Polemik Patung Sardar Patel di India
Bagi masyarakat India, nama Sardar Patel dikenang sebagai salah satu tokoh pemersatu India sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan terkemuka. Gagasan persatuan yang diusung sosok bernama lengkap Sardar Vallabhbhai Patel ini melihat bahwa landasan kesatuan nasional terletak pada integrasi komunal.
Kalimat terkenal Sardar Patel seperti ditulis Jai Singh Yadav adalah India adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan laksana air samudra atau air sungai yang sedang mengalir (Kompas 14/2/1997).
Lebih lanjut Yadav mencontohkan beberapa kontribusi Sadar Patel, seperti saat pemeluk agama Sikh menuntut pembentukan negara Khalistan. Sardar Patel menangani masalah ini dengan pemahaman yang mendalam.
Ia pergi ke jantung wilayah Sikh dan melakukan pendekatan dengan masyarakat Sikh serta meyakinkan mereka bagaimana semua pemeluk agama harus tinggal di India sebagai saudara. Pendekatan Sardar terbukti efektif meredam kaum Sikh.
Dalam sebuah pidato pada 1947 di Patiala di daerah Punjab, Sardar berkata, ”Kita tidak boleh mengikuti khayalan stan-stan seperti Khalistan, Sikhistan, Jatistan, dan lain- lain. Pendirian stan-stan semacam itu dapat mengubah India menjadi negeri yang picik dan membahayakan.”
Setahun kemudian Sardar Patel juga mengingatkan bangsa India, tak akan pernah ada pembicaraan mengenai sebuah negara Hindu. Sebagai Menteri Dalam Negeri, ia membubarkan RSS (organisasi militan Hindu) yang menuntut agar India menjadi sebuah negara Hindu.
”Jika anda berpikir bahwa andalah satu-satunya penjaga, pemelihara, dan pembela Hinduisme, anda salah besar. Hinduisme selalu mengajarkan perspektif yang luas tentang kehidupan. Terdapat jauh lebih banyak toleransi dalam Hinduisme daripada yang anda bayangkan.”
Dalam pidatonya di Kalkutta pada Januari 1948, Sardar Patel kembali mengobarkan persatuan bangsa India. India telah berdiri sebagai sebuah negara non-denominational (tidak dikendalikan oleh kelompok tertentu). ”Jika pemerintah tidak mampu berjalan sebagai pengayom bagi seluruh penduduk tanpa memandang kasta, agama, dan suku, pemerintah ini tidak layak bertahan, bahkan untuk satu hari saja.”
Karisma Sardar Patel membuat pemerintahan India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi memberikan penghargaan dalam bentuk pembuatan patung raksasa yang diberi nama Statue of Unity. Pembangunan patung ini diharapkan menjadi ikon pariwisata baru di India. Tujuannya, patung ini akan mendatangkan wisatawan seperti patung Liberty di New York, Amerika Serikat.
Namun, di balik tujuan pariwisata, pembangunan patung Sardar Patel itu juga memiliki nuansa politis sebagai legitimasi persatuan India yang sedang digoyang. Misalnya aksi protes kelompok masyarakat dari kasta terendah India, Dalit, pada April 2018.
Aksi protes berbuntut gejolak kekerasan itu muncul setelah Mahkamah Agung memutuskan melarang penahanan segera para tersangka pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap warga Dalit. Kekerasan itu menyebabkan sembilan orang tewas. Ajakan untuk turun ke jalan itu disebarkan oleh organisasi kelompok masyarakat Dalit, kasta terendah di India yang selama ini kerap mengalami perlakuan tak adil dan kekerasan.
Di India, jumlah penduduk Dalit tak sedikit, sekitar 200 juta dari 1,25 miliar jiwa total jumlah penduduk India. Karena ada di kasta terbawah, warga Dalit tidak boleh menikmati semua yang dinikmati kasta-kasta di atasnya. Pekerjaan warga Dalit juga sebagian besar pekerjaan ”kotor” yang tidak akan dilakukan kasta lain, seperti membersihkan toilet dan mengurus hewan mati.
Pada bulan yang sama, India juga dihebohkan oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang anak perempuan di Jammu and Kashmir. Korban itu berasal dari keluarga Muslim. Jammu and Kashmir adalah negara bagian di India yang mayoritas penduduknya Muslim. Namun, wilayah Jammu di sisi selatan, tempat pembunuhan terjadi, didominasi penduduk yang beragama Hindu.
Kasus itu memicu perpecahan yang tajam di kawasan tersebut. Salah satu kelompok mengecam apa yang terjadi dan menilainya sebagai kejahatan terhadap komunitas mereka. Adapun kelompok yang lain berunjuk rasa dan menyatakan bahwa para tersangka didakwa secara tidak adil.
Potensi konflik etnis juga muncul pada Juli 2018. Pemerintah India mencoret 4 juta warga di Negara Bagian Assam dari daftar penduduk India karena mereka dianggap tidak mempunyai dokumen yang sah. Mereka dituduh sebagai imigran gelap asal Bangladesh yang mayoritas Muslim.
Kritik yang muncul mengatakan bahwa itu adalah langkah terbaru pemerintah sayap kanan di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi untuk meningkatkan jumlah mayoritas Hindu India dengan mengorbankan kelompok minoritas Muslim. India akan menggelar pemilihan umum tahun depan.
Tidak heran peran persatuan bangsa menjadi isu di balik pembangunan patung Sardar Patel sebagaimana diuraikan koran The New Indian Express edisi 1 November 2018. ”Patung tertinggi mengingatkan kepada seluruh dunia dan generasi mendatang tentang keberanian, kemampuan, serta solusi dari tokoh yang pernah menggagalkan tindakan konspirasi untuk memecah belah negara India.”
Namun, di balik legitimasi persatuan, isu menarik pembangunan patung tersebut sebagai upaya PM Narendra Modi mengukuhkan kepemimpinannya dalam persaingan dengan Dinasti Nehru.
Sardar Patel dan Narendra Modi sama-sama berasal daerah Gujarat. Tidak heran jika muncul indikasi pembangunan patung Sardar Patel terdapat agenda politik Modi. India akan menggelar pemilu pada 2019. Hal ini memperkuat dugaan motif Modi membangun patung setinggi 182 meter tersebut agar Modi dapat menarik simpati dan memperoleh dukungan suara dari warga Gujarat dan pengagum Sardar Patel di saat pemilu nanti.
Polemik lain yang muncul dari pembangunan patung tersebut dari argumentasi sisi ekonomi. Proyek itu dinilai sebagai proyek mercusuar PM Narendra Modi. Masyarakat Gujarat, khususnya yang berprofesi sebagai petani, merasa ditinggalkan oleh pemerintah.
Proyek senilai 430 juta dollar AS atau setara dengan Rp 6,5 triliun untuk sebuah patung dinilai fantastis. Hal ini dipandang tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi India saat ini.
Biaya pembangunan Patung Sardar Patel setengahnya ditanggung oleh pemerintah Gujarat, lebih kurang senilai Rp 3,2 triliun. Separuhnya lagi didanai oleh anggaran nasional dan sumbangan berbagai pihak.
Padahal, di sisi lain, masyarakat Gujarat lebih membutuhkan infrastruktur irigasi dan bendungan untuk meningkatkan produksi pertanian yang menjadi mata pencarian sebagian besar penduduk.
Kebutuhan irigasi bagi masyarakat Gujarat semakin hari semakin mendesak. Para petani di wilayah Negara Bagian Gujarat rata-rata setahun hanya panen satu kali. Sementara petani di negara bagian yang memiliki infrastruktur irigasi memadahi dapat panen tiga kali dalam setahun.
Jika dibandingkan dengan biaya pembangunan bendungan di Indonesia, anggaran pembangun patung Statue of Unity tersebut dapat digunakan untuk membuat dua sarana irigasi.
Pemberitaan peresmian Patung Sardar Patel juga menarik perhatian beberapa surat kabar harian di Eropa dan Amerika Selatan. Koran asal Chile, El Mercurio, memberitakan India memamerkan patung terbesar di dunia yang terletak di tepi Sungai Narmada, Negara Bagian Gujarat.
Koran Jerman, Frankfurt Allgemeine, menulis kata ”Größenwahn” atau megalomania pada lead beritanya. Merujuk pada kamus, megalomania berarti ’suatu khayalan tentang kekuasaan serta kebesaran diri’.
Patung Sardar Patel bukan satu-satunya proyek patung ”megalomania” India. Surat kabar harian Gulf News memberitakan bahwa Patung Sardar Patel tidak akan lama menyandang gelar sebagai patung tertinggi di dunia. Tokoh kerajaan India pada abad ke-17 yang bernama Raja Chhatrapati Shivaji Maharaj akan dibuatkan patung setinggi 212 meter. Patung Shivaji akan dibangun di tepi Laut Arab, dekat kota Mumbai.
Pembangunan patung raksasa menjadi ironi dengan kesejahteraan masyarakat India. Berdasarkan data World Bank 2015, separuh penduduk India masih berada di bawah garis kemiskinan yang dipatok berdasar nilai pengeluaran di bawah 3,2 dollar AS per hari per kapita atau setara dengan Rp 48.000.
Demikian juga dari nilai produk domestik bruto (GDP) per kapita. GDP per kapita India berada pada peringkat ke-175 dari 264 negara di seluruh dunia. Nilai GDP per kapita India tahun 2017 hanya separuh dari Indonesia.
Melihat kondisi ini, pertimbangan kesejahteraan masyarakat seharusnya menjadi bagian utama pemerintahan Narendra Modi. Di satu sisi, persatuan bangsa diakui memang harus dipelihara dengan mewariskan nilai-nilai luhur para pejuangnya. Namun, faktor terpenting yang harus dijalankan pemerintah adalah menghadirkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan akhir perjuangan bernegara. (LITBANG KOMPAS)