Menyiasati Pengeluaran di Tengah Fluktuasi Rupiah
Kondisi perekonomian tahun ini tampaknya tak seindah tahun-tahun sebelumnya. Betapa tidak? Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga menembus level Rp 15.200 membuat kondisi ekonomi mengalami pasang surut. Kendati pelemahan tersebut tidak mencerminkan buruknya kondisi ekonomi dalam negeri, depresiasi rupiah yang terus berlanjut bisa berdampak pada psikologis pasar.
Bank Indonesia (BI) mencatat, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 2,07 persen hingga September 2018. Dengan perkembangan ini, secara year to date sampai dengan 22 Oktober 2018, rupiah terdepresiasi sebesar 10,65 persen. Pelemahan ini merupakan posisi terendah rupiah terhadap dollar AS dalam tiga tahun terakhir.
Sepanjang November ini, nilai tukar rupiah menguat kembali hingga di bawah Rp 14.800 per dollar AS. Selain dorongan dari dalam negeri, sejumlah faktor global ikut berkontribusi terhadap penguatan rupiah. Salah satunya, rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Cina Xi Jinping untuk mencari solusi perdagangan.
Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar itu bisa berdampak baik dan buruk bagi pelaku usaha ataupun rumah tangga. Dari sisi pengusaha, pelemahan rupiah bisa berdampak pada peningkatan biaya pelaku industri, terutama yang sebagian besarnya diimpor.
Sementara dari sisi rumah tangga, naiknya harga bahan pangan impor, jika pada saat yang bersamaan upah tidak ada peningkatan, dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Penghasilan bisa tergerus laju inflasi hingga uang yang dimiliki menjadi tidak memadai untuk menutup kebutuhan yang meningkat harganya.
Pelemahan rupiah juga bisa berdampak pada harga komoditas pangan, khususnya berbahan baku impor. Hingga kini Indonesia masih belum sepenuhnya lepas dari ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok di dalam negeri. Salah satunya, ketergantungan impor kedelai masih relatif tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2017, setiap bulan impor kedelai mencapai 242 ton, mayoritas dari Amerika Serikat.
Sementara itu, untuk harga daging sapi bakalan, sebelum kurs rupiah menembus Rp 15.200 per dollar AS, harganya berada di kisaran Rp 41.000-Rp 42.000 per kg. Namun, sekarang harga sapi bakalan sudah di kisaran Rp 50.000-Rp 53.000 per kg (Kontan, 17/10/2018).
Mencermati depresiasi rupiah itu, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) memperkirakan harga pangan akan naik 5 persen hingga 10 persen pada akhir tahun.
Meski demikian, depresiasi rupiah tidak sepenuhnya buruk bagi Indonesia. Dengan melemahnya rupiah, harga produk Indonesia di luar negeri justru semakin murah. Itu berarti meningkatkan daya saing produk Indonesia. Dalam hal ini, depresiasi rupiah justru menguntungkan eksportir, tetapi merugikan importir Indonesia.
Sama seperti pelemahan rupiah, penguatan nilai tukar rupiah yang drastis juga tidak selalu menguntungkan bagi Indonesia. Di satu sisi, penguatan rupiah akan membuat harga baku impor menurun sehingga berdampak pada daya saing produk. Namun, di sisi lain, penguatan rupiah juga membuat produk dalam negeri kian mahal dan dampaknya tidak bisa bersaing dengan produk negara lain.
Pengeluaran meningkat
Kendati pemerintah menyebut perekonomian Indonesia masih dalam keadaan baik, sulit menepis kekhawatiran sebagian masyarakat soal dapur dan asapnya akibat melemahnya rupiah. Sejumlah harga kebutuhan pokok dan barang lainnya terlihat mulai merangkak naik. Kekhawatiran itu terungkap dalam jajak pendapat Kompas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 24-25 Oktober lalu.
Secara umum, dalam tiga bulan terakhir, tiga dari empat responden menyatakan ada kenaikan pengeluaran rumah tangga. Kenaikan pengeluaran itu dipicu, antara lain, karena adanya fluktuasi harga kebutuhan pokok, harga barang non-makanan, biaya transportasi, hingga biaya pendidikan atau sekolah anak.
Namun, tidak semua responden menyatakan hal yang sama. Setidaknya satu dari lima responden menyatakan tidak ada perubahan pengeluaran rumah tangga. Mereka mengganggap harga kebutuhan pokok sehari-hari masih relatif stabil. Hanya sebagian kecil (3 persen) yang menyatakan pengeluaran rumah tangga mereka semakin sedikit.
Dalam jajak pendapat itu, hampir 57 persen responden mengakui pengeluaran terbesar masih didominasi oleh belanja kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, sayuran, cabai, gula pasir, dan minyak goreng. Disusul hampir 20 persen responden menyebut biaya pendidikan masih menjadi pengeluaran terbesar rumah tangga. Sementara responden yang menyebut pengeluaran terbesar untuk kebutuhan non-makanan sebesar 11 persen dan biaya transportasi sebanyak 5 persen.
Inflasi
Bagaimana gambaran pengeluaran warga Ibu Kota berdasarkan tren inflasi di DKI Jakarta? Mencermati laju inflasi di DKI Jakarta sepanjang tahun ini, terlihat bahwa secara umum pada September tahun ini DKI Jakarta mengalami deflasi sebesar 0,13 persen, sedangkan pada Oktober mengalami inflasi sebesar 0,28 persen.
Sepanjang Agustus-Oktober tahun ini, kelompok bahan makanan tercatat terus mengalami deflasi. Kendati harga beras naik, sebagian besar harga pangan strategis lainnya justru turun, seperti daging ayam ras, telur ayam ras, cabai merah, dan bawang merah.
Penurunan harga itu menurut BPS disebabkan oleh masih berlimpahnya pasokan yang masuk ke Ibu Kota. Selain itu, tidak adanya momen khusus selama September-Oktober juga turut menjaga tingkat permintaan bahan makanan yang berlebih.
Akan tetapi, jika dicermati lebih jauh, sepanjang Agustus-Oktober dari tujuh kelompok pengeluaran, hanya dua kelompok yang mengalami deflasi, yaitu kelompok bahan makanan serta kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan.
Adapun lima kelompok pengeluaran lainnya masih mengalami inflasi. Hal itu menunjukkan sejumlah komoditas di Jakarta telah mengalami kenaikan harga. Peningkatan harga tertinggi terjadi di kelompok sandang dan kelompok makanan jadi, minuman, serta rokok dan tembakau.
Selain faktor pasokan yang melimpah, turunnya harga bahan makanan itu tidak terlepas dari produsen atau pedagang yang tidak berani menaikkan harga terlalu tinggi. BPS pada September mencatat, terjadi deflasi sebesar 0,18 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) menjadi 133,83, sedangkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) meningkat 7,39 persen menjadi 166,28. Kesenjangan yang besar itu menunjukkan produsen menyimpan beban atas naiknya harga bahan mentah karena rupiah melemah.
Siasat
Menghadapi kondisi ekonomi yang pasang surut itu, tidak sedikit warga Ibu Kota yang kemudian berpikir ulang untuk mengatur dan mengevaluasi kembali keuangan. Tujuannya, agar tidak besar pasak daripada tiang. Dengan pengaturan yang lebih ketat, hanya kebutuhan yang penting dan tak tergantikan yang perlu mendapat prioritas.
Salah satu caranya adalah mengurangi kebutuhan rekreasi seperti dinyatakan 34 persen responden. Kebutuhan rekreasi itu mencakup, antara lain, nonton di bioskop, jalan-jalan ke mal, piknik, berwisata, dan kuliner. Kebutuhan rekreasi dan kesenangan tidak seharusnya menambah beban finansial.
Dengan membatasi bepergian atau rekreasi, beban pengeluaran bulanan relatif berkurang. Kebutuhan tersier tersebut membutuhkan pertimbangan yang bijak agar tidak membebani kebutuhan-kebutuhan dengan prioritas utama.
Selain pengeluaran untuk rekreasi, belanja barang non-makanan yang umumnya kebutuhan tersier bisa dikurangi agar pengeluaran tidak melonjak. Hal itu diakui 31,3 persen responden. Dalam hal ini, menunda pembelian barang yang kurang penting atau mengganti dengan membeli barang yang lebih murah bisa menjadi solusi alternatif.
Penghematan pada belanja non-makanan itu kemudian bisa dimanfaatkan untuk menutup ”kebocoran” akibat melonjaknya harga makanan sehingga defisit anggaran keluarga bisa dibatasi.
Sebagai contoh, misalnya, jika suka membeli barang bermerek, baik itu pakaian, sepatu, tas, maupun barang lain yang relatif mahal, hal itu dapat disiasati dengan membeli barang yang lebih murah. Atau jika memungkinkan, menunda membeli barang yang diinginkan.
Dengan ”mengerem” keinginan untuk memenuhi tuntutan gaya hidup, keuangan keluarga dapat tetap terkelola dengan baik. Dengan demikian, uang yang didapat dari menyiasati pengeluaran makan tersebut dapat ditabung atau digunakan untuk hal lain.
Menghitung ulang pengeluaran untuk belanja kebutuhan pokok bisa menjadi cara lain untuk berhemat seperti diungkapkan 15 persen responden. Dengan mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi, hal itu akan berdampak pada belanja makanan, baik jumlah maupun mutu.
Dalam jajak pendapat ini, cukup banyak responden yang memiliki pengeluaran di bawah Rp 1 juta yang mengaku terpaksa mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi karena tak ada jalan lain untuk menekan jumlah uang yang keluar.
Adapun satu dari sepuluh responden mengatakan berhemat dengan cara menggunakan alat transportasi yang lebih murah. Biaya bulanan yang dikeluarkan untuk kebutuhan transportasi keluarga setiap bulan acap kali tinggi, termasuk biaya bensin mobil ke kantor, antar-jemput anak sekolah, angsuran mobil (jika masih mencicil), dan biaya tol. Mengganti alat transportasi dengan jenis yang lebih murah biayanya atau lebih hemat bahan bakar menjadi solusi untuk berhemat.
Pekerjaan sampingan
Gaya hidup dan fluktuasi harga barang di Ibu Kota yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan membuat sebagian orang melakukan penyesuaian gaya hidup dan lebih kreatif dalam memaksimalkan peluang untuk menambah penghasilan.
Tuntutan kebutuhan finansial itu acap kali tidak cukup hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan utama. Tidak sedikit masyarakat yang kemudian memiliki usaha sampingan hingga mencari pekerjaan sampingan agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
Sebanyak 68 persen responden mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan keluarga. Selain memenuhi kebutuhan hidup yang beraneka ragam, bekerja sambilan juga bisa menambah jumlah tabungan untuk masa depan.
Semakin bertambah kebutuhan hidup, semakin banyak biaya yang mesti dikeluarkan. Dengan pekerjaan sampingan, mereka berharap bisa lebih memenuhi kebutuhan keluarganya. Tambahan penghasilan akan meningkatkan daya beli mereka.
Namun, tidak semua warga berusaha mencari pekerjaan tambahan untuk menambal kebutuhan keluarga. Setidaknya tiga dari sepuluh responden mengatakan sebaliknya. Mereka menganggap penghasilan mereka saat ini masih bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. (LITBANG KOMPAS)