Caleg Kurang Menarik Perhatian Kaum Perempuan
Sejak pengajuan daftar calon pada 4 Juli, diikuti oleh pengumuman daftar calon sementara (DCS) pada 14 Agustus, dan dilanjutkan dengan penetapan daftar calon tetap (DCT) pada 20 September lalu, perhatian masyarakat terbilang sangat sedikit terhadap pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Kaum perempuan tercatat yang paling tidak peduli terhadap nama calon wakil rakyat yang akan dipilihnya.
Hingga dua minggu setelah penetapan DCT, baru 11,9 persen calon pemilih yang sudah mengetahui, minimal satu, nama calon anggota DPR yang akan dipilih. Sisanya, 88,1 persen belum mengetahui siapa calon anggota legislatif (caleg) yang akan dipilih. Padahal, jumlah caleg yang sudah ditetapkan KPU mencapai 7.968 untuk DPR RI, belum termasuk untuk DPRD kabupaten/kota dan provinsi.
Satu partai saja caleg yang didaftarkan bisa mencapai puluhan ribu untuk semua tingkat. Partai Nasdem, misalnya, total mendaftarkan 20.931 caleg untuk DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Kurangnya pengenalan terhadap caleg menunjukkan bahwa orang-orang yang akan masuk ke lembaga DPR atau DPRD adalah pemain politik instan yang sebelumnya tidak mengakar sebagai tokoh di masyarakat. Selain itu, juga menunjukkan kurangnya antusiasme publik terhadap calon wakil rakyat.
Respons terhadap pencalonan anggota DPR terasa kecil jika dibandingkan dengan pilihan terhadap partai politik dan calon presiden. Calon yang sudah punya pilihan terhadap parpol mencapai 79,6 persen dan terhadap calon presiden 85,3 persen. Terhadap parpol dan capres bahkan sebelum penetapan pun pilihan masyarakat sudah terpola.
Besaran persentase tersebut terlihat dari hasil survei Litbang Kompas awal Oktober 2018 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi dengan margin of error 2,8 persen.
Aroma penafikan terhadap caleg juga mulai tampak dengan keengganan sejumlah orang untuk lebih memilih parpol daripada caleg. Dari total mereka yang belum menentukan pilihan terhadap caleg, terdapat 3,3 persen yang sudah dari awal berketetapan untuk hanya memilih partai saja, tidak akan mencoblos caleg.
Karakteristik pemilih
Hubungan antara caleg dan pemilih justru renggang di wilayah-wilayah dengan tingkat pluralitas perkotaan yang tinggi dibandingkan wilayah yang homogen dan tokoh-tokoh yang akan maju menjadi caleg di wilayah masyarakat rural lebih mengakar dibanding pada masyarakat urban.
Jika dibandingkan antarpulau, wilayah-wilayah yang lebih padat penduduknya justru lebih sedikit yang tahu caleg yang akan dipilihnya daripada pulau-pulau yang tingkat kepadatan penduduknya lebih rendah.
Para pemilih di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera lebih banyak yang belum tahu akan memilih siapa pada Pemilu Legislatif 2019. Sebaliknya, calon pemilih di Pulau Kalimantan, Sulewesi, Maluku, dan Papua lebih mengetahui nama caleg yang akan dipilihnya dibandingkan dengan Jawa dan Sumatera.
Dibanding laki-laki, perempuan lebih banyak yang belum tahu nama calon anggota DPR yang akan dipilihnya. Pada kalangan perempuan, yang belum tahu mencapai 91,5 persen, sedangkan pada kaum laki-laki berjumlah 84,8 persen. Sementara jika dilihat di dalam domain yang sudah tahu akan pilihannya, perbedaan respons berdasarkan jender lebih terasa. Dari total 11,9 persen responden yang sudah tahu akan pilihannya, jumlah perempuan hanya 35,9, sedangkan laki-laki 64,1 persen.
Generasi pemilih yang tergolong ke dalam milenial muda (17-21 tahun) merupakan kelompok yang paling terasing dari pemilu legislatif. Kalangan yang rata-rata sedang menempuh pendidikan ini merupakan generasi yang acuh tak acuh terhadap dunia politik yang penuh perebutan kekuasaan. Pada kalangan ini, hanya 3,9 persen yang sudah punya nama caleg yang akan dipilih, sedangkan 96,1 persen belum punya pilihan.
Para caleg yang akan bertarung menuju kursi DPR tampaknya harus bekerja ekstra keras meningkatkan pengenalan mereka kepada masyarakat kelas bawah. Pasalnya, selain merupakan lapisan masyarakat yang besar pemilihnya, kelompok masyarakat ini juga paling membutuhkan kehadiran yang lebih bersifat fisik daripada lewat media sosial dan sejenisnya.
Hasil survei menunjukkan adanya keterkaitan antara kelas sosial dan pengenalan terhadap caleg. Masyarakat kelas bawah cenderung lebih banyak yang tidak tahu nama caleg pilihannya, sebaliknya masyarakat kelas atas lebih banyak yang tahu dibandingkan kelas menengah atau bawah.
Senada dengan itu, faktor pendidikan pemilih menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap serapan pengetahuan atas caleg-caleg yang akan berkompetisi untuk menjadi wakil masyarakat di Gedung DPR.
Semakin rendah pendidikan calon pemilih, semakin besar kemungkinan untuk mengetahui sosok caleg yang akan dipilihnya. Pada kelompok masyarakat berpendidikan rendah, 91,8 persen belum mengetahui siapa yang akan dipilih, sementara pada kelompok berpendidikan menengah 86,3 persen, dan yang berpendidikan tinggi 79,3 persen.
Agama menjadi kekuatan politik yang makin dominan dalam beberapa tahun ini. Sejumlah gerakan sosial dan politik yang memiliki kaitan agama makin marak mewarnai kontestasi, baik pilkada maupun pemilu. Setelah Pilkada DKI Jakarta yang sangat kental dengan nuansa politisasi agama, penggunaan agama dalam politik seolah menjadi langkah yang kian populer, baik untuk tujuan kemenangan maupun bertahan dari gempuran. Hari-hari belakangan, bahkan semua gerak-gerik bermuatan politik bisa dikembangkan menjadi rumor yang berbau agama.
Dalam aura yang kental dengan tafsir agama atas gerak dan ucapan politik, calon pemilih dari kalangan Islam terlihat lebih berjarak dengan calon-calon anggota DPR. Mereka cenderung menjadi kelompok yang lebih lama dalam menentukan pilihannya. Sikap ini bisa dipahami mengingat kecenderungan kerasnya politik aliran yang makin mengemuka.
Pada level pilihan terhadap presiden dan partai, mereka lebih mudah menentukan pilihan karena sudah cukup mengenal aliran-aliran yang dibawa tokoh-tokohnya. Sementara pada level calon anggota DPR, mereka harus mempelajari apa latar belakang calon yang akan dipilihnya.
Di antara aliran-aliran agama yang melingkupi pemilih, kaum Muhammadiyah paling mencerminkan sebagai pemilih yang paling banyak (94,1 persen) belum menentukan nama caleg yang akan dipilihnya. Sebaliknya, kalangan dari agama Nasrani menjadi kelompok yang lebih besar tingkat pengetahuannya terhadap calon yang akan dipilihnya.
Fokus perhatian pada pertarungan tingkat presiden membuat simpatisan partai-partai pengusung utama cenderung mengabaikan pemilu memilih anggota DPR. Setidaknya, hal itu terjadi pada Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ataupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Keduanya menjadi partai yang simpatisannya paling banyak belum mengetahui siapa nama caleg yang akan dipilihnya nanti dalam pemilu. Pada Gerindra 91,7 persen belum mengetahui dan pada PDI-P 89,2 persen.
Sebaliknya, Partai Golkar dan partai-partai lain yang tokoh-tokohnya memiliki keterkaitan masa lalu dengan Golkar, seperti Hanura dan Nasdem, tingkat pengenalan terhadap caleg yang akan dipilihnya lebih tinggi daripada partai lain.
Namun, partai yang anggotanya dikenal militan, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga mengenal lebih banyak calegnya dibandingkan partai-partai berbasis massa Islam lainnya. Tampaknya, ketiadaan figur partai ini di tingkat pilpres menyebabkan PKS lebih fokus menggarap pemilu legislatif. (LITBANG KOMPAS)
Metode Penelitian
Pengumpulan pendapat melalui wawancara tatap muka ini diselenggarakan Litbang Kompas dari 24 September sampai 5 Oktober 2018. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi Indonesia. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian +/- 2,8 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.