Komitmen Menaikkan Upah
Kenaikan upah minimum tidak hanya akan menaikkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Lebih dari itu, kebijakan ketenagakerjaan ini juga menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat.
Laporan Development Finance International dan Oxfam International mengenai The Commitment to Reducing Inequality Index, yang dilansir pada 9 Oktober 2018, salah satunya mengangkat keberhasilan Korea Selatan dalam mengurangi tingkat ketimpangan kesejahteraan. Kunci keberhasilan Korsel tersebut terletak pada tiga langkah besar yang dijalankan langsung dan menjadi komitmen Presiden Moon Jae-in.
Saat menduduki jabatannya pada awal 2017, Presiden Moon Jae-in mengubah paradigma pembangunan ekonomi negara menjadi berorientasi pada mengatasi kesenjangan sosial untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan masyarakat yang lebih kohesif.
Langkah yang dilakukan adalah menaikkan upah minimum hingga 16,4 persen, memberlakukan pajak progresif bagi perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang kaya, serta meningkatkan dana sosial (welfare spending) untuk orang miskin, termasuk pemberian hibah untuk keperluan anak-anak, seperti pendidikan.
Selain itu, perlindungan terhadap perempuan di dunia kerja juga dilakukan karena perempuan yang berpenghasilan layak juga turut berperan dalam peningkatan kesejahteraan. Langkah-langkah tersebut mendapat dukungan dari mayoritas masyarakatnya (86 persen).
Langkah yang diambil pemerintah Korsel ini dilatari masalah tingkat kesenjangan sosial di Korsel yang meningkat sangat cepat. Lebih dari dua dekade terakhir, pertumbuhan penghasilan masyarakat yang berada di kelompok terbawah stagnan. Sementara pendapatan orang-orang yang berada di kelompok 10 persen teratas bertambah 6 persen per tahun dan kelompok ini diklaim menguasai 45 persen pendapatan nasional.
Selain Korsel, Namibia dan Uruguay juga dianggap berhasil mengatasi kesenjangan sosial. Indonesia sendiri dalam laporan Oxfam tersebut juga dikategorikan berhasil mengurangi kesenjangan sosial. Hanya langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak seberhasil seperti Korsel.
Hal itu terutama soal kebijakan ketenagakerjaan menyangkut upah minimum. Jika pemerintah Korsel menaikkan upah minimum bagi pekerjanya hingga 16,4 persen, Indonesia pada tahun yang sama (2017 ke 2018) menaikkan sekitar 9 persen. Dilihat dari angka indeks aspek kebijakan upah dan tenaga kerja, peringkat Korsel meningkat dari ke-93 ke peringkat ke-61. Sementara peringkat Indonesia justru turun dari peringkat ke-114 ke peringkat ke-116.
Dilihat dari kondisi sosial, masalah yang dihadapi Indonesia lebih kurang sama dengan Korsel. Tingkat kesenjangan sosial di Indonesia yang ditunjukkan lewat rasio gini terus meningkat lebih dari satu dekade (2002-2014). Baru pada 2015 rasio gini Indonesia perlahan turun hingga sekarang.
Selain itu, ketimpangan penguasaan aset juga terjadi. Sebanyak 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen aset nasional (Kompas, 18/7/2017). Data Bank Dunia juga menyebutkan, antara 2003 dan 2010 sebanyak 10 persen orang terkaya Indonesia konsumsinya meningkat sebesar 6 persen per tahun, sementara penduduk miskin (40 persen) hanya 2 persen per tahun (Kompas, 29/3/2017).
Jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia pun meningkat cepat. Bank Dunia pada akhir 2017 menyebutkan 52 juta orang Indonesia masuk dalam kelas menengah yang berkontribusi pada 43 persen dari total konsumsi rumah tangga. Jumlah kelas menengah ini naik dua kali lipat dibandingkan pada 1999 yang baru sebanyak 25 juta orang. Jumlah ini pun akan bertambah terus.
Diperkirakan, kelas menengah Indonesia pada 2020 akan mencapai 85 juta orang. Versi yang lebih pesimistis memperkirakan akan ada 68,2 juta orang kelas menengah Indonesia 2020 (Boston Consulting Group). Kelas menengah yang membesar ini akan membantu percepatan pertumbuhan konsumsi dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Upah minimum
Mulai 1 November 2018, setiap gubernur diminta sudah menetapkan dan mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) untuk 2019. UMP 2019 berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan per 15 Oktober 2018 naik sebesar 8,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Upah minimum provinsi ini berlaku jika kabupaten/kota belum menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) atau belum adanya upah minimum sektoral kabupaten. Biasanya, UMK lebih tinggi dari UMP dan upah minimum sektoral lebih tinggi dari UMK.
Kebijakan upah minimum merupakan upah bulanan terendah yang menjadi acuan bagi calon pekerja. Besaran upah minimum ini sejak 2016 dihitung berdasarkan kebutuhan hidup yang layak dengan mempertimbangkan angka pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengatur formula baru untuk menghitung kenaikan upah minimum. Formulanya adalah UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + (UMP tahun berjalan (inflasi + pertumbuhan ekonomi)).
Untuk 2019, kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen didapat dari angka pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi nasional 2018 yang masing-masing 5,15 persen dan 2,88 persen.
Dengan persentase kenaikan yang sudah ditetapkan, kita bisa menghitung perkiraan upah minimum suatu provinsi untuk tahun depan. Untuk DKI Jakarta, misalnya, dengan UMP 2018 sebesar Rp 3.648.035, dengan kenaikan 8,03 persen, UMP DKI Jakarta 2019 adalah Rp 3.940.973. Angka ini bisa berbeda jika DKI Jakarta menggunakan pertumbuhan ekonomi provinsi dan inflasi provinsi.
Mengikuti formula penetapan upah minimum yang sudah ditentukan, maka setelah 2016 hingga beberapa tahun ke depan dapat diketahui bahwa standar kenaikan upah minimum akan (selalu) berada di bawah 10 persen. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi kita di bawah 6 persen, dan angka inflasi juga cenderung rendah.
Namun, realisasi kenaikan upah minimum beberapa tahun ke belakang berada di atas standar tersebut (10 persen). Hal itu karena kondisi perusahaan yang berbeda-beda di setiap daerah menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah yang juga berbeda-beda.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan rata-rata kenaikan upah minimum provinsi di Indonesia pada periode 2012-2016 di atas 10 persen, bahkan pada 2014 mencapai kenaikan tertinggi, yaitu 22,17 persen.
Upah minimum dihitung dengan ketentuan bekerja 40 jam per minggu. Dalam PP Pengupahan, gubernur memiliki kewenangan untuk menentukan upah minimum tanpa rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Hal ini berbeda dari ketentuan sebelumnya di mana setiap provinsi memutuskan upah minimum berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri atas wakil dari tripartit: pemerintah daerah, asosiasi pengusaha, dan serikat buruh.
Penangguhan
Dalam PP Pengupahan disebutkan kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja atau buruh. Adanya formula penghitungan akan menghadirkan kepastian kenaikan upah dan menciptakan iklim usaha yang dapat diandalkan.
Namun, untuk tahun-tahun ke depan, mencapai realisasi kenaikan upah yang tinggi diprediksi akan sulit karena kondisi ketidakpastian ekonomi yang dipicu perekonomian global. Kemampuan perusahaan dalam merespons kenaikan upah minimum berbeda-beda.
Pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat mengajukan penangguhan. Penangguhan ini membebaskan perusahaan dari melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan berakhir, perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Potensi penanggguhan bisa meluas karena kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya stabil. Dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung melemah hingga 2019, biaya produksi bisa jadi akan naik dan kenaikan upah yang cukup tinggi bisa memberatkan kondisi keuangan perusahaan.
Terlepas dari adanya celah penangguhan bagi perusahaan yang mengalami kesulitan finansial, komitmen dari pengusaha untuk memberikan upah sesuai ketentuan sangat diharapkan. Komitmen itu setidaknya karena dua hal. Pertama, upah yang layak, dalam arti mencukupi kebutuhan pekerja/buruh, tentu akan mendorong daya beli dan konsumsi. Bergairahnya ekonomi karena konsumsi akan bermuara pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, penegakan upah minimum akan mendorong redistribusi aset yang akan mengurangi ketimpangan kemakmuran. Upah yang konsisten naik akan membantu jutaan orang masuk ke dalam kelompok kelas menengah, kelas yang memiliki pengeluaran bulanan Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per bulan.
Redistribusi aset ini juga penting bagi pemerintah karena bertambahnya kelas menengah bisa menjadi potensi sumber pendapatan bagi negara lewat pajak. Pendapatan pajak yang tinggi tentu akan bermanfaat untuk meningkatkan pembiayaan layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.
Namun, agar rantai ekonomi ini berjalan, tentu saja komitmen pengusaha menaikkan upah harus diimbangi dengan komitmen pekerja untuk menaikkan produktivitas. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)