Jejak Perebutan Kursi Kongres AS
Posisi Kongres dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat memiliki tempat terhormat dan sangat strategis. Konstitusi AS memuat hal-hal menyangkut wewenang Kongres, seperti penyusunan anggaran negara, pemungutan pajak, perdagangan dengan negara lain, mengumumkan perang, dan membuat aturan-aturan pemerintahan.
Konstitusi juga mengatur, setiap kebijakan presiden harus mendapat persetujuan Kongres. Selain itu, Kongres juga memiliki wewenang impeachment, sebuah proses legislatif untuk memecat seorang pejabat pemerintah, termasuk presiden.
Menurut Konstitusi AS, proses impeachment dapat dilakukan apabila mendapat dukungan besar (simple majority) anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah itu, dua pertiga anggota Senat akan memberi suara untuk menentukan nasib presiden.
Kompas mencatat, dalam sejarahnya, Kongres (Senat dan DPR) dibentuk berdasarkan Konstitusi AS yang berlaku sejak 1789. Syarat agar seseorang bisa diterima menjadi anggota DPR adalah mereka yang berumur 25 tahun ke atas, menjadi penduduk negeri selama 7 tahun, dan berasal dari negara bagian bersangkutan.
Untuk anggota Senat, seseorang harus sudah berumur 30 tahun, penduduk negara bagian bersangkutan, dan sudah 9 tahun menjadi warga negara. Dia bisa menjadi anggota Senat selama 6 tahun. Jumlah anggota DPR meliputi 435 kursi. Sementara Senat memiliki 100 kursi, masing-masing 2 kursi untuk sebuah negara bagian (Kompas, 27/11/1994).
Melihat posisi strategis Kongres, tidak heran ajang pemilihan umum menjadi pertaruhan bagi partai politik di AS untuk merebut kursi di Kongres. Pemilu sela yang berlangsung 6 November 2018 juga tidak luput dari persaingan tersebut, terutama di antara dua parpol besar di AS, Partai Republik dan Partai Demokrat. Kedua parpol memperebutkan 435 kursi DPR dan 35 dari 100 kursi yang ada di Senat AS.
Kajian data pemilu di AS pada 1934-2014 yang dilakukan The American Presidency Project menemukan dua hal menarik di balik pertarungan parpol di DPR dan Senat AS. Pertama, tren kehilangan kursi partai yang sedang berkuasa di DPR. Temuan kedua adalah frekuensi parpol dominan yang kehilangan kursinya di Kongres.
Menggunakan data fluktuasi penambahan dan pengurangan kursi di pemilu sela, hasil penelitian memperlihatkan potensi partai yang sedang berkuasa di pemerintahan AS akan kehilangan kursi di pemilu sela.
Prediksi penghitungan memperlihatkan besaran potensi kursi yang hilang dapat mencapai hingga 33 kursi di DPR. Namun, jumlah tersebut masih bisa berubah mengingat penghitungan tersebut belum memasukkan faktor kondisi politik lokal, kandidat, dan isu yang berkembang di publik.
Hasil pemilu sela anggota DPR pada 6 November 2018 menunjukkan fenomena tersebut. Kubu oposisi Demokrat berhasil merebut kursi mayoritas di DPR. Berdasarkan hasil pemilu sela hingga 9 November 2018, Demokrat sudah memperoleh 225 kursi yang diperebutkan.
Untuk menjadi mayoritas, diperlukan minimal 218 kursi. Sebelum pemilu sela, DPR dikuasai Republik dengan 236 kursi. Hasil penghitungan sementara pemilu sela 2018 menunjukkan, Partai Republik yang sedang berkuasa kehilangan 30 kursi DPR.
Temuan lain juga muncul dari penelusuran data pemilu tersebut. Sepanjang delapan dekade, Partai Demokrat adalah kubu yang paling sering kehilangan kursi di Senat AS. Hilangnya kursi Demokrat di Senat AS antara lain sebanyak 12 kursi tahun 1946, kemudian tahun 2014 saat 9 kursi juga hilang.
Lain di Senat, lain di DPR. Jika Demokrat menjadi partai yang paling sering kehilangan kursi di Senat, sebaliknya Partai Republik menjadi parpol yang paling sering kehilangan kursi di DPR. Dari 43 kali penyelenggaraan pemilu, setidaknya 23 kali Republik kehilangan kursi di DPR.
Beberapa momentum Republik kehilangan kursi yang cukup banyak terjadi pada pemilu 1958 dan 1974 yang berkurang 48 kursi serta tahun 2006 sebanyak 30 kursi. Jumlah tertinggi terjadi tahun 1948 dengan kehilangan 75 kursi.
Tahun ini Republik juga kehilangan setidaknya 30 kursi di DPR. BBC menyebutkan, salah satu faktor hilangnya kursi Republik di DPR disebabkan banyak anggota dewan dari Republik yang meninggalkan jabatannya di Kongres.
Data dari Center for Responsive Politics menyebutkan, tahun ini ada 34 anggota Republik yang pergi dari Kongres. Alasannya, mencalonkan diri untuk jabatan lain, pensiun, atau mengundurkan diri. Hal ini tentu saja menjadi peluang besar bagi pihak oposisi untuk meraup kursi karena tidak ada calon petahana yang bertarung atau munculnya calon baru yang belum teruji popularitasnya.
Arti penting dari keunggulan Demokrat di pemilihan DPR adalah berjalannya fungsi keseimbangan parlemen. Koran The New York Times menyebutkan dengan istilah ”Democrat Secure Control of The House”. Dalam hal ini, Demokrat akan lebih leluasa dalam memperjuangkan agenda politiknya melalui jalur kekuasaan legislatif. Mereka akan sangat menentukan dalam proses pembuatan undang-undang yang diajukan sendiri ataupun yang diusulkan presiden.
Hal ini menjadi cerminan keinginan rakyat AS yang tidak menghendaki berkuasanya satu partai, baik di Kongres maupun di Gedung Putih. Dalam bahasa lain, publik AS menginginkan agar prinsip checks and balances benar-benar bisa berjalan.
Dalam literatur politik, gagasan fungsi pengawasan lebih kurang dimaksudkan sebagai suatu cara untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan mencegah jangan sampai kekuasaan itu disalahgunakan. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)