Seperti Apa Angkutan Umum Jakarta Setelah MRT Beroperasi?(2)
Semua bayangan kemudahan bertransportasi setelah jaringan rel MRT dan LRT beroperasi tidak akan terwujud jika sistem integrasi antarmoda umum tidak berjalan baik.
Bisa jadi nanti orang enggan menggunakan angkutan massal yang telah dibangun dengan dana triliunan rupiah dan balik menggunakan kendaraan pribadi. Ataupun jika tetap menggunakan angkutan massal, warga enggan berpindah ke angkutan massal lainnya dan memilih menggunakan ojek atau taksi daring.
Berdasarkan kajian Litbang Kompas ”Ubah Persepsi soal Angkutan Umum” Agustus lalu, berpindah-pindah moda menjadi salah satu faktor penghambat warga untuk menggunakan angkutan umum. Kebiasaan menggunakan transportasi pribadi (mobil atau sepeda motor) yang selama ini cukup memanjakan membuat sebagian warga enggan untuk meninggalkan kenyamanan yang telah diperoleh.
Integrasi ini menjadi faktor penting keberhasilan pemanfaatan jaringan angkutan massal Jabodetabek. Institut untuk Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (Institute for Transportation and Development Policy/ITDP) dalam paper-nya, ”Desain Integrasi Stasiun Transjakarta, MRT, dan LRT”, menyebutkan, integrasi diperlukan sebagai fleksibilitas bagi penumpang yang ingin melakukan transfer antar-rute dan moda serta menciptakan jaringan transportasi yang komprehensif.
Kemudahan transfer berarti waktu peralihan lebih cepat dan jarak lebih pendek. Integrasi yang tepat akan memperluas daerah cakupan penumpang serta bisa saling melengkapi dalam pelayanan untuk menarik penumpang. Bagaimana bentuk integrasi? ITDP membaginya dalam dua jenis, secara fisik dan sistem.
Integrasi fisik artinya menghubungkan bangunan stasiun MRT/LRT dengan halte BRT (bus transjakarta). Penghubungnya bisa menggunakan trotoar yang nyaman atau bangunan konektivitas. Bangunan konektivitas ini di beberapa tempat menjadi kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD).
Kawasan transit ini merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik sehingga dapat menunjang daya angkut penumpang.
Integrasi sistem juga tak kalah penting. Secara sistem harus bisa memadukan institusi bus transjakarta, MRT, dan LRT, tarif, penjadwalan, serta penegakan hukum. Menurut Budi Kaliwono, mantan Direktur PT Transjakarta, integrasi sistem ini tak mudah. Dia mencontohkan untuk tarif LRT Kelapa Gading-Velodrome. Tarif bagi penumpang LRT yang berpindah ke BRT sudah ditetapkan, yakni Rp 10.000, penumpang membayar satu kali. Hal ini juga menguntungkan bagi LRT dan bus transjakarta.
Namun, bagaimana sebaliknya jika penumpang BRT yang berpindah ke LRT? Apakah penumpang perlu membayar dua kali, Rp 3.500 untuk bus transjakarta dan Rp 10.000 untuk LRT? Jika dipatok Rp 13.500, hal itu tentu akan memberatkan penumpang yang hanya ingin menggunakan bus transjakarta tetapi tidak naik LRT. Hal ini belum terpecahkan dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
Sejumlah lokasi potensial perpindahan antarmoda tercipta saat MRT dan LRT beroperasi pada 2019. Lokasi itu antara lain Lebak Bulus dan Blok M sebagai lokasi integrasi MRT dan BRT. Kemudian Tanah Abang, Duri, dan Jakarta Kota yang selama ini telah menjadi stasiun transit kereta komuter dengan bus transjakarta. Kuningan Barat dan Cawang nantinya menjadi lokasi integrasi antara LRT dan BRT.
Kereta komuter dan bus transjakarta
Kereta komuter dan bus transjakarta telah terintegrasi sekitar dua tahun terakhir ini. Sejumlah rute bus transjakarta berperan menjadi angkutan pengumpan ke sejumlah stasiun. Selain itu, beberapa halte BRT pun dibangun berdekatan dengan stasiun kereta.
Stasiun Palmerah, misalnya, dilewati dua rute bus transjakarta, yakni 1B (Stasiun Palmerah-Tosari) dan 1F (Stasiun Palmerah-Bundaran Senayan). Rute Stasiun Palmerah-Tosari cukup diminati khususnya warga yang bekerja di kawasan Sudirman. Biasanya, setelah warga turun dari stasiun, ojek daring menjadi angkutan pengumpan menuju kawasan perkantoran di Sudirman. Namun, sejak rute tersebut dioperasikan, sejumlah masyarakat memilih menggunakan bus transjakarta.
Kemudian Stasiun Tebet yang dilengkapi dengan bus pengumpan rute 5B (Stasiun Tebet-Bidaracina), 6C (Stasiun Tebet-Kuningan Timur- Karet), 6D (Stasiun Tebet-Underpass-Karet), dan 6E (Stasiun Tebet-Mega Kuningan-Karet). Rute ini merupakan angkutan pengumpan menuju dan dari Stasiun Tebet yang melayani sepanjang Jalan Prof DR Satrio. Sebenarnya sudah ada Mikrolet M-44 (Kampung Melayu-TPU Karet Pasar Baru), tetapi layanannya tidak maksimal karena angkot sering mengetem.
Selain itu, tercatat pula dalam aplikasi transportasi Trafi, PT Transjakarta juga menyediakan layanan rute dari Stasiun Manggarai, yakni rute 4B (Stasiun Manggarai-Universitas Indonesia) dan 6M (Stasiun Manggarai-Blok M). Dari Stasiun Tanah Abang tersedia rute Tanah Abang Explorer yang melayani transportasi sekitar kawasan pasar dan rute 1H (Stasiun Tanah Abang-Stasiun Gondangdia). Dari stasiun kereta bandara (BNI City), bus transjakarta juga menyediakan rute 6P (Stasiun BNI City-Kuningan) dan 8F (Stasiun BNI City-Kebayoran Lama).
Halte BRT pun dibangun mendekati stasiun kereta, yang bertujuan memudahkan masyarakat berpindah moda. Kawasan itu antara lain Kota, Dukuh Atas, Klender, Cawang, Manggarai, Jatinegara, Senen, Stasiun Kota, dan Gambir. Namun, integrasi di antara dua moda tersebut belum mulus karena tidak nyaman. Penumpang harus berjalan lebih dari 100 meter dan tidak dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki yang nyaman.
Kawasan Dukuh Atas, misalnya. Penumpang yang keluar dari halte transjakarta di Halte Dukuh Atas I (Jalan Sudirman) harus berjalan melalui trotoar Jalan Sudirman, menyeberang jalan tembusan ke Jalan Setiabudi Tengah, kemudian masuk ke stasiun. Total jarak tersebut sekitar 600 meter. Jika penumpang keluar di Halte Dukuh Atas II, jaraknya lebih jauh lagi, dengan kondisi jalan yang tidak nyaman. Padahal, nantinya Dukuh Atas akan menjadi TOD yang menjadi pertemuan MRT, LRT, kereta komuter, dan bus transjakarta.
Hal yang sama terjadi di kawasan Manggarai. Tahun 2010 kawasan ini pernah ditetapkan sebagai Terminal Terpadu Manggarai. Kenyataannya sekarang, perpindahan antarmoda masih cukup sulit. Penumpang bus transjakarta yang turun di Halte Manggarai dan akan naik kereta dari Stasiun Manggarai harus berjalan sekitar 450 meter (11 menit) tanpa kondisi fasilitas pejalan kaki yang nyaman. Atau bisa naik feeder bus transjakarta rute 6M yang menuju Stasiun Manggarai.
Ada beberapa halte dan stasiun yang jaraknya berdekatan, seperti Halte Cikoko dengan Stasiun Cawang serta Halte Klender dan Stasiun Klender. Namun, kondisi perpindahannya belum terhubung dengan baik. Halte Cikoko dan Stasiun Cawang hanya berjarak 51 meter. Namun, jika ingin berpindah dari stasiun ke halte, masyarakat harus melewati jalan setapak yang tambal sulam, trotoar yang terkadang penuh ojek daring, barulah bisa menjangkau jembatan penyeberangan menuju halte bus.
Akses Halte dan Stasiun Klender juga belum terhubung dengan baik. Trotoar tidak memungkinkan untuk digunakan pejalan kaki karena terhalang sejumlah pilar penopang jembatan penyeberangan orang (JPO). Trotoar menuju stasiun ke stasiun juga menyempit sehingga pejalan kaki harus turun ke badan jalan yang dilewati kendaraan bermotor agar tidak terhalang pohon di tengah trotoar (Kompas, 31/10/2018).
Integrasi BRT-MRT-LRT
Tahun depan, satu rute MRT (Lebak Bulus-Bundaran HI) akan berintegrasi dengan 13 rute utama transjakarta. ITDP memperkirakan akan ada 180.000 penumpang bus transjakarta setelah terintegrasi di sepanjang Koridor 1.
Dalam desain integrasi ITDP, ada enam lokasi integrasi antara BRT dan MRT. Satu halte terhubung dengan stasiun dan dua halte berpadu dengan satu stasiun. Hal itu antara lain Halte dan Stasiun Bundaran Senayan, Halte GBK-Stasiun Istora-Halte Polda, Stasiun dan Halte Bendungan Hilir, Stasiun dan Halte Setiabudi, Stasiun Dukuh Atas dan Halte New Sudirman, serta Halte Bundaran HI-Stasiun Bundaran HI-Halte Sarinah.
Menurut rencana, integrasi akan menggunakan sarana terowongan. Penumpang MRT yang ingin transfer ke transjakarta bisa menggunakan terowongan untuk selanjutnya menggunakan eskalator menuju halte bus yang ada di permukaan bagian tengah jalan. Begitu juga sebaliknya. Penumpang BRT yang menuju MRT bisa menuruni eskalator dan langsung masuk ke stasiun MRT. Dengan demikian, jarak berjalan kaki berkurang menjadi 40 meter dan memperpendek jarak dan waktu berjalan kaki lebih dari 70 persen.
Persinggungan LRT Cawang-Dukuh Atas akan lebih banyak lagi dengan rute BRT. ITDP mendata, akan ada 18 rute BRT yang bersinggungan dengan LRT sepanjang 10 kilometer di Jalan MT Haryono dan Rasuna Said. Lokasi persinggungan ada di Setiabudi Utara, GOR Sumantri, Departemen Kesehatan, BNN, Cikoko, dan Pancoran Barat. Diperkirakan akan ada potensi penumpang LRT sebanyak 8.700-17.000 orang di setiap persinggungan tersebut.
Direncanakan, stasiun LRT akan berada di atas enam halte BRT tersebut. Stasiun BRT setidaknya dapat mengakomodasi dua bus gandeng yang berhenti secara bersamaan. Adanya akses yang sama untuk menuju LRT dan BRT pada level ketinggian di atas BRT dan di bawah LRT. Lokasi paid area antara LRT dan BRT ditempatkan pada lokasi yang sama, yakni di area concourse. Halte BRT memiliki dua akses yang pada masing-masing ujungnya untuk mendistribusi arus keluar-masuk penumpang.
”Push and pull factor”
Idealnya, di atas kertas, saat angkutan massal rel dan bus beroperasi, Jakarta tak akan macet lagi. Angkutan umum dan massal berpadu untuk melayani mobilitas di Jabodetabek dan menjangkau setiap penjuru. Kualitas dan kuantitas moda telah tercukupi dengan baik. Juga dengan sarana integrasinya.
Namun, strategi pull untuk menarik masyarakat menggunakan angkutan umum tersebut juga harus dibarengi dengan strategi push, pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Terbukti kebijakan ganjil genap selama Asian Games dan Asian Para Games yang dilanjutkan sampai Desember mendatang bisa meningkatkan penggunaan bus transjakarta hingga 50 persen.
Anggapan buruk pada angkutan umum yang tidak tepat waktu, harus menunggu lama, berdesak-desakan, panas, dan tidak aman, juga faktor enggan berpindah-pindah moda lama-kelamaan akan terkikis dan luruh dengan semakin dipersulitnya penggunaan mobil pribadi.
Hal itu pun belum cukup. Integrasi manajemen institusi moda umum dan massal juga diperlukan supaya tidak berhenti sebagai desain dan rencana. Kebijakan Jak Lingko yang diluncurkan Gubernur DKI Anies Baswedan awal Oktober lalu bisa menjadi langkah awal proses integrasi tersebut.
Semoga khayalan Santi dan 32 juta warga Jabodetabek lainnya terwujud. Bisa berkeliling Jabodetabek naik angkutan massal yang nyaman dan cepat pada tahun 2020. (LITBANG KOMPAS)