Sekali Brexit Tetap Brexit!
She will not be stopped.
Not by her party. Not by her government. Not by Brexit.
Not even, one suspects, by no Brexit.
(Tom Perk, Independent, 16/11/2018)
Jika kekacauan yang ditimbulkan British Exit atau Brexit merupakan kesalahan seluruh warga Inggris, sebagai pemimpin Theresa May bersedia menanggung ”dosa” tersebut seorang diri, bahkan memperbaikinya dengan kepala tegak.
Lahir sebagai anak seorang pendeta di Sussex pada 1 Oktober 1956, Theresa kemudian tinggal di pedesaan Oxfordshire. Di lingkungan pedesaan, ia terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan layaknya wanita desa. Bahkan, pada akhir pekan, Theresa bekerja di toko kue untuk menambah uang sakunya.
Lulus dari Kampus Oxford di bidang geografi, Theresa bekerja di sektor keuangan dan menikah dengan Philip May pada 1980. Ia banting setir ke bidang politik dan berhasil masuk parlemen mewakili daerah North West Durham pada 1992.
Kariernya semakin kelihatan saat ia diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri Inggris pada 2010 selama tujuh tahun sampai 2016.
Setelah mundurnya David Cameron karena merasa gagal mempertahankan warga Inggris untuk tetap memilih jadi bagian dari Uni Eropa, May menjadi calon paling potensial untuk menggantikannya.
May kemudian terpilih menjadi perdana menteri pada 13 Juli 2016. Ia mewarisi persoalan yang dimulai di zaman Cameron, keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Brexit. Sejak saat itu, May mulai memikul beban untuk menyukseskan pilihan rakyat yang sejak awal bertentangan dengan pilihannya itu.
Sebagai mantan Menteri Dalam Negeri anak buah Cameron selama tujuh tahun, May masih dicap sebagai seorang yang anti-Brexit. Akan tetapi, sebagai politikus kawakan, ia segera mengambil sikap rendah hati dan menegaskan posisinya.
Dalam pernyataannya pada Januari 2017, May menyatakan, baginya, sekali Brexit tetaplah Brexit. Artinya, tidak ada opsi referendum kedua baginya.
Posisi May ini menunjukkan dirinya adalah perdana menteri yang ”melayani” kehendak rakyat, yakni menyukseskan pilihan sah rakyat Inggris dalam referendum Brexit ke tahap selanjutnya yang lebih formal.
May ingin menggarisbawahi, hasil referendum 23 Mei 2016 adalah hasil yang sah, tidak main-main, dan harus dilaksanakan.
Posisi tersebut menjadi refren legitimatif bagi tindakan May selama melakukan negosiasi dengan juru bicara Uni Eropa di Brussels sejak 23 Maret 2017. Kepada lawan politik, oposisi, dan pengkritik, May menegaskan bahwa yang dilakukannya saat ini semuanya demi menjaga persatuan Inggris, demi melaksanakan kehendak rakyat yang sah.
Setelah menegaskan posisinya atas isu Brexit, May juga mulai mencoba mengamankan segala rintangan yang akan muncul dengan meminta diadakan pemilu sela pada pertengahan 2017. Ia ingin menambah kekuatan pendukung di parlemen.
Harapannya, segala tindakan dan kebijakannya terkait Brexit tak terganjal di parlemen. Ia ”menjual” posisinya terhadap Brexit sebagai materi kampanye agar menambah dukungannya di parlemen.
Akan tetapi, ide pemilu sela tersebut harus dibayar mahal. Partai Konservatif malah mengalami penurunan suara, bahkan tidak lagi menjadi mayoritas di parlemen.
Partai ini terpaksa mengadakan kerja sama, bukan koalisi, dengan partai Irlandia, Partai Kesatuan Demokrat (DUP), untuk membentuk pemerintahan minoritas. Kabinet yang dibentuk May kemudian disebut menggantung (hang cabinet) karena partai pemenang pemilu tidak mendapatkan suara mayoritas di parlemen.
Harapan May untuk mengurangi hambatan parlementer tak terlaksana. Selain itu, dukungan yang ia harapkan dari partainya di parlemen juga tak selamanya dapat diharapkan.
Partai Konservatif tidak bulat dalam mendukungnya menyelesaikan Brexit dengan proposal yang diajukan May. Bahkan, para menterinya mengundurkan diri sehari setelah ia menyatakan kabinetnya utuh mendukung proposal Brexit yang disebut Chequers pada 12 Juli 2018.
Tak dapat dihentikan
Walau dukungan dari partai pendukungnya tak dapat diharapkan, May kukuh dengan proposalnya tentang Brexit. Atas nama kehendak rakyat, ia menegaskan bahwa proposal yang telah diperjuangkannya saat ini merupakan kompromi terbaik untuk menyukseskan Brexit. Menurut May, proposal tersebut akan mengantar rakyat Inggris untuk segera mandiri, terlepas dari Uni Eropa secara formal.
Di tengah jangka waktu negosiasi dengan Uni Eropa yang semakin dekat, 25 November 2018, persoalan dukungan kembali menerpa May. Reaksi yang senada dengan konsolidasinya dalam Chequers kembali terjadi.
Para menteri kepercayaan sang perdana menteri mengundurkan diri sehari setelah May menyatakan bahwa para menterinya telah satu suara terhadap proposal Brexitnya pada 14 November 2018.
Yang menyesakkan May tentu saja bahwa mereka yang mengundurkan diri adalah para tokoh kunci dalam perundingan dengan Uni Eropa dan kebanyakan adalah tokoh pro-Brexit.
Peristiwa yang paling memukul May adalah mundurnya Menteri Urusan Brexit Dominic Raab. Ia mengundurkan diri menyusul David Davis yang mengundurkan diri pada Juli 2018.
Di parlemen juga muncul mosi tidak percaya yang diajukan anggota partainya sendiri. Dalam peraturan internal Partai Konservatif, mosi tidak percaya membutuhkan 15 persen suara anggota parlemen dari Partai Konservatif, kemudian dijadikan dasar untuk mengadakan pemungutan suara tertutup bagi nasib perdana menteri.
Apabila mayoritas anggota masih mendukung May, legitimasinya tak akan diganggu selama satu tahun ke depan. Jika kebanyakan tak percaya kepadanya, ia akan dilengserkan dan tak boleh mengikuti pemilihan yang diadakan Partai Konservatif.
Kuota 15 persen berarti 48 suara berdasarkan jumlah kursi Konservatif di parlemen. Sampai saat ini, telah 23 orang yang menyatakan secara terbuka menyerahkan surat mosi tidak percaya terhadap May. Surat tersebut dikirimkan kepada Graham Brady, Ketua Komite 1922, komite internal Partai Konservatif di parlemen.
Tak ada yang tahu, sudah berapa surat yang disampaikan kepada Graham Brady karena tak ada mekanisme yang mengatur keharusan menyebutkan jumlah mosi yang masuk. Akan tetapi, dari pengakuan mereka yang telah menyerahkan, kurang dari 25 suara lagi sehingga mencukupi kuota untuk mengadakan pemungutan suara internal Partai Konservatif.
Menghadapi kritik dan pelemahan dukungan tersebut, May tetap kukuh pada posisinya. Pengalaman sebagai Menteri Dalam Negeri terlama dalam 60 tahun terakhir membuatnya tak tergoyahkan.
Ia segera menunjuk posisi kunci dalam perundingan Brexit, Stephen Barclay, sebagai Menteri Urusan Brexit, menggantikan Dominic Raab.
Terhadap mereka yang mengajukan mosi tidak percaya, May bersumpah untuk mendapatkan persetujuan di Brussels dan menyerahkan kepada parlemen sebagai bentuk perlawanannya.
Selain itu, May juga menyatakan kembali posisinya sebagai perdana menteri terhadap Brexit. Ia menegaskan, dirinya akan menjalankan tugasnya sebaik-baiknya demi tercapai persetujuan terbaik bagi Inggris yang menjadi keinginan publik.
Refren legitimatif kembali terdengar sebagai materi yang dijual oleh May untuk mendapatkan dukungan, baik dari parlemen maupun masyarakat pada umumnya. Dukungan nyata kemudian muncul dari media-media di Inggris Raya.
Dukungan media Inggris
Keteguhan sikap May untuk terus maju walaupun ditinggal sendiri tanpa dukungan mendapat simpati media di Inggris Raya. Secara umum, sikap media Inggris dapat digolongkan menjadi dua bagian besar.
Pertama, mereka yang cenderung mendukung Theresa May agar perundingan Brexit dengan Uni Eropa lebih diutamakan karena menyangkut persoalan bangsa. Kedua, mereka yang juga mendukung May, tetapi sekaligus memberikan peringatan terhadap langkah yang sedang ditempuh May.
Golongan pertama ini ternyata cukup besar. Golongan ini umumnya mendukung proses negosiasi yang telah lama dibangun May yang semakin mendekati tenggat akhir.
Koran The Guardian yang menyoroti daya juang May menurunkan berita utama ”Resignations, a coup and a day of hostility. But May fights on”. Menyusul surat kabar The Daily Telegraph yang menunjukkan ketegaran May menghadapi tekanan beruntun dengan pernyataan, ”Am I going to see this through? Yes, I am”.
Pribadi May sebagai pejuang sejati disuguhkan oleh Daily Express dengan judul ”Defiant May: I’ll Fight to The End”. Judul-judul serupa disuguhkan surat kabar seperti Daily Mail dan The Sun.
Golongan yang hati-hati dan lebih memperingatkan May diwakili oleh Financial Times, Metro, Daily Mirror, ataupun surat kabar The Herald. Harian Financial Times menunjukkan munculnya krisis karena kesepakatan yang sedang dibuat terkait Brexit.
Surat kabar ini mengangkat cerita bahwa keteguhan May untuk bertahan pada proposal kesepakatan yang telah dia buat berpeluang untuk mengobarkan perang dalam fraksinya di parlemen.
Daily Mirror menggambarkan May menghadapi krisis dalam pemerintahan. Kesepakatan Brexit yang dibuatnya terancam digagalkan oleh parlemen.
Surat kabar Metro mengangkat judul ”Kesedihan di atas Kesedihan” yang menggambarkan situasi yang dialami May dengan peristiwa politik yang silih berganti menghantamnya.
Walau ditinggal para menterinya—partainya terbelah, bahkan muncul usaha menggulingkannya sebagai perdana menteri—ia tetap berjuang.
Satu-satunya pendapat keras datang dari Irlandia Utara, The Herald, bahwa karier politik May ada di ambang kehancuran. Sikap keras ini kemungkinan besar mewakili suara ketidakpuasan penduduk Irlandia Utara serta posisi Parlemen Irlandia Utara yang berdiri paling depan menentang proposal May.
Walaupun sikap media di Inggris Raya dapat digolongkan menjadi dua bagian besar, ada hal yang disepakati bersama. Hampir semua media di Inggris Raya sepakat bahwa persoalan Brexit dan kekacauan yang ditimbulkannya adalah isu bangsa yang harus terus dikawal.
Oleh karena itu, beberapa media menjadikannya sebagai topik khusus, bahkan membuat liputan langsung menit demi menit yang menyuguhkan setiap perkembangan Brexit.
Jalan masih panjang
Theresa May berhasil mengganti Menteri Urusan Brexit dan melanjutkan skema negosiasi Uni Eropa yang disusunnya. Akan tetapi, ia masih membutuhkan dukungan parlemen untuk memuluskan kesepakatannya, baik parlemen di Inggris Raya maupun Parlemen Eropa.
Apabila kesepakatan dengan Uni Eropa berhasil diformalkan dengan tanda tangan dari seluruh, 28, pemimpin negara Uni Eropa, May perlu melaporkan hasilnya kepada parlemen. Di sinilah ia akan kembali diuji pada Desember 2018.
Jika tidak disetujui, May memiliki 21 hari waktu untuk mengajukan rencana baru. Beragam skenario dapat terjadi, mulai dari meninggalkan Uni Eropa tanpa persetujuan, negosiasi ulang, pemilu, hingga opsi referendum.
Sebaliknya, apabila jalan May mulus, pada awal 2019, Uni Eropa akan mendiskusikan formalisasi surat perceraian dengan Inggris. Selanjutnya, Parlemen Uni Eropa akan mengadakan voting untuk menyetujui kesepakatan yang telah dibuat oleh juru runding Uni Eropa.
Baru kemudian secara formal Inggris meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019 pukul 11 malam waktu setempat.
Jalan panjang menanti May. Ia sejak muda berambisi menjadi perempuan perdana menteri Inggris dan mengidolakan Margaret Thatcher sebagai perempuan pertama perdana menteri Inggris.
Seperti Thatcher, ”Si Tangan Besi”, yang kemudian menciptakan aliran dalam politik yang dikenal dengan Thatcherism, May sedang berupaya menciptakan sejarah bagi Inggris dan bagi dirinya.
Terbukti, May terus melangkah dalam kritik dan tiadanya dukungan. Ia teguh dalam posisinya sebagai perdana menteri, mandataris rakyat Inggris Raya. Bisa jadi, tak lama lagi, sejarah akan mencatat May sebagai ”yang tak terhentikan”. (LITBANG KOMPAS)