan ICAO sehingga harus memiliki sertifikat kelaikan udara.
Keselamatan penerbangan juga sangat bergantung dari kualitas dan disiplin awak pesawat, kesadaran penumpang atas pentingnya keselamatan penerbangan serta faktor kondisi alam. Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah direkomendasikan ICAO seringkali menjadi penyebab kecelakaan pesawat.
Awak pesawat harus memiliki keterampilan secara profesional sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan atau CASR. Mereka harus memiliki sertifikat kompetensi yang didapatkan lewat pendidikan dan pelatihan yang teruji oleh pemerintah. Sertifikat kompetensi dapat ditinjau dalam jangka waktu tertentu. Artinya, jika pemilik sertifikat kompetensi melanggar ketentuan maka masa berlaku sertifikat tidak dapat diperpanjang. Awak pesawat baik yang di darat maupun di dalam pesawat wajib membantu Pilot in command atau Kapten Pilot dalam melaksanakan tugasnya selama penerbangan berlangsung termasuk memeriksa kesesuaian manifes penumpang dengan data riil penumpang di pesawat.
Pengoperasian pesawat oleh Kapten Pilot menempati posisi penting dalam penerbangan. Sebelum tinggal landas, Kapten Pilot harus berkomunikasi dengan briefing offices dan mengisi rencana penerbangan. Khusus terkait pesawat, seorang Kapten Pilot juga harus memeriksa kondisi fisik pesawat apakah layak terbang, memeriksa pemuatan barang, melakukan cek terhadap panel-panel di ruang kemudi, dan berkoordinasi dengan awak ruang kemudi lain. Persiapan dilanjutkan dengan meminta persetujuan tinggal landas dan mempersiapkan langkah-langkah pendaratan darurat dengan tak henti tetap berkomunikasi dua arah dengan Air Traffic Controller. Pengecekan dan pemeriksaan yang tidak teliti akan mengakibatkan kecelakaan dalam penerbangan.
Saat mengendalikan pesawat, Kapten Pilot juga harus selalu mengecek temperatur udara yang memengaruhi kinerja mesin, terutama saat lepas landas. Masalah di bagian ini dapat menyebabkan roda pesawat tergelincir. Pendaratan pesawat, termasuk pendaratan darurat harus diberitahukan terlebih dahulu oleh pilot kepada penumpang.
Kewajiban penumpang juga diatur dalam aturan keselamatan penerbangan. Kewajiban ini mencakup sikap dan barang bawaan penumpang sebelum dan selama penerbangan. Setiap penumpang harus diperiksa melalui alat deteksi maupun pemeriksaan badan saat tiba di bandara. Di dalam pesawat, penumpang dilarang membawa senjata tajam dan barang berbahaya lainnya. Larangan mengaktifkan telepon seluler dalam penerbangan sipil juga selalu diingatkan awak pesawat.
Saat hendak tinggal landas dan pendaratan, penumpang wajib menegakkan kursi, tidak boleh di kamar kecil, tidak merokok, mengencangkan sabuk keselamatan, melipat meja di depan kursi untuk menghindari kecelakaan. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi hukum berupa pidana penjara. Namun, seringkali pengabaian akan kewajiban penumpang pun masih sering terjadi dalam penerbangan sipil di Indonesia. (Susanti Agustina S./Albertus Krisna/Litbang Kompas)