Mencermati Fase Kritis Penerbangan
Beberapa tahapan akan dilalui pesawat dalam satu proses penerbangan. Mulai dari pesawat bergerak dari posisi statis (taxy), kemudian lepas landas, menaik, terbang jelajah, menurun, hingga mendarat (landing). Seluruh rangkaian fase penerbangan ini memiliki risiko.
Namun, berdasarkan analisis perusahaan dirgantara Boeing, dua momen yang sangat krusial dalam penerbangan adalah saat pesawat terbang akan lepas landas dan mendarat.
Data penerbangan sepanjang 2007-2016 yang dicatat Boeing menunjukkan, sebanyak 61 persen kecelakaan pesawat terbang terjadi pada saat pesawat akan lepas landas atau mendarat.
Jika dirinci, potensi kecelakaan fatal saat fase lepas landas mencapai 13 persen, sedangkan saat fase mendarat sebesar 48 persen. Kekuatan mesin pesawat sangat diuji pada dua fase ini karena posisi pesawat menukik naik dan turun yang sebelumnya berada di posisi elevasi stabil.
Tahap take off adalah suatu proses dari pesawat statis mengambil ancang-ancang, kemudian rolling (meluncur) dan lift off sampai ketinggian 1.500 kaki (Kompas, 18/9/1992).
Fase lepas landas terdiri dari tahapan take-off run dan take-off flight path, sedangkan fase mendarat terdiri dari final approach dan landing. Pada waktu pesawat mulai bergerak maju di landasan pacu untuk lepas landas, pesawat sedang berada pada beberapa konfigurasi, antara lain semua mesin sedang mengeluarkan tenaga maksimum.
Beberapa kecelakaan penerbangan terjadi saat fase lepas landas. Pada 1974, pesawat DC-10 milik Turkish Airlines jatuh di hutan sesaat setelah lepas landas dari Bandara Orly, Paris, menewaskan 346 orang.
Tiga tahun kemudian, 583 orang tewas setelah dua Boeing 747—milik KLM Royal Dutch Airlines dan Pan American—tabrakan dan terbakar di landasan pacu Santa Cruz de Tenerife, Kepulauan Canary.
Selanjutnya, pada 1979, pesawat DC-10 milik American Airlines jatuh saat lepas landas di Bandara Chicago setelah satu mesinnya jatuh, 273 orang tewas. Tragedi juga menimpa penerbangan Concorde Air France pada 2000. Pesawat jatuh dua menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Charles de Gaulle, Paris. Sebanyak 113 orang tewas dalam peristiwa ini.
Tak hanya di luar negeri, kecelakaan pesawat di seputar fase lepas landas juga terjadi di dalam negeri. Penerbangan Mandala tertimpa naas pada 2005. Pesawat dengan 112 penumpang dan 5 awak ini jatuh setelah lepas landas dari Bandara Polonia, Medan.
Kecelakaan yang menimpa pesawat Lion Air PK-LQP pada 29 Oktober lalu mengingatkan juga pada fase penting penerbangan. Walaupun sesungguhnya sudah melewati waktu kritis take off, tragedi tersebut tidak bisa dilepaskan dari fase awal penerbangan.
Pesawat diduga jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, setelah 13 menit lepas landas. Pesawat ini membawa 189 penumpang dari Jakarta menuju Pangkal Pinang.
Koran The Courier Mail, China Daily, dan Arab News menyoroti fase 13 menit tersebut dalam ulasannya. Terlebih, dalam rentang waktu 13 menit tersebut ada permintaan pilot untuk kembali ke bandara awal (return to base). ”The Boeing 737 MAX 8 plane is reported to have requested to return to the airport before it lost contact with the air controller”, tulis Arab News.
Harian The New York Times mempertajam bahwa ada kejanggalan pada fase awal penerbangan tersebut. Mengutip data dari lembaga pelacakan penerbangan FlightRadar24, disebutkan ada ”peningkatan kecepatan” dan ”tingkat kecepatan tinggi” dari transmisi terakhir pesawat. Data yang dirilis FlightRadar24 menunjukkan penerbangan mulai bergerak dan awalnya naik ke ketinggian normal.
Namun, dalam beberapa menit, pesawat tiba-tiba jatuh 500 kaki dan membelok ke kiri dalam pola penerbangan yang tidak biasa. Pesawat kemudian naik dan turun sebelum apa yang tampak sebagai penurunan tajam ke Laut Jawa.
Lebih lanjut diuraikan The New York Times, jalur penerbangan yang tidak menentu membuat kecurigaan adanya masalah dengan sistem pitot-static. Sistem ini mengacu pada instrumen yang digunakan untuk mencatat kecepatan dan ketinggian udara penerbangan.
Mencermati rekam penerbangan pesawat Lion Air dari FlightRadar24, terlihat hingga 13 menit setelah lepas landas pergerakan pesawat tidak stabil, sempat turun dari ketinggian 5.350 kaki ke 4.500 kaki. Pesawat tidak mampu naik atau melakukan fase climb. Pesawat sempat naik lagi, tetapi sudah tidak mampu mempertahankan posisi.
Akhirnya, pada ketinggian 4.850 kaki, pesawat hilang kendali dan jatuh. Ujung pergerakan ketinggian dan kecepatan memperlihatkan posisi pesawat yang terus jatuh. Data terakhir yang terekam, posisi pesawat berada di ketinggian 3.650 kaki dengan kecepatan yang terus bertambah.
Jeda waktu antara lepas landas dan jatuhnya pesawat berkisar 10-13 menit. Pada penerbangan normal, rata-rata ketinggian pesawat sudah mencapai 24.000 kaki atau 7,3 kilometer di atas permukaan laut. Namun, pesawat Lion Air PK-LQP itu hanya mampu mencapai ketinggian 5.450 kaki atau 1,7 kilometer di atas permukaan laut.
Di balik fase kritis penerbangan, banyak faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan. Tidak ada satu kecelakaan yang disebabkan oleh faktor tunggal. Oleh sebab itu, investigasi harus dilaksanakan dengan cermat dan menggunakan teknologi tinggi.
Namun, melihat sejarah kecelakaan pesawat, ada beberapa faktor yang berpengaruh, seperti kelalaian manusia, gangguan mesin, kondisi medan dan cuaca, serta potensi sabotase.
Menurut data PlaneCrashInfo yang dikumpulkan sejak tahun 1960 hingga 2015, penyebab kecelakaan pesawat paling dominan adalah kelalaian manusia, sekitar 60 persen. Faktor penyebab gangguan mesin 18 persen, sedangkan kondisi cuaca hanya 6 persen.
Melihat data ini, keselamatan penerbangan merupakan rangkaian yang saling berhubungan. Keselamatan membutuhkan dukungan atau back-up sistem, perawatan berkala memadai, serta pelatihan awak kokpit dan unsur pendukung darat.
Rambu-rambu lainnya antara lain peraturan standar internasional yang diberlakukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dalam upaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Faktor yang ditekankan adalah perawatan. Dalam catatan Kompas, secara umum pemeriksaan bisa digambarkan dengan teknisi maskapai yang setiap hari beberapa kali akan memeriksa pesawat secara visual walk around. Ia memeriksa apakah ada kebocoran oli, retak, penyok, dan masalah permukaan lain.
Setiap tiga atau lima hari, teknisi pesawat akan memeriksa sistem kontrol, antara lain flaps, kemudi, perangkat roda pendarat, sistem oksigen, penerangan dan auxiliary power unit atau generator listrik.
Lalu, setiap delapan bulan sistem kendali internal, sistem hidrolis, dan peralatan darurat yang terdapat di kokpit dan kabin diperiksa dengan saksama. Kemudian, setiap 12-17 bulan, awak pesawat dengan alat canggih memeriksa keausan, korosi, dan retak yang tidak bisa dilakukan dengan mata telanjang.
Di sisi lain, walau semua sudah amat regulated, dengan surat approval yang harus melengkapi setiap suku cadang, masih juga ada bogus part atau suku cadang palsu menyelundup ke tubuh pesawat. Komponen yang diragukan kualitasnya ini turut menyumbang kecelakaan fatal pesawat (Kompas, 25/2/2000).
Standar keselamatan penerbangan ini harus terus dipelihara. Maskapai penerbangan Indonesia pernah punya pengalaman buruk dimasukkan dalam Daftar Keselamatan Penerbangan Uni Eropa pada 2007 karena tidak memenuhi sejumlah aturan keselamatan penerbangan. Indonesia mendapat nilai minim dari ICAO karena performa otoritas, perizinan, bandara, dan rendahnya kapabilitas infrastruktur penerbangan.
Faktor mendapat pengakuan dari dunia internasional menjadi prestasi tersendiri bagi kinerja maskapai penerbangan nasional. Namun, lebih dari itu, keselamatan dan kenyamanan penumpang harusnya menjadi hal utama pelayanan penerbangan Nusantara. Itulah fase kritis penerbangan dalam arti sesungguhnya. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)