Ancaman Terbesar Elektabilitas Jokowi di DKI Jakarta
[caption id="attachment_9455291" align="aligncenter" width="720"] Poster pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam tangkapan layar cuitan @addiems di Twitter, 9 Agustus 2018.[/caption]
Kemenangan Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2014 semakin terlegitimasikan tatkala ia juga berhasil menguasai ibu kota pemerintahan, DKI Jakarta. Namun, jelang Pemilu 2019, upaya menguasai kembali pemilih ibu kota pemerintahan tampaknya tidak menjadi lebih ringan. Malah saat ini hasil survei justru menunjukkan penguasaan politiknya di DKI Jakarta terancam.
Dalam Pemilu Presiden 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjaya di DKI Jakarta. Saat itu, mereka menjadi pemenang dengan 53,1 persen atau berhasil menguasai 2.859.894 suara dari total 5.387.958 warga DKI yang menggunakan hak pilihnya. Pesaingnya, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, hanya mampu menguasai 46,9 persen suara (2.528.064 pemilih).
Proporsi kemenangan Jokowi-Kalla di DKI Jakarta tergolong unik. Proporsi tersebut mirip dengan proporsi kemenangan mereka secara nasional. Dalam Pilpres 2014, Komisi Pemilihan Umum menetapkan Jokowi-Kalla meraih 53,15 persen suara dan Prabowo-Hatta 46,85 persen. Artinya, suara pemilih DKI Jakarta saat itu cenderung sama dengan keseluruhan pemilih di negeri ini.
Namun, posisi DKI Jakarta bagi kontestasi politik lebih dari sekadar keunikan yang melekat. Posisi politik DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ibu kota negara, menjadi lebih prestisius bagi siapa saja yang menguasainya. Dalam hal ini, Jokowi berhasil. Keberhasilannya memenangkan pemilu secara nasional semakin terlegitimasikan tatkala ia juga berhasil menguasai DKI Jakarta.
Hanya saja, semua itu pertarungan politik masa lampau. Dalam Pemilu 2019 kali ini, baik Jokowi maupun Prabowo kembali bersaing. DKI Jakarta, tentu saja tetap menjadi medan pertarungan paling prestisius. Pertanyaannya, apakah skenario 2014 kembali berulang? Atau justru terjadi perubahan peta penguasaan suara di ibu kota negara?
Hasil survei Kompas terbaru dapat menjadi gambaran peta persaingan Jokowi dan Prabowo di DKI Jakarta. Menariknya, sekalipun kali ini posisi politik mereka berbeda, Jokowi sebagai petahana sementara Prabowo menjadi penantang, tidak berarti persaingan menjadi kurang kompetitif. Justru hasil survei menunjukkan, bagaimana Jokowi dalam kapasitas sebagai petahana berada dalam tekanan politik yang besar di DKI Jakarta.
Saat ini di DKI Jakarta, dukungan terhadap Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mampu melampaui proporsi dukungan yang berhasil diraih pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Jokowi-Ma’ruf baru berhasil menghimpun sebesar 35 persen pendukung. Sebaliknya, Prabowo-Sandi sudah menguasai 39 persen pendukung. Sisanya, 26 persen, belum menyatakan dukungan.
Dibandingkan dengan perolehan suara Jokowi dan Prabowo dalam Pemilu 2014, memang belum sepenuhnya optimal. Hanya saja, gambaran hasil survei ini mampu menunjukkan bagaimana kekuatan konsolidasi dukungan politik pendukung Prabowo yang lebih masif dibandingkan dengan Jokowi.
Konsolidasi pendukung Prabowo yang relatif kuat di DKI Jakarta tergambarkan dalam beberapa aspek. Pertama, dari sisi sebaran wilayah, pendukung Prabowo tampak lebih banyak menyebar secara merata di kelima wilayah besar DKI Jakarta yang dijadikan sampel survei.
Dari kelima wilayah kota di DKI–Kabupaten Kepulauan Seribu tidak menjadi area penelitian—kota Jakarta Selatan menjadi basis dukungan Prabowo terbesar. Pada wilayah tersebut, Prabowo-Sandi membangun jarak keterpilihan hingga 15,4 persen. Pada wilayah DKI lainnya, seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, Prabowo-Sandi juga cenderung melampaui dukungan yang didapatkan Jokowi-Ma’ruf. Sebaliknya, di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, pendukung Jokowi-Ma’ruf relatif lebih unggul sekalipun tampak kurang signifikan (Grafik 1).
Membandingkan dengan capaian kedua sosok pada Pemilu 2014, hasil di tiap-tiap daerah tersebut menggambarkan peta perubahan penguasaan politik yang cenderung lebih menguntungkan posisi Prabowo-Sandi. Saat 2014, Prabowo mampu menjadi pemenang di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Sebaliknya, Jokowi menguasai Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara.
Indikasi selisih perbedaan dukungan pada hasil survei kali ini yang jauh lebih besar diciptakan Prabowo-Sandi di Jakarta Selatan serta ketertinggalan Jokowi-Ma’ruf wilayah Jakarta Pusat, wilayah yang dahulu dikuasainya, menunjukkan ancaman serius tengah dihadapi petahana Jokowi.
Kedua, dari sisi loyalitas dukungan, pendukung Prabowo-Sandi relatif lebih solid dibandingkan dengan dukungan Jokowi-Ma’ruf. Hasil survei menunjukkan, 81,5 persen barisan pendukung Prabowo-Sandi mengaku tidak akan berpindah pilihan hingga pemilu mendatang. Hanya sebagian kecil, 18,5 persen yang relatif masih labil, berpotensi berubah pilihan. Pada sisi yang berbeda, 75,7 persen pendukung Jokowi menyatakan sudah tetap pada pilihannya.
Jika dielaborasi berdasarkan wilayah, loyalitas kedua pendukung relatif tidak berbeda, yang tetap menunjukkan derajat loyalitas yang lebih tinggi pada pendukung Prabowo-Sandi dibandingkan dengan Jokowi-Ma’ruf. Loyalitas pendukung Prabowo-Sandi, kecuali di Jakarta Barat, berada di atas kisaran 80 persen, dan bahkan untuk wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Timur mencapai di atas 85 persen, suatu kondisi yang solid, sulit tergoyahkan. Bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf, Jakarta Barat dan Jakarta Utara menjadi basis loyalitas (Grafik 2).
Dengan kondisi luasnya sebaran dukungan serta kadar loyalitas pendukung yang secara politik cenderung menguntungkan Prabowo-Sandi di DKI Jakarta, apakah masih tersisa peluang bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf untuk kembali mempertahankan kembali kemenangannya di DKI Jakarta?
Sebagai pusat perpolitikan nasional, latar belakang sejarah politik DKI Jakarta memang berbeda dengan wilayah provinsi lainnya. Bagi Presiden Joko Widodo, DKI Jakarta dalam enam tahun terakhir punya riwayat politik yang sedemikian erat melekat, yang turut menjadi bagian dalam karier politiknya.
Menjadi Gubernur DKI Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sejak 2012 antara lain dengan restu Ketua Umum Gerindra Prabowo, dan selanjutnya tahun 2014 bersama Jusuf Kalla menduduki posisi puncak sebagai kepala negara dan pemerintahan RI dengan mengalahkan Prabowo-Hatta, dilaluinya dengan dinamika politik yang amat bergolak. Persaingan politiknya saat ini dengan Prabowo tidak lepas dengan segenap peristiwa tersebut, yang di dalam satu sisi berkonsekuensi pada polarisasi politik yang kental. Indikasi derajat loyalitas pendukung kedua sosok yang tampak tinggi dalam survei ini menjadi salah satu bukti polarisasi politik.
Dalam situasi seperti ini, ruang pilihan bagi Jokowi lebih banyak terbuka pada pemilih yang belum menentukan pilihannya. Hasil survei yang menunjukkan masih sekitar seperempat bagian (26 persen) pemilih yang belum menunjukkan pilihan politiknya merupakan kesempatan yang masih longgar untuk mengubah konfigurasi politik di DKI Jakarta.
Persoalannya kemudian, siapa dan bagaimana karakteristik individu yang belum punya pilihan tersebut? Apakah kelompok yang belum menentukan pilihan tersebut memiliki kesamaan karakteristik dengan pendukung Jokowi atau justru lebih condong kepada Prabowo?
Dengan menelusuri karakteristik sosio-demografi, ekonomi, hingga karakteristik psiko-politik dari tiap-tiap individu, sebenarnya tidak terlalu banyak kondisi yang membedakan di antara mereka yang belum menentukan pilihan dengan karakteristik pendukung Jokowi ataupun Prabowo.
Dari sisi jenis kelamin tergolong imbang. Besaran proporsi laki-laki dan perempuan yang belum menentukan pilihan sebanding dan kondisi yang sama juga pada karakteristik pendukung Jokowi dan Prabowo. Begitu pula dalam karakteristik etnisitas, pekerjaan, jenjang pendidikan, hingga kategori ekonomi pemilih.
Faktor yang paling membedakan terfokus pada usia. Hasil survei ini menunjukkan, perbedaan dengan porsi terbesar terjadi pada kategori usia pemilih di atas usia 60 tahun atau dalam rentang generasi mereka yang dilahirkan dari periode 1953-1971. Proporsi dari kalangan yang sering disebut generasi baby boomers pada kelompok pemilih yang belum menyatakan pilihannya tersebut lebih banyak dua kali lipat dari proporsi generasi serupa yang terdapat pada pendukung Jokowi ataupun Prabowo (Grafik 3).
Selain dari sisi usia, karakteristik mereka yang belum menentukan pilihan tersebut juga tergolong rasional moderat. Maksudnya, kalangan ini cenderung terbebaskan dari sikap-sikap fanatisme dari setiap kelompok pendukung calon presiden. Fakta demikian terlihat dari penilaian mereka terhadap kondisi persoalan bangsa, terutama pada saat menilai kinerja pemerintahan Presiden Jokowi.
Dalam menilai kinerja pemerintahan, terhadap persoalan politik dan keamanan, misalnya, mereka yang belum menyatakan dukungan memberikan apresiasi positif terhadap kinerja pemerintahan. Bandingkan dengan kelompok pemilih Prabowo-Sandi yang mayoritas (66 persen) menilai tidak puas terhadap kinerja pemerintah di dalam menjaga kondisi politik dan keamanan saat ini. Atau, sebaliknya terhadap apresiasi yang tampak sangat tinggi (87,9 persen merasa puas) dari pendukung Jokowi terhadap kinerja presiden.
Di dalam menilai kondisi perekonomian, 62,5 persen kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan menyatakan tidak puas dengan kondisi saat ini. Proporsi tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan 32,9 persen ketidakpuasan pendukung Jokowi atau jauh lebih rendah dari 78,2 persen pendukung Prabowo yang menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi kondisi perekonomian (Grafik4).
Kelompok ”tengah” yang belum memutuskan pilihan dengan karakteristik penilaian cenderung moderat dan rasional tersebut menjadi penentu dari persaingan kedua sosok calon presiden. Persoalannya kemudian, siapa di antara kedua calon presiden yang memiliki peluang paling besar di dalam menguasai pemilih kelompok ”tengah” ini?
Menelusuri perilaku politik kelompok ”tengah” yang belum memberikan kepastian pilihannya tetap menyisakan sebuah tanda tanya. Pasalnya, sejauh ini masih belum dapat sepenuhnya ditebak arah kecenderungan pilihan mereka. Dengan menelusuri jejak pilihan politik mereka pada Pemilu 2014, misalnya, masih tampak kabur karena masih dominan proporsi responden yang menyatakan ”rahasia” pilihannya (49,1 persen). Sebagian kecil yang dapat ditelusuri, hasilnya tampak imbang antara mereka yang memilih Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta (Grafik 5).
Dengan hasil tersebut, masih tetap menjadi misteri apakah mereka yang masih bimbang dalam pilihannya saat ini merupakan pemilih Jokowi ataupun Prabowo saat Pemilu 2014. Hanya saja, mengamati proporsi pendukung Prabowo-Sandi yang tertera pada grafik di atas tampak bahwa sekitar 25 persen dari pendukung pasangan ini merupakan pendukung Jokowi-Kalla dalam Pemilu 2014. Sebaliknya, dari total pendukung Jokowi-Ma’ruf saat ini, hanya 7,1 persen yang berasal dari pendukung Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014.
Hasil survei tersebut mengindikasikan, Prabowo-Sandi meraih surplus dukungan. Kondisi sebaliknya pada Jokowi-Ma’ruf, yang sekaligus menunjukkan adanya potensi keterancaman pengaruh politik mereka di DKI Jakarta (Bersambung). (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)