Pergulatan May Menjaga Inggris Raya
Laksana ibu dengan empat anak (Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara) yang sedang mengurus perceraian dengan suaminya (Brexit), Theresa May masih juga disibukkan dengan tuntutan yang beragam dari ”anak-anak”-nya. Dalam situasi semacam itu, May melakukan berbagai macam kompromi untuk mempertahankan keutuhan Inggris Raya.
Brexit atau berpisahnya Inggris Raya dari Uni Eropa tak selesai dengan referendum yang dilakukan 23 Juni 2016. Konsekuensi atas pilihan 51,9 persen penduduk Inggris Raya untuk meninggalkan Uni Eropa terus menjadi pekerjaan tiada henti bagi pemerintahan Perdana Menteri Theresa May.
Persoalan negosiasi Brexit dengan Uni Eropa menjadi semakin runyam karena ancaman dari dalam, yakni isu perpisahan Skotlandia dan Irlandia Utara, yang sejak semula memang tak menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa.
Sebelum menjadi perdana menteri, May merupakan Menteri Dalam Negeri sejak 2010. Ia merupakan pendukung tetap masuknya Inggris dalam Uni Eropa. Namun, setelah diangkat menjadi perdana menteri, mau tidak mau May harus menyelesaikan pekerjaan rumah Inggris, yakni mengantar lepasnya Inggris dari Uni Eropa sesuai peraturan Uni Eropa.
https://kompas.id/baca/internasional/2017/05/05/inggris-mengira-brexit-mudah/
Hal itu berarti bahwa hampir setiap bulan, sejak 19 Juni 2017, pemerintahannya harus melakukan negosiasi dengan Uni Eropa di Brussels, Belgia, untuk menemukan kata sepakat terkait Brexit. Sejak saat itu, hampir setiap hari, perkembangan Brexit menghiasi halaman depan surat kabar di Inggris Raya.
Negosiasi permulaan membahas tiga hal utama. Pertama, menyangkut status ekspatriat setelah Brexit. Kedua, persetujuan tentang sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh Inggris kepada Uni Eropa sebagai ”biaya cerai” dan ketiga menyangkut wilayah perbatasan Irlandia Utara.
Secara umum, ketiga persoalan tersebut telah menemukan titik terang pada 8 Desember 2017. Saat itu, kedua belah pihak menyetujui bahwa hak warga negara Uni Eropa di Inggris dan warga Inggris di Uni Eropa untuk hidup, bekerja, dan belajar akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak yang sama.
Persoalan tersebut penting dibicarakan mengingat ada sekitar 3 juta warga negara Uni Eropa yang tinggal ataupun bekerja di Inggris serta terdapat sekitar 1 juta warga negara Inggris yang hidup di Uni Eropa.
Persoalan ”biaya perceraian” disepakati untuk dibayarkan empat tahun setelah kesepakatan dan jumlahnya akan disebutkan di kemudian hari. Namun, Pemerintah Inggris menyebutkan akan menganggarkan 35 miliar-39 miliar poundsterling, termasuk di dalamnya biaya transisi sampai Inggris benar-benar lepas dari Uni Eropa.
Persoalan selanjutnya menyangkut wilayah perbatasan Irlandia Utara yang menjadi bagian Inggris Raya dan Republik Irlandia. Inggris dan Uni Eropa sepakat bahwa lalu lintas barang di wilayah perbatasan Irlandia Utara tak akan dikenai pengecekan lintas batas.
Artinya, keluar masuknya barang dari Irlandia Utara ataupun dari Republik Irlandia akan tetap seperti sebelum Brexit. Hal itu dilakukan untuk mencegah terulangnya konflik di Irlandia Utara yang dikenal dengan ”The Troubles”, atau konflik berkepanjangan selama lebih dari 30 tahun di Irlandia Utara.
Setelah ketiga hal tersebut disepakati, disetujui juga adanya periode transisi, yakni periode 21 bulan dari 29 Maret 2019 sampai 31 Desember 2020 sebagai waktu ”adaptasi” agar segala kesepakatan yang telah dibuat dapat dilaksanakan dengan nyaman oleh kedua belah pihak. Tanggal 29 Maret 2019 merupakan tenggat Inggris secara resmi meninggalkan Uni Eropa.
Seusai negosiasi permulaan menyepakati hal-hal besar, baru kemudian negosiasi beranjak pada persoalan-persoalan yang lebih mendetail. Di sinilah mulai muncul berbagai persoalan.
Sebagai strategi konsolidasi kabinetnya, May mengundang semua menterinya untuk berkumpul di Chequers, rumah dinasnya di Buckinghamshire, pada Juli 2018. Mereka membahas relasi jangka panjang Inggris dan Uni Eropa. Dari sanalah kemudian dikenal Rencana Chequers atau Chequers Plan.
Rencana Chequers berisi beberapa hal, salah satunya proposal Inggris menyangkut perdagangan barang. Di dalamnya direncanakan bahwa Inggris dengan Uni Eropa akan diperlakukan sebagai wilayah kepabeanan kombinasi. Hal itu berarti bahwa Inggris akan mengenakan tarif dan kebijakan perdagangan domestik untuk barang-barang yang ditujukan ke Inggris.
Namun, tarif Uni Eropa akan dikenakan bagi barang yang menuju ke negara-negara Uni Eropa. Rencana tersebut juga membahas kemungkinan Inggris untuk membuat perjanjian perdagangan mandiri dengan negara lain di seluruh dunia.
Di dalam negeri, setelah Chequers disepakati, dua menteri dalam kabinet May mengundurkan diri, yakni Menteri Luar Negeri Boris Johnson dan Menteri Urusan Brexit David Davis. Konsolidasi kabinet yang dijalankan May pun buyar.
Dua golongan besar, mereka yang menolak Brexit dan yang menginginkan perpisahan total dari Uni Eropa (hard Brexit), tak puas dengan rencana May dan menyebut bahwa Rencana Chequers merupakan suatu kesepakatan kompromis.
https://kompas.id/baca/riset/2018/07/14/goncangan-kabinet-pasca-mundurnya-boris-johnson/
May bersikukuh bahwa Rencana Chequers merupakan rencana terbaik yang dapat diajukan. Hal tersebut menyangkut stabilitas ekonomi Inggris-Uni Eropa serta menghindari keharusan memberlakukan perbatasan fisik di Irlandia Utara.
Persoalan Irlandia Utara mendapatkan perhatian lebih mengingat kemungkinan berpisahnya Irlandia Utara dari Inggris Raya, sesuatu yang sangat dihindari oleh Partai Konservatif.
Hasil referendum menyangkut Brexit pada 2016 menunjukkan bahwa hanya 44 persen penduduk Irlandia Utara yang menginginkan Brexit. Di seluruh Inggris Raya, hanya wilayah Inggris dan Wales yang memenangkan Brexit, sedangkan Skotlandia dan Irlandia Utara lebih memilih untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa.
Inggris Raya yang merupakan kesatuan laksana ”negara dalam negara” malah mendapatkan tantangan terbesar menyangkut kesatuan dari dalam negeri dalam usahanya memisahkan diri dari Uni Eropa.
Oleh karena itu, Inggris sangat berkepentingan dengan memberikan perhatian lebih pada wilayah Irlandia Utara yang berbatasan langsung dengan Republik Irlandia, yang merupakan anggota Uni Eropa. Pemerintahan May berupaya agar di wilayah Irlandia Utara tetap berlaku tarif lalu lintas barang sesuai aturan Uni Eropa sehingga tak perlu dibangun pos lintas batas yang tegas.
Pihak Uni Eropa sendiri menyatakan bahwa proposal Chequers menyangkut perjanjian perdagangan tidak dapat disetujui. Oleh karena itu, muncullah kemungkinan bahwa negosiasi akan berakhir tanpa hasil (no deal). Terhadap kemungkinan tersebut, Pemerintah Inggris telah menyusun skenario apabila negosiasi tak membuahkan kesepakatan dengan menerbitkan panduan bagi kalangan industri di Inggris.
Persoalan kemudian mengerucut pada wilayah perbatasan Inggris dan Uni Eropa di Irlandia Utara. Kedua pihak tak menginginkan didirikannya pos pemeriksaan di wilayah perbatasan Irlandia Utara karena pengalaman The Troubles yang pernah mempersulit wilayah tersebut lebih dari tiga dekade.
Inggris dan Uni Eropa dalam negosiasi permulaan Desember 2017 telah menyetujui untuk tidak memberlakukan hard border di Irlandia Utara. Kedua belah pihak setuju untuk mengelola wilayah perbatasan bersama, mendukung ekonomi di seluruh pulau Irlandia, dan menjaga Perjanjian Damai Jumat Agung 1998 yang menghentikan pertikaian yang pernah terjadi di Irlandia Utara. Namun, keduanya belum sepakat mengenai cara mencapainya.
Uni Eropa memberikan solusi untuk membentuk area bersama di pulau Irlandia agar di Irlandia Utara tetap berlaku aturan bea cukai Uni Eropa. Namun, May khawatir bahwa perlakuan berbeda terhadap Irlandia Utara tersebut akan menciptakan masalah baru.
May berpendapat wilayah batas baru bagi Inggris di Laut Irlandia dan dapat memicu berpisahnya Irlandia Utara dari Inggris Raya. Solusi Uni Eropa ini disebut dengan backstop. Inggris terus berharap bahwa solusi tersebut tak perlu diambil.
Dalam tenggat yang disetujui untuk mencapai kesepakatan sampai November ini, pemerintahan May harus memuaskan berbagai pihak, mulai dari golongan pro-Uni Eropa (termasuk di dalamnya penduduk Skotlandia dan Irlandia Utara), pendukung hard Brexit, maupun menjaga dukungan bagi pemerintahannya di parlemen.
Ini menjadi poin utama May yang harus dicapai hingga akhir November 2018. Segala upaya akan dilakukan May dalam waktu yang tersisa untuk mengantarkan Brexit dengan mulus seraya menjaga keutuhan Inggris Raya. (LITBANG KOMPAS)