Indonesia Sehat di Tengah Antusiasme Publik
Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada Senin (12/11) lalu menjadi hari yang baik untuk mengingat kembali tentang kualitas kesehatan masyarakat. Saat yang tepat juga untuk mengawal program-program kesehatan pemerintah di tengah persepsi positif publik atas layanan kesehatan.
Hal ini setidaknya tercermin dari mayoritas publik yang mengapresiasi pelayanan kesehatan di kotanya. Sebanyak 63,4 persen publik menyatakan pelayanan dan fasilitas kesehatan di kotanya makin baik. Hanya 8,0 persen publik yang mengatakan makin buruk sementara 22,9 persen menyatakan sama saja dibanding enam bulan lalu.
Layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat satu (puskesmas) dianggap paling baik perkembangannya oleh 30,7 persen responden. Apresiasi positif juga diberikan responden terhadap layanan rumah sakit dan tenaga medis. Sebaliknya, fasilitas kesehatan berupa ketersediaan alat kesehatan dan obat dinilai mengalami kemunduran oleh responden dengan porsi terbanyak (21,7 persen). Tetap saja, publik menunjukkan kecenderungan untuk mengapresiasi layanan kesehatan yang membaik.
Apresiasi tersebut muncul berdasarkan pengalaman. Mayoritas responden (82,7 persen) memilih melakukan pemeriksaan kesehatan di fasilitas kesehatan umum seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah. Di tengah pelayanan yang dianggap belum sempurna bagi sebagian publik, animo untuk menggunakan fasilitas kesehatan publik nyatanya tetap tinggi. Alasan utamanya karena faktor jarak yang dekat dan mengikuti ketentuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Jaminan Kesehatan
Layanan kesehatan yang dirasakan membaik tersebut merupakan buah dari kebijakan pemerintah di bidang kesehatan yang terus menerus diperbaharui demi perbaikan pelayanan. Berpijak pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sepuluh tahun kemudian pada 1 Januari 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN dimulai dengan integrasi 133,4 juta peserta asuransi kesehatan dari PT Askes, PT Jamsostek, dan Jamkesmas. JKN kemudian dikelola di bawah satu komando BPJS. Kini, peserta JKN telah mencapai 205 juta jiwa (per 1 November 2018). Jumlah ini telah memenuhi 79 persen dari target 260 juta jiwa penduduk.
Kembali ke hasil jajak pendapat, sebanyak 81,3 persen responden juga mengaku sudah menjadi peserta JKN. Persentase tersebut terdiri dari peserta yang membayar iuran (71,9 persen) dan (9,4 persen) yang mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Hanya 16,1 persen responden yang mengaku tidak mengikuti progam ini. Kendala teknis menjadi kategori alasan yang diungkapkan mayoritas responden, seperti prosedurnya rumit, tidak tahu cara mendaftar, dan keberatan dengan besarnya biaya iuran. Sementara itu, hampir seperempat kelompok responden ini sudah memiliki asuransi kesehatan dari pihak swasta.
Demi mengawal pelaksanaan JKN, presiden melalui peraturan presiden terus menerus membuat perubahan. Misalnya saja pada 2016, Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan diperbaharui untuk kedua kalinya menjadi Perpres Nomor 19 Tahun 2016. Dalam aturan tersebut ditambahkan pasal tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang secara bertahap akan menggantikan kartu kepesertaan yang lama. Perpres ini juga makin tegas mengatur sanksi bagi pemberi kerja yang belum mendaftarkan pekerjanya dalam program JKN.
Peraturan tersebut kembali disempurnakan dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Dalam peraturan ini diatur kontribusi cukai rokok daerah untuk membantu pembayaran layanan kesehatan. Besaran kontribusi itu adalah 75 persen dari separuh realisasi penerimaan pajak rokok bagian daerah. Aturan ini salah satunya diharapkan menjawab permasalahan defisit dana BPJS Kesehatan.
Defisit BPJS yang coba ditambal oleh pemerintah dengan pengalokasian dana dan efisiensi di beberapa lini juga menemui kendala. BPJS sempat membuat peraturan yang membatasi pelayanan kesehatan kategori pasien katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik. Namun, sebelum diimplementasikan peraturan ini menuai protes dan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji materikan. MA kemudian membatalkan tiga peraturan tersebut pada 18 Oktober karena dinilai merugikan pasien.
Di tengah wacana efisiensi pelayanan yang berkelindan, kepuasan publik terhadap pelayanan BPJS-Kesehatan tetap tinggi. Sebanyak 64,5 persen publik menyatakan tidak dipersulit dalam mengurus rujukan di fasilitas kesehatan tingkat satu. Demikian juga saat akan menjalani rawat inap di rumah sakit (53,9 persen). Meski jumlah ini menggembirakan, proporsi publik yang masih mengalami kendala dalam menggunakan JKN tetap perlu diperhatikan. Misalnya saja, 41,6 persen responden menyatakan mendapatkan pelayanan yang berbeda dibandingkan dengan pasien umum lainnya.
Program Strategis
Meskipun belum sempurna, agenda besar JKN mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Mayoritas publik (76,5 persen) menyatakan langkah pemerintah untuk menyediakan jaminan kesehatan yang murah bagi seluruh lapisan masyarakat adalah langkah yang tepat. Apresiasi ini pun diiringi keyakinan 69 persen publik bahwa program JKN yang dikomandoi BPJS Kesehatan akan terus berlangsung dan membaik.
Selain peningkatan layanan di level kuratif, pemerintah juga menggalakkan langkah promotif dan preventif. Melalui Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, melalui puskesmas masyarakat didorong untuk melakukan upaya seperti deteksi dini penyakit dan menjaga pola hidup sehat. Mayoritas publik (76,1 persen) pun menyatakan langkah pemerintah di ranah pencegahan ini sudah tepat. Langkah ini juga sangat strategis untuk menekan kemungkinan menderita penyakit kronis.
Menengok hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan dari tahun 2013. Misalnya saja, prevalensi kanker naik dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen, stroke naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen, diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.
Padahal, penyakit-penyakit tersebut dapat dihindari dengan menerapkan pola hidup sehat dan melakukan langkah preventif dengan deteksi dini. Memeriksa payudara sendiri misalnya, bisa menjadi langkah awal untuk terhindar dari kanker payudara.
Memperbaiki pelayanan di daerah tertentu juga dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Kalla. Melalui Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, sejumlah langkah diambil untuk menfokuskan penanganan.
Sayangnya, dengan adanya aturan inipun, kesehatan di Papua masih belum membaik. Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya 72 anak meninggal di Kabupaten Asmat karena gizi buruk pada Januari hingga Februari 2018. Sepanjang Juli-Oktober empat balita lagi-lagi meninggal akibat gizi buruk (Kompas, 31/10/2018). Tidak mengherankan jika baru separuh publik (53,8 persen) yang menyatakan langkah pemerintah ini sudah tepat.
Upaya pemerintah memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat masih harus melalui jalan yang panjang. Oleh karena itu, peran masyarakat untuk menjaga kesehatan tetap masih dinanti demi Indonesia Sehat. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)