Menilik Era Baru Upah Buruh
Kriteria penetapan upah buruh kini berubah. Kebutuhan hidup layak yang sebelumnya menjadi komponen vital penetapan upah minimum dikoreksi melalui inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Perubahan ini memberikan kepastian bagi pengusaha, tetapi belum tentu juga menguntungkan. Buruh pun berada dalam posisi yang semakin rentan.
Penetapan upah minimum selalu diikuti dengan protes dari serikat buruh setiap tahun. Protes tersebut beberapa kali diikuti dengan unjuk rasa besar. Salah satunya terjadi pada 2013, ketika terjadi demonstrasi besar buruh di 7 kabupaten/kota dan 2 provinsi berkaitan dengan upah minimum.
Menurut buruh, idealnya komponen KHL meliputi 84 kriteria, sedangkan rekomendasi upah minimum dari Dewan Pengupahan masih berpegang pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 7/2013 dengan 60 kriteria. Pada 1 Mei 2013, buruh kembali menjalankan unjuk rasa dengan tuntutan yang sama.
Unjuk rasa buruh terus terjadi setelah 2013. Sampai tahun ini, unjuk rasa buruh masih terjadi di sejumlah wilayah, seperti di Kota Surabaya, Kota Semarang, Kota Bandung, hingga di Ibu Kota. Sejumlah demonstrasi tersebut mengangkat berbagai persoalan buruh, antara lain tentang perusahaan yang masih memberikan upah di bawah standar minimum, kesenjangan upah antara wilayah dan penolakan peraturan pemerintah yang mengubah cara perhitungan upah minimum.
Beda penafsiran
Pengertian upah minimum yang dimaksud dalam Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya adalah upah terendah bagi buruh di tingkat terbawah yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Semangat dari UU tersebut bertujuan agar standar upah terendah yang diberikan perusahaan bisa menjadi jaring pengaman agar buruh tidak jatuh dalam kemiskinan.
Namun, persoalan upah menjadi hal sensitif bagi pengusaha karena berdampak pada biaya sumber daya manusia. Jika sebuah perusahaan mengikuti kenaikan standar upah minimum tertentu, konsekuensi logis yang harus ditanggung perusahaan adalah menaikkan juga upah kepada buruh yang bekerja lebih lama atau jabatannya lebih tinggi.
Persoalan lain adalah upah minimum juga dipersepsikan oleh pengusaha sebagai tingkat upah buruh. Artinya, pengusaha bersangkutan merasa telah memenuhi ketentuan berlaku tanpa mempertimbangkan tingkat jabatan atau masa kerja jika mereka telah membayar upah sesuai standar minimum.
Sementara ukuran yang dipakai untuk menentukan standar upah minimum juga terus berubah dan belum sepenuhnya disepakati berbagai pihak, khususnya pengusaha dan serikat buruh.
Perubahan ukuran
Mulai tahun depan, pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan tersebut diambil dengan dasar perhitungan sesuai Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Dalam dua peraturan tersebut, penentu kenaikan upah minimum adalah penjumlahan dari tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi di tahun berjalan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi nasional September 2017-September 2018 tercatat sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,15 persen. Penjumlahan dari angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi inilah yang menghasilkan kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen.
Keluarnya PP dan Permenaker tersebut mendapat penolakan dari buruh. Dari sisi buruh, peraturan tersebut tidak mengatur tentang pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak. Hal ini bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 89 Ayat (2) UU 13/2003 mengamanatkan adanya upah minimum yang diarahkan pada pencapaian KHL.
Sebelum keluarnya PP dan Permenaker tersebut penghitungan kenaikan upah minimum selalu didasarkan pada standar kebutuhan hidup layak atau KHL. Adapun KHL merupakan perkembangan dari kebutuhan hidup minimum (KHM) yang mulai ditetapkan pemeerintah pada 1995.
Saat itu, standar KHM dihitung atas dasar 43 komponen yang terdiri atas empat kelompok, yakni makanan dan minuman, perumahan, sandang dan aneka kebutuhan. Pada 2005, istilah KHM dihapuskan dan digantikan oleh KHL yang mencakup 46 komponen kebutuhan hidup layak. Jumlah komponen KHL itu kemudian direvisi lagi menjadi 60 komponen pada 2012. Pada Mei 2014, serikat buruh mengusulkan agar pembentuk besaran KHL itu kembali ditambah menjadi 84 komponen.
Kepastian usaha
Penafsiran dan pengukuran atas upah minimum masih menjadi pertentangan hingga kini. Dari sisi pemerintah, hadirnya PP No 78/2015 memastikan upah akan terus naik tanpa ada desakan dari pekerja. Bagi pengusaha, kenaikan upah menjadi mudah diprediksi. Nilai upah yang terlalu fluktuatif rentan menggoncang dunia usaha sehingga rentan berujung pada PHK.
Semangat KHL dalam PP No 78/2015 dijabarkan secara implisit, yakni memasukkan faktor pendapatan non-upah tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap seperti THR atau bonus. Dari sisi buruh, hal inilah yang menjadi salah satu keberatan mereka.
Selain itu, amanat UU Ketenagakerjaan tentang upah minimum yang diarahkan pada pencapaian KHL belum jelas jalan keluarnya. Dalam konteks ini, cara penghitungan upah minimum yang baru memang tidak menjelaskan secara tegas mengenai kedudukan KHL.
Sementara itu, data yang digunakan oleh Dewan Pengupahan Nasional, merujuk pada Pasal 43 Ayat (7) PP No 78/2015, bersumber dari data yang diolah oleh lembaga yang berwenang di bidang statistik. Paling tidak, ketentuan ini bisa dimaknai bahwa Dewan Pengupahan tidak lagi melakukan survei KHL.
Adapun keanggotaan Dewan Pengupahan, mengacu pada Pasal 98 Ayat (2) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain melibatkan unsur serikat pekerja/buruh. Jika data bersumber dari lembaga bidang statistik saja, secara implisit ruang bagi serikat pekerja/buruh untuk bernegosiasi akan semakin sempit karena mereka seharusnya juga merujuk pada sumber data yang sama.
Boleh jadi, ruang bernegosiasi dari unsur serikat pekerja/buruh juga akan semakin sempit mengingat Pasal 43 Ayat (5) UU No 13/2003 mengamanatkan tinjauan atas KHL dilakukan lima tahun sekali. Pendek kata, persoalan posisi KHL dalam konteks upah minimum memang menjadi hal yang tak mudah dinafikan dengan membuat ukuran baru pengupahan.
Kinerja perusahaan
Pada sisi lain, penentuan upah minimum dengan model lama memberatkan sejumlah pengusaha. Hasil survei KHL 60 komponen yang menentukan besaran UMP 2013 saja menyebabkan ada pengusaha yang akhirnya belum menjalankan kewajiban membayar upah sesuai ketentuan minimum.
Pengusaha yang yang melanggar lalu berhadapan dengan hukum pidana. Sanksi pidana pertama dialami salah seorang pengusaha skala menengah (mempekerjakan buruh di bawah 100 orang) di Surabaya yang divonis satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta (Kompas, 25/4/2013).
Lantas, apakah penghitungan upah minimum saat ini lebih baik bagi pengusaha? Boleh jadi tidak sepenuhnya benar. Salah satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah dasar penghitungan upah yang mengandung komponen laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Laju produk domestik regional bruto itu baru menggambarkan kinerja perekonomian secara umum, bukan kinerja sektor-sektor ekonomi. Persoalannya, setiap tahun selalu ada sektor-sektor ekonomi yang kinerjanya lebih tinggi, atau sebaliknya malah di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Kalau laju pertumbuhan di satu sektor industri lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional, buruh di sektor ini bisa saja dirugikan karena persentase kenaikan upah yang akan mereka terima pada tahun depan tidak sebesar kinerja sektor industrinya. Sebaliknya, laju pertumbuhan sektor usaha yang berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional akan berimbas pada beban bagi pengusaha jika mereka harus mengikuti kenaikan upah minimum.
Contoh konkret, pada 2016 sektor pertambangan dan penggalian hanya tumbuh 0,95 persen, jauh di atas pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama yakni 5,03 persen. Inflasi tahunan year on year November 2015-November 2016 adalah 3,58 persen.
Jika pemerintah memberlakukan kenaikan upah berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, kenaikan upah minimum seharusnya 8,61 persen karena angka pertumbuhan yang digunakan adalah 5,03 persen. Namun, jika menggunakan angka laju pertumbuhan ekonomi nasional, kenaikan seharusnya hanya 4,53 persen. Dengan penghitungan model sekarang, tentu saja buruh sektor pertambangan dan penggalian akan menyambut baik, tetapi pengusaha di sektor ini akan menanggung beban besar.
Dinamika penentuan standar upah minimum masih harus menempuh jalan lebih jauh. Bagaimanapun, pemahaman upah minimum tidak sama artinya dengan upah layak walaupun tujuannya diarahkan pada kebutuhan hidup layak. Jika pengertiannya upah layak, pekerja terus menuntut kenaikan.
Pengusaha pun tidak sepenuhnya benar jika memberlakukan upah minimum secara rata tanpa mempertimbangkan masa kerja serta kompetensi. Karena ada struktur skala upah, yakni orang yang memiliki kompetensi berbeda dan masa kerja tidak sama, akan mendapatkan upah yang berbeda pula. Kedua titik ini yang menuntut jembatan yang baik dari pemerintah. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)