Film Pahlawan Menarik Anak Muda
Siapa bilang anak muda tak tertarik film sejarah kepahlawanan? Hampir semua responden (91,2 persen) anak muda di 11 kota Indonesia yang dihubungi Kompas dalam rangka jajak pendapat menyatakan tertarik dengan film-film bertema pahlawan nasional.
Bahkan, jika diperbandingkan dengan film asing sekalipun, mayoritas publik (73,3 persen) menyatakan akan menonton film pahlawan nasional daripada pahlawan dunia atau luar negeri. Cerita tentang pahlawan nasional juga dinilai dua kali lebih menarik ketimbang cerita tentang tokoh imajiner (superhero).
Hal itu dinyatakan responden muda jajak pendapat ini yang merupakan pelajar dan mahasiswa di 11 kota besar Indonesia. Apakah ini merupakan jawaban normatif, sebagaimana seorang anak ketika ditanya mata pelajaran di sekolahnya?
Bisa saja iya, tetapi juga bisa sebaliknya. Faktanya, cerita tentang kepahlawanan kini bisa ditampilkan secara sangat menarik dalam film. Apalagi, mayoritas responden muda (53,4 persen) ini mengaku sudah mendapatkan cerita-cerita tentang kepahlawanan melalui pelajaran di sekolah.
Mayoritas memang mengenalnya dari pelajaran di sekolah, buku, dan internet. Sebanyak 7 persen anak muda mengaku mengenal cerita sejarah kepahlawanan lewat film dan novel atau komik. Paling tidak film sudah berperan menjadi media penyampaian sejarah yang kekinian yang dilirik kalangan muda.
Artinya, film sangat efektif sebagai media untuk menyampaikan dan mentransmisikan nilai-nilai kepahlawanan yang diperjuangkan sang tokoh.
Sejak 2010, setidaknya ada 11 film Indonesia yang mengangkat narasi kepahlawanan atau sosok pahlawan. Sebut saja film Jenderal Soedirman, Soekarno, Kartini, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, dan lainnya. Terbaru adalah film bertajuk Wage (2017), yang mengisahkan kehidupan Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dan jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia.
Dari hasil jajak pendapat ini terungkap, film bergenre biografi yang mengangkat sosok pahlawan ini paling tidak telah menarik minat separuh dari anak muda untuk menonton film tersebut. Sementara seperempat anak muda lainnya dalam jajak pendapat ini mengaku lebih suka menonton cerita kepahlawanan dari superhero, seperti Superman, Batman, Spiderman, dan pahlawan imajiner hasil bentukan industri film.
Sejarah film
Film tentang perjuangan pahlawan dalam merebut ataupun memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia pertama kali hadir pada 1950 lewat film berjudul Darah dan Doa. Film drama perang ini berlatar era aksi Belanda di akhir dekade 1940-an, tepatnya aksi long march pasukan Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat.
Darah dan Doa menjadi sejarah perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama setelah Indonesia merdeka dan diproduksi studio film lokal, yaitu Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Bahkan, 30 Maret, hari pertama shooting film yang disutradarai Usmar Ismail ini ditetapkan pemerintah sebagai Hari Film Nasional.
Kemudian muncul film Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961) sebagai film biopik pertama tokoh pejuang. Setelah itu banyak produksi film bergenre perjuangan, seperti film Pahlawan Goa Selarong (1972), Janur Kuning (1979) yang sangat fenomenal karena pada masa itu menjadi film yang wajib ditonton, Serangan Fajar (1981), Kereta Api Terakhir (1981), Pasukan Berani Mati (1982), Tapak-tapak Kaki Wolter Monginsidi (1982), Raden Ajeng Kartini (1982), Tjoet Nja Dhien (1986), dan Soerabaia 45 (1990).
Tjoet Nja Dhien, film tentang sosok perempuan pahlawan dari Aceh, merupakan salah satu film sebelum 1990 yang dinilai sukses. Film yang dibintangi Christine Hakim ini meraih Piala Citra sebagai film terbaik pada Festival Film Indonesia 1988 dan menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes pada 1989.
Setelah sempat mati suri, film bergenre perjuangan muncul kembali pada 2009 lewat film Merah Putih yang merupakan bagian dari Trilogi Merdeka bersama dengan film Darah Garuda (2010) dan Hati Merdeka (2011).
Bangkitnya film biopik
Produksi film biopik yang menarasikan atau mengisahkan kehidupan seorang tokoh beserta peristiwa-peristiwa yang mengelilinginya sejak 2010 juga terus menggeliat. Dalam periode tujuh tahun sudah diproduksi 11 film biopik tentang sosok pahlawan nasional. Beberapa di antaranya bahkan menjadi hit di Indonesia.
Film Sang Pencerah (2010) karya sutradara Hanung Bramantyo menjadi pembuka bangkitnya genre film biopik yang mengangkat tokoh pahlawan. Mengangkat kisah Ahmad Dahlan, sosok pendiri Organisasi Muhammadiyah, film ini ditonton lebih dari 1 juta orang.
Film Soekarno (2013), juga arahan Hanung Bramantyo, menjadi film biopik sukses. Film produksi MVP Pictures ini sukses ditonton 900.000 lebih penonton. Soegija (2012), film produksi Puskat Pictures arahan sutradara Garin Nugroho, yang menceritakan kisah uskup pertama asli Indonesia, Monsinyur Soegijapranata SJ, juga berhasil merebut hati 450.000 lebih penonton. Film yang memberikan pesan yang mendalam tentang sebuah kepemimpinan ini bahkan diakui sang sutradara sebagai film tersulit yang pernah ia buat.
Peluang pasar
Film biopik memiliki peran sebagai penerjemah sejarah. Tak jarang film jenis ini mengungkapkan kisah yang tak diketahui publik. Apa dan bagaimana kisah di balik nama besar sang tokoh. Tak jarang seorang sutradara membutuhkan waktu bertahun-tahun mengumpulkan referensi dari berbagai sumber untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kisah sang tokoh, kemudian mengemasnya menjadi tontonan yang menarik dan menghibur.
Upaya pegiat film ini tampaknya tak sia-sia. Selaras dengan pengakuan 72,7 persen responden muda yang menyatakan bahwa tokoh-tokoh pejuang bangsa itu adalah tokoh yang paling menginspirasi bagi mereka untuk berbuat sesuatu dalam membangun bangsa. Presiden Soekarno paling banyak disebut oleh hampir 30 persen anak muda. Berikutnya adalah RA Kartini, pejuang emansipasi perempuan ini, menginspirasi 17 persen responden.
Tokoh berikutnya yang paling menginspirasi adalah tokoh-tokoh yang pernah dan sedang menjabat di pemerintahan. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) disebut paling banyak (4,8 persen), kemudian ada Habibie (4,2 persen), Joko Widodo (3,1 persen), diikuti tokoh lain. Sebanyak 9 persen anak muda menyebut tokoh-tokoh seperti motivator, pelaku start-up, seniman, dan influencer media sosial, sebagai inspirator mereka.
Kisah perjuangan para pejuang kemerdekaan ini bisa menjadi peluang pasar bagi para pegiat film. Selain film bergenre komedi, drama, horor, dan drama Muslim, genre film biopik dan sejarah juga masih diminati. Sebanyak 63 persen milenial ini menjawab akan menonton jika ada film tentang pahlawan nasional. Sementara 35 persen menjawab masih pikir-pikir. Paling tidak antusiasme itu ada sehingga sejarah tidak ditinggalkan oleh generasi muda.
Anak muda membutuhkan media penyampaian narasi sejarah kebangsaan yang tidak monoton agar pemahaman akan kepahlawanan diterima secara utuh. Kisah perjuangan para pahlawan bangsa masih diminati generasi milenial jika disajikan melalui media kekinian yang menarik dan menyenangkan.
Menurut pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, fenomena memudarnya sosok pahlawan dalam ingatan sebagian anak muda menunjukkan kegagalan mengarusutamakan narasi pahlawan kebangsaan pada era sekarang.
Sutradara Garin Nugroho juga melihat narasi kepahlawanan selama ini dituliskan dengan penuh jargon sehingga pemahaman generasi muda soal kepahlawanan tidak utuh. Seharusnya narasi kepahlawanan perlu menonjolkan sisi individu tokoh yang bersangkutan karena daya tariknya di situ (Kompas, 6/11/2018).
Dibutuhkan cara kreatif untuk memperkenalkan sosok pahlawan bangsa agar narasi tentang kepahlawanan tetap menancap dalam ingatan generasi milenial. Para pegiat film sudah membuktikan itu. Hal ini terlihat dari jajak pendapat Kompas dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
Sudah saatnya untuk mengingat, menghargai, dan belajar dari sejarah tokoh bangsa masa lalu untuk membangun generasi muda yang lebih baik. Dari film, kita bisa belajar sejarah bangsa Indonesia lebih nyata, selain juga bisa turut mengenal dan mengenang jasa para pahlawan karena ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa pahlawannya”. (LITBANG KOMPAS)