Jalan Panjang Jakarta Membangun Angkutan Massal Rel (3)
Akhirnya, setelah puluhan tahun rencana pembangunan transportasi massal tak pernah terlaksana di Jakarta, pada tahun 2004 lahir konsep angkutan massal berbasis jalan raya yang kemudian dianggap lebih sesuai. Moda yang menggunakan jalur khusus di jalan raya ini bernama bus transjakarta.
Bus transjakarta dipilih oleh Gubernur Sutiyoso saat itu karena biayanya lebih murah dibandingkan monorel atau MRT. Berdasarkan buku Busway, Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta (Dagun, 2006), per kilometer bus transjakarta membutuhkan dana 0,8 juta-2 juta dollar AS.
Nilai ini sangat murah dibandingkan monorel atau MRT. Sebagai perbandingan, ongkos membangun MRT di Singapura yang per kilometer bernilai 45 juta-105 juta dollar AS setara dengan biaya membangun bus transjakarta sepanjang 135 kilometer.
Meski murah, sejumlah pihak mengkhawatirkan kehadiran bus transjakarta akan menimbulkan kemacetan baru karena memakai satu jalur pada ruas jalan raya. Alasan lainnya, kapasitas bus ini jauh lebih rendah dibandingkan MRT atau monorel.
Kapasitas bus sekali angkut sebanyak 85 penumpang, sedangkan kereta komuter bisa mengangkut 1.000 penumpang dalam satu rangkaian. Namun, saat itu Dinas Perhubungan DKI Jakarta meyakinkan bahwa meski kapasitasnya lebih sedikit, ketersediaan armada yang banyak serta waktu tunggu yang berkisar 25 detik akan bisa menyamai kemampuan angkutan berbasis rel.
Soal menimbulkan kemacetan, Dinas Perhubungan yakin, jika kebijakan push and pull berjalan, hal itu tidak akan berdampak pada kondisi lalu lintas. Kebijakan tersebut berupaya menekan penggunaan kendaraan pribadi agar keluar dari sistem jaringan jalan dengan menyediakan angkutan bus dan pengumpan yang mampu menarik mereka agar beralih ke angkutan umum.
Sampai tahun 2018, bus transjakarta telah melayani 13 koridor (210 kilometer) dan sejumlah rute untuk menghubungkan antarkoridor bus transjakarta, halte bus dengan stasiun, Bodetabek dengan Jakarta. Singkat kata, manajemen bus transjakarta terus meningkatkan pelayanan dengan penambahan armada, kualitas bus dan sarana penunjang seperti halte, serta waktu tunggu yang semakin singkat.
Awalnya, peningkatan jumlah penumpang tidak terasa signifikan. Hanya saja, setelah kebijakan ganjil genap saat pelaksanaan Asian Games pada 1 Agustus-1 September 2018, jumlah penumpang bus transjakarta meningkat signifikan. Warga pengguna kendaraan pribadi mulai beralih menggunakan bus transjakarta dan angkutan umum lain seperti komuter untuk bermobilitas.
Catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menunjukkan perubahan signifikan tersebut. Sebelum kebijakan ganjil genap diberlakukan (Juni 2018), jumlah penumpang bus transjakarta 2,8 juta dan bus transjabodetabek premium 13.588 orang. Setelah kebijakan diberlakukan, penumpang transjakarta naik menjadi 4 juta dan transjabodetabek 19.949 orang.
Kebijakan push and pull mulai menunjukkan hasil. Strategi pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan sistem ganjil genap yang menjadi kebijakan push mendorong warga untuk menggunakan angkutan umum. Dorongan ini akan semakin menguat jika tahun 2019 kebijakan jalan berbayar juga diterapkan pada sejumlah ruas jalan tertentu. Warga akan semakin enggan menggunakan kendaraan pribadi.
Namun, kebijakan push tersebut juga harus diimbangi dengan kebijakan pull dengan penambahan armada angkutan umum serta kualitasnya. Angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu akan menarik warga untuk menggunakannya, meski terkadang naik angkutan umum mengharuskan warga untuk berpindah dua hingga tiga moda.
MRT dan LRT
Setahun setelah bus transjakarta beroperasi, usulan membangun angkutan massal berbasis rel MRT kembali mencuat. Saat itu, Presiden menegaskan, proyek MRT Jakarta merupakan proyek nasional. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian bergerak dan berbagi tanggung jawab. Pencarian dana pinjaman disambut oleh Pemerintah Jepang.
Akhirnya, pada 10 Oktober 2013, proyek MRT diresmikan dengan proses peletakan batu pertama oleh Gubernur Joko Widodo di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. PT MRT Jakarta bertindak selaku penanggung jawab proyek yang akan selesai pada 2018.
Proyek kereta yang bisa mengangkut 200.000 hingga 300.000 penumpang per hari ini memiliki panjang bentangan ke koridor selatan-utara dan timur-utara 110,8 kilometer. Pembangunan MRT akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap I Lebak Bulus-Bundaran HI dan tahap II Bundaran HI-Kampung Bandan.
Diperkirakan MRT tahap I siap beroperasi pada Maret 2019. Hingga 30 September 2018, konstruksi sipil telah menyelesaikan 96,53 persen dengan rincian jalur layang mencapai 95,36 persen dan jalur bawah tanah 97,71 persen. Uji coba kereta pun dilakukan 13 Agustus 2018 dari Stasiun Lebak Bulus hingga Fatmawati. Uji coba terus dilakukan untuk menguji performa percepatan dan pengereman.
Tiap rangkaian MRT terdiri atas 6 kereta yang melewati 6 stasiun bawah tanah dan 10 jalur layang. Setiap hari akan dilayani oleh 16 rangkaian sehingga diperkirakan MRT bisa menampung 130.000 penumpang per hari.
Waktu tempuh Lebak Bulus-Harmoni sekitar 30 menit dan waktu tunggu kereta direncanakan rata-rata tiap 5 menit. Proyek MRT terus berbenah hingga direncanakan bisa digunakan pada Maret 2019. Penyempurnaan terus dilakukan khususnya pada pembangunan stasiun dan kawasan transit oriented development (TOD) di Dukuh Atas.
Informasi mengenai MRT terus disebarluaskan kepada warga Jabodetabek melalui berbagai media. Tujuannya sebagai kampanye untuk menggunakan MRT jika beroperasi pada tahun 2019.
Informasi mengenai MRT bisa dilihat di laman jakartaMRT.co.id dan aplikasi MRT di Play Store yang berisi cara menggunakan MRT, waktu tempuh, cara menuju stasiun, hingga tempat-tempat menarik di sekitar stasiun. Kampanye terus dilakukan melalui peluncuran logo MRT: Marti, pertengahan Agustus lalu, hingga kunjungan ke sejumlah sekolah lewat program ”MRT Goes to School”.
Proyek LRT
Adapun proyek LRT baru diresmikan 9 September 2015 oleh Presiden Joko Widodo di Gerbang Tol TMII, Jakarta Timur. Proyek kereta ringan ini dibangun oleh pemerintah pusat yang menitikberatkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kawasan Cibubur, Bogor, dan Bekasi.
Pemprov DKI Jakarta juga membangun LRT di dalam kota Jakarta dengan rute yang direncanakan Kebayoran Lama-Kelapa Gading, Tanah Abang-Pulo Mas, Joglo-Tanah Abang, Puri Kembangan-Tanah Abang, Pesing-Kelapa Gading, Pesing- Bandara Soekarno Hatta, dan Cempaka Putih-Ancol.
Untuk jangka pendek, disiapkan terlebih dahulu rute dalam kota Kelapa Gading-Velodrome untuk membantu transportasi atlet Asian Games dan rute Cibubur-Cawang, Bekasi Timur-Cawang, dan Cawang-Dukuh Atas. Namun, rute Kelapa Gading-Velodrome belum bisa digunakan karena masih 89 persen.
Diharapkan kereta ringan dan kereta berat bisa berkolaborasi bersama. Kereta ringan yang berkapasitas hanya 400 penumpang dalam setiap rangkaiannya bisa menjadi pengumpan bagi angkutan massal MRT yang berkapasitas lebih besar, yakni 1.950 penumpang per rangkaian. Namun, fasilitas pendukung kedua moda massal ini, seperti stasiun, jumlah armada, dan sistem tiket, haruslah nyaman, mudah diakses, serta murah.
Selanjutnya, kedua angkutan massal yang beroperasi bersamaan ini bisa terintegrasi dengan angkutan massal yang sudah ada, yakni bus transjakarta dan kereta komuter. Tahun 2019 menjadi penentu, apakah moda massal yang telah beroperasi mampu menarik minat pengguna kendaraan pribadi sehingga berdampak pada berkurangnya kemacetan lalu lintas. (LITBANG KOMPAS)